Aku membuka kedua kelopak mataku saat mendengar suara beberapa orang seperti sedang berada di dekatku. Hal pertama yang aku lihat adalah dinding bercat putih dengan sebuah infus. Tunggu, infus? Perlahan aku bangun dari tidurku membuat Ibu berlari menghampiriku sambil berteriak memanggil Dokter. Tak lama kemudian, Dokter datang bersama satu perawat di belakangnya.
"Keadaannya sudah membaik. Mungkin hanya butuh istirahat selama beberapa hari saja." Ucap Dokter itu pada Ibu, lalu pergi meninggalkan ruangan.
"Bagaimana keadaanmu? Apa kau merasa pusing? Kau ingin muntah?" Tanya Kak Uci secara beruntun.
"Kenapa aku ada di rumah sakit?" Tanyaku mengabaikan pertanyaannya.
"Ah itu, setelah menangis, kau pingsan dan tidak sadarkan diri selama seminggu lebih. Aku sampai tidak tahu apa yang harus ku lakukan agar kau cepat sadar." Kak Uci menghela napas panjang, seperti hidupnya sudah tidak ada artinya lagi jika aku tidak membuka mataku kembali.
"Ayah dimana?" Tanyaku saat tidak menemukan Ayah di dalam ruangan.
"Ah, Ayah sedang ada di kantor polisi."
"Kantor polisi?"
Kak Uci mengangguk. "Lagi pula agaimana bisa hal itu terjadi padamu? Benar-benar keterlaluan sekali mereka! Andaikan aku di perbolehkan bertemu, sudah ku bunuh mereka satu-satu." Ungkap Kak Uci marah.
Seketika aku sadar. "Apa mereka sudah tertangkap?!" Tanyaku.
"Tentu saja. Semuanya. Bahkan teman sekolahmu juga tertangkap-Oh Anugrah, kau datang lagi."
Aku menoleh dan melihat An datang bersama Ayu. Mereka datang menghampiriku dan menanyakan keadaanku, sama seperti Kak Uci sebelumnya. Lalu mereka mengajakku untuk sarapan di kantin rumah sakit.
"Apa benar Dicky tertangkap?" Tanyaku di sela makan.
"Hm? Ah itu, bisa di katakan seperti itu. Tapi mungkin dia hanya di tahan selama tiga bulan karena umurnya masih tujuh belas tahun." Jelas An padaku.
Mendengarnya saja sudah membuatku sedih, apalagi nanti saat aku ingin bertemu dengannya. Tanpa sadar aku menangis, membuat Ayu langsung memelukku. "Tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja Al..Jangan menangis."
"Aku hanya takut terjadi apa-apa..hiks..pada Dicky. Sebentar lagi kita akan ujian masuk universitas. Tapi..hiks..dia?"
"Tenanglah, semua akan baik-baik saja." Ayu terus mencoba untuk menenangkanku.
"Mau menjenguknya?" Tanya An tiba-tiba.
"Sebelum itu, jelaskan dulu semuanya padaku secara detail." Ucapku padanya.
***^***
Di hari Minggu pagi, aku memutuskan untuk datang ke kantor polisi sendiri. Kemarin setelah pulang dari rumah sakit, aku terus memikirkan tentang keadaan Dicky yang pastinya tidak lebih baik dari hari saat dia menyekapku di dalam ruangan waktu itu. Dan aku berharap dia tetap baik-baik saja.
Sesampainya disana, aku langsung di sambut baik oleh kepala kepolisian. Sedikit membuatku bingung memang, tapi mungkin dia kenalan Ayah. Tanpa bertanya, kepala polisi itu langsung menuntunku menuju salah satu ruangan yang tertutupi oleh sekat kaca.
"Duduk dulu disana, aku akan memanggilkan temanmu." Ucap Kepala Kepolisian itu.
Aku hanya mengangguk, lalu duduk di kursi itu. Tak lama kemudian, pintu dari seberang kaca terbuka menampakkan sosok yang selama ini selalu ada dalam hatiku. Aku menarik napas panjang, berusaha untuk tidak menangis di hadapannya.
"Ada apa?" Tanyanya tanpa melihat ke arahku.
"Aku hanya ingin bertemu denganmu." Hatiku semakin sakit saat menyadari bahwa dia semakin kurus. Bahkan aku bisa melihat dengan jelas pipinya yang dulu sedikit chubby berubah mengecil, memperlihatkan tirus di kedua sisinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Reading
Jugendliteratur"Kau tahu mengapa aku menyukai bunga teratai?" "Kenapa?" "Karena dia selalu setia menunggu bulan tanpa merasa lelah sedikit pun." "Lalu bagaimana dengan matahari?" Aku menoleh padanya. Pada seseorang yang sangat amat aku cintai dalam diam ini. "Kau...