Bagian 8 - Dicky

56 10 0
                                        

“Kau gadis yang sangat menarik, sampai membuatku kesal setiap kau menjawab pertanyaanku.”

“Sudah dua belas tahun aku menuntut ilmu. Jika ada seseorang yang bertanya, tentu saja aku menjawab. Hanya untuk sopan santun saja. Terlebih lagi pada orang tua sepertimu.”

“Kau bilang aku tua?! Bahkan aku baru berusia tiga puluh tahun kau tahu!”

Dicky langsung menghentikannya saat ku lihat pria itu berniat akan memukulku. Dengan sedikit tenaga, Dicky menarik pria itu keluar dari ruangan. Membuatku sedikit bernapas lega. Tak lama setelahnya, dia kembali masuk ke ruangan.

“Aku mengantuk.” Ucapku menguap beberapa kali. “Pukul berapa sekarang?” Tanyaku padanya.

“......”

“Hm aku mengerti. Baiklah jika kau tidak ingin menjawab. Aku harus tahu bagaimana kondisiku saat ini. Haruskah aku berteriak agar ada orang yang menolongku? Oh, atau haruskah aku menangis agar kalian tertawa puas karena aku ketakutan?"

Ku lihat Dicky hanya diam sambil terus menatap ke arahku.

"Hm, haruskah—sebentar, ponselku tidak kau buang begitu saja kan? Aku memakai uang tabunganku sendiri untuk membelinya. Jadi aku mohon jaga ponsel itu dengan baik. Ayah tidak akan begitu saja memberikanku ponsel baru. Terlebih lagi hanya karena kalian buang.”

“Hei Alya..” Panggilnya, sedikit membuat jantungku berdebar dengan sangat cepat. Bahkan saat dia sudah melakukan hal jahat padaku pun, aku masih tetap menyukainya.

“Iya?”

“Kau tahu alasan kenapa Dinda menyekapmu?”

“Karena dia ingin An menjadi miliknya kan? Jadi seperti ini. Pertama dia mengancamku agar aku  putus dengan An, tapi nyatanya tidak ku lakukan. Kedua, dia menyekapku agar An mengatakan kalau dia akan melakukan apa saja agar aku bisa selamat. Ketiga, setelah aku di bebaskan, An akan minta putus lalu menjadi kekasih Dinda. Begitu kan?” Ucapku panjang lebar.

“Kau tidak khawatir dengan wajahmu? Kau terlihat sangat mengenaskan.”

“Terima kasih atas perhatianmu. Aku tahu kalau kau memang memiliki hati yang baik.”

“Jujur saja, aku melakukan hal ini karena aku terlalu mencintai Dinda. Aku tidak bisa hanya diam saja melihatnya tersakiti sendiri. Lalu, akhirnya aku memutuskan untuk membantunya. Dan aku tidak menyangka kalau An ternyata sangat mempercayaiku dan pernah sekali menyuruhku untuk menyusulmu...”

“Ah saat siswa itu mengikutiku.” Gumamku tanpa sadar.

“Kau tidak bertanya kenapa aku bisa menemukanmu?”

“Setelah ku pikir, mungkin seperti ini. Pertama, An menceritakan semuanya padamu. Kedua, saat aku mengirim pesan pada An, nyatanya saat itu dia sedang ada rapat penting dan dia meminta tolong padamu untuk menyusulku meskipun dia tidak tahu aku sedang ada di mana. Ketiga, tentu saja kau tahu aku dimana, karena kau bisa menghubungi para siswa itu. Benar?”

Ku dengar Dicky bertepuk tangan beberapa kali. “Aku sedikit terkejut dengan pemikiranmu. Padahal biasanya kau terlihat seperti orang menyebalkan yang selalu ramai jika ada An di dekatmu.”

Aku tersenyum. “Aku anggap itu sebagai pujian untukku.”

“Sekarang pukul dua belas malam.” Ucap Dicky membuatku semakin merasa senang padanya.

“Terima kasih.”

“Aku akan meninggalkanmu sebentar. Jangan melakukan hal bodoh yang bisa mengambil nyawamu sendiri.” Ucapnya, lalu pergi dari ruangan itu.

Setelah di rasa aku benar-benar sendirian, aku mencoba untuk melepaskan ikatan tali di kedua tanganku. Dengan kepala yang masih sedikit terasa sakit, aku menoleh ke setiap arah mencoba memperhatikan jikalau ada suatu benda tajam yang bisa membuatku lepas dari ikatan ini.

Beberapa kali aku berusaha untuk menarik napas panjang agar aku bisa tetap bersikap dengan tenang dan tidak melakukan hal bodoh yang bisa membuatku di pindahkan dari ruangan yang bisa saja menjadi semakin menakutkan.

Dari kejauhan, aku seperti melihat sesuatu yang berkilau. Dengan sedikit usaha, aku mencoba memperhatikan benda apa itu. Buram. Baik, maafkan aku karena mataku yang tidak dapat melihat beda dengan jarak jauh. Aku kembali menghela napas panjang saat mendengar pintu di buka dari luar. Dengan cepat, aku pura-pura tidur.

“Hm? Bagaimana bisa dia tidur dengan tenang di tempat seperti ini?” Tanya pria itu.

“Dia bisa tidur di mana saja. Bahkan dia bisa tidur di kamar mandi sekolah.” Jawab Dicky membuatku sedikit kesal.

“Ha ha ha. Tapi hebat sekali dia tidak melakukan usaha apa pun. Dia bahkan berani menjawab semua pertanyaanku dengan santai.”

“Aku juga sedikit terkejut dengannya.”

Kemudian, aku merasa sebuah tangan dingin menyentuh wajahku. Membuatku mendongak mengikuti arahan tangannya. “Wajahnya masih saja terlihat cantik meskipun ada luka menghiasi dirinya.”

Tiba-tiba pintu di buka dengan sangat keras. “CEPAT BAWA GADIS ITU PERGI! ADA POLISI DATANG!”

Seketika aku membuka kedua kelopak mataku. Aku masih diam tanpa usaha apa pun. Lalu pria itu melepaskan ikatan talinya padaku, mungkin agar dia bisa menggendongku dengan mudah. Saat itulah aku langsung menendangnya dengan sangat kuat sampai membuatnya jatuh tersungkur, lalu mengangkat dan membantingnya kuat sampai membuatnya berteriak kesakitan.

“Hei kau!” Teriak Dicky yang dengan keterpaksaan, aku menendang bagian perutnya sekaligus memukul wajahnya kesal sebagai balasan karena dia sudah menamparku tadi.

Tanpa memberi jeda sedikitpun, aku langsung memukul dan menendang laki-laki yang tadi berteriak padaku. Lalu aku berlari keluar ruangan dengan tenaga yang sedari tadi tidak ku pakai. Ya, ini lah tujuanku sebenarnya. Aku tidak ingin menggunakan tenagaku sia-sia karena aku yakin pasti akan ada jalan lain yang bisa membuatku keluar dari ruangan itu.

“Tunggu!” Teriak beberapa orang dari arah belakang. Sejenak, aku menutup kedua kelopak mataku, menganggap bahwa saat ini adalah lomba lari dan aku yakin aku akan menang karena selama empat tahun berturut aku selalu menjuarai lomba lari.

“Ku bilang tunggu!” Teriaknya kembali. Sedangkan aku terus menatap ke arah depan. Tidak menoleh ke arah mereka yang bisa saja membuatku goyah.

Semakin lama aku berlari, aku mulai melihat sebuah lampu yang berasal dari mobil. Aku semakin mempercepat lariku.

“Oh, siapa dia?” Dapat ku dengar seseorang dari arah mobil itu berkata.

“ITU ALYA!!” Teriak seseorang yang aku yakini bahwa itu adalah suara Kak Uci. Ya, aku dapat mendengar suaranya.

Lalu ku lihat beberapa orang berseragam berlari menghampiriku. Tanpa memikirkan siapa yang datang, aku langsung memeluknya dengan tubuh bergetar sangat hebat.

“Cari mereka dan tangkap semuanya sampai ketemu.”

“Baik!” Jawab beberapa orang yang berdiri di sekitarku.

“Kau baik-baik saja?” Tanya sebuah suara asing dengan nada khawatir.

“Aku...baik-baik saja.” Jawabku

“Alya, siapa pelakunya?” Tanya An dengan terengah.

Aku menatapnya beberapa saat, kemudian menangis karena kembali mengingat bahwa salah satu tersangkanya adalah Dicky. Orang yang selama ini selalu menjadi inti kehidupanku.

"Alya?" Panggil An mengguncang bahuku pelan.

Perlahan aku meraih kedua lengannya. "Ku mohon jangan membencinya..hiks...jan..an."

"Maksudmu?"

"Berjanjilah...jangan mem..hiks...jangan membenci--"

Kemudian ku rasakan semuanya menghitam.





riz_rap•^•
26072019

Blue ReadingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang