Aku mengetuk jariku diatas meja kaca sembari melihat berbagai macam merk ponsel yang di sediakan di toko ini. Aku cukup terkejut saat melihat ada banyak jenis ponsel dengan tampilan baru yang ada disini. Rasanya aku seperti anak kampung yang berusaha untuk hidup mewah di dunia serba teknologi ini. Benar-benar sangat berbeda dengan rumah Nenek yang masih asri dengan sawah-sawah.
“Terima kasih.” Ucapku pada pegawai wanita itu saat dia memberiku dua ponsel yang ku inginkan. Kemudian aku pergi dari mall itu tanpa berniat untuk melihat-lihat karena entah kenapa aku merasa kalau aku tidak akan aman jika berada disini lebih lama.
Mengingat hari pernikahan An dan Ayu semakin dekat membuatku akhirnya memutuskan untuk pergi ke salah satu butik milih keluarga Herdian. Sesampainya disana para pegawai langsung datang menghampiriku dengan wajah tegang. Aku sedikit mengulum senyum melihat wajah-wajah seperti itu.
“Aku kemari bukan atas perintah atasan.” Ucapku yang membuat mereka bernapas lega dan hal itu semakin membuatku ingin tertawa melihatnya. “Tinggalkan aku, aku akan memilih pakaianku sendiri.”
Tidak perlu terlalu formal, karena pada dasarnya aku memang tidak suka dengan hal-hal seperti itu. Terlebih lagi mungkin aku tidak akan di akui disana, jadi sudah ku putuskan untuk hanya memakai kemeja hitam dengan jas hitam pula.
“Oh, kenapa kau ada disini?” Aku menoleh saat mendengar suara seseorang di dekatku.
“Hanya ingin mendinginkan badan.” Jawabku sekenanya pada laki-laki yang ku ketahui kalau dia adalah anak tidak sah Herdian.
Aga Xaverius Nanda.
“Apa Ayah menyuruhmu untuk datang kemari?”
“Tidak.”
“Berarti kau akan menikah?”
“Jaga ucapanmu bocah.” Tatapku tajam pada laki-laki yang usianya lima tahun di bawahku ini.
“Seharusnya kau senang karena Ayah masih menganggapmu. Lihat aku, anaknya tapi tidak pernah sekalipun aku berbicara dengannya kecuali masalah perusahaan.”
“Bukan urusanku. Aku pergi.” Ucapku setelah membayar tagihannya.
“Eum, sampai nanti.”
Hari sudah semakin malam, dan bodohnya aku masih duduk diam di sofa dengan secarik kertas diatas meja yang sama sekali belum ku sentuh sedikitpun. Aku hanya tidak tau apa yang akan ku tulis di dalamnya mengingat aku sama sekali tidak mengetahui apa yang Alya lakukan saat ini. Untuk kesekian kalinya aku menghela napas panjang, kemudian pada akhirnya menulis apa saja yang keluar dalam otakku.
“Sudah tidak usah di baca lagi. Sudah selesai. Ayo tidur. Besok kerja.”
***^***
Dan disinilah aku sekarang, berdiri di dekat lampu merah sembari terus melihat ke arah toko bunga milik Alya yang sudah mulai ramai pengunjung. Aku masih belum memikirkan bagaimana caranya untuk memberikan ponsel ini tanpa harus ketahuan olehnya.
“Hei kau.” Panggilku pada seorang siswa di sebelahku. Dia terlihat terkejut saat menoleh ke arahku. “Mau ku beri uang lima puluh ribu?”
“Ha?”
“Berikan ponsel dan kartu nama ini pada pemilik toko bunga itu, dan ini uangnya.”
Siswa itu langsung mengambil uang di tanganku dengan cepat tanpa memikirkannya terlebih dulu. “Tapi kalau aku tidak berhasil?”
“Aku akan menbunuhmu. Mudah kan? Sana pergi, aku akan memperhatikanmu dari sini.” Perintahku yang membuatnya berlari menuju toko bunga itu.
Tapi belum sempat siswa itu sampai di toko bunga, aku merasakan ponselku bergetar dan kembali menghela napas saat tau kalau Herdian menghubungiku. Dengan langkah malas aku masuk ke dalam mobil menuju perusahaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Reading
Teen Fiction"Kau tahu mengapa aku menyukai bunga teratai?" "Kenapa?" "Karena dia selalu setia menunggu bulan tanpa merasa lelah sedikit pun." "Lalu bagaimana dengan matahari?" Aku menoleh padanya. Pada seseorang yang sangat amat aku cintai dalam diam ini. "Kau...