Bagian 29 - Penolakan

23 2 1
                                    

“Terima kasih banyak, kalau begitu aku pulang dulu.”

Aku bangun saat mendengar suara familiar itu. Perlahan aku bangun dan melihat sosok laki-laki bernama Rio itu tersenyum padaku sebelum akhirnya keluar dari rumah.

“Cepat mandi. Sepertinya hari ini akan hujan lagi, aku tidak mau kita kehujanan disana.”

“Kalau begitu menginap saja.”

“Bagaimana bisa menginap? Sudah cepat mandi.”

“Hm.” Gumamku.

Selesai mandi, aku melihat Alya sudah siap dengan payung di kedua tangannya. “Kita naik apa kesana?”

“Jalan kaki saja, jaraknya tidak jauh dari sini.” Alya melangkahkan kakinya terlebih dulu, sedangkan aku mengikutinya di belakang.

“Aku lihat laki-laki itu ke rumahmu.”

“Rio?” Aku mengangguk. “Dia mengambil sarapan buatanku. Kalau tidak salah kemarin kau mendengarnya kan kalau aku akan membuatkan Nenek sarapan.”

“Kenapa harus kau?”

“Amanah dari Kakekku. Selama ini keluarganya membantu Kakek, maka dari itu Ayah menyuruhku untuk membalas budi.”

Ternyata seperti itu. “Lalu tentang laki-laki itu, sepertinya dia menyukaimu.”

“Apa?” Kemudian Alya tertawa membuatku bingung. “Jangan sembarangan bicara, dia sudah memiliki istri.”

“Kalau begitu kenapa dia masih ke rumahmu? Apa istrinya tidak bisa memasak?” Sarkasku.

“Istrinya baru melahirkan seminggu lalu, tapi belum bisa pulang karena Ibu mertuanya menyuruh dia untuk disana sampai kondisinya membaik.”

“Oh.” Jawabku seketika merasa tidak enak dengan ucapan kasarku barusan.

“Kita sudah sampai.” Ucap Alya saat kami sampai.

Sejenak aku memperhatikan sekitar, kemudian terkejut setelah sadar bahwa sekarang aku berada di makam. Aku langsung menoleh pada Alya yang saat ini tersenyum padaku. Tanpa mengatakan apa-apa aku mengikuti Alya yang melangkahkan kakinya terlebih dulu menuju salah satu nisan dekat pohon berukuran sedang.

“Kakek, aku datang lagi.” Ucapnya setelah lama diam memperhatikan ke arah makam itu. “Hari ini Alya datang bersama teman yang selalu Alya ceritakan pada Kakek.”
“Paman apa kabar.”

Seketika aku mendapatkan pukulan keras dari Alya yang membuat lenganku seketika terasa. “Apa yang kau maksud dengan panggilan Paman?”

“Tentu saja panggilan untuk Ayah—“ Aku terdiam sejenak. “Tunggu, tadi kau memanggil apa? Kakek?”

“Kau kira Ayahku sudah meninggal?” Tanyanya menatapku tajam.

“Kemarin malam kau mengatakan akan bertemu dengan Ayahmu, makanya ku kira Ayahmu sudah..Lagipula kau tidak mengatakan akan mampir mengunjungi Kakekmu terlebih dulu.”

“Lihat kan Kek bagaimana sifatnya dia? Maka dari itu seharusnya Kakek percaya pada Alya kalau Dicky orangnya selalu seperti apa yang Kakek lihat saat ini.” Ucap Alya pada makam Kakeknya.

Aku memutar bola mata jengah. “Lebih baik kirimkan doa saja daripada kau mengatakan hal yang tidak jelas seperti itu. Lagipula meskipun aku menyebalkan juga kau masij tetap menyukaiku.”

Alya mendengus sebal, kemudian kita mulai berdoa. Selesai berdoa, pada akhirnya kami benar-benar pergi menuju salah satu rumah yang jaraknya memang tidak terlalu jauh dari makam. Hanya sekitar lima belas menit untuk sampai ke rumah orang tua Alya.

Blue ReadingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang