Dalam diam aku terus melihat keluar jendela, memperhatikan manusia berlalu lalang di sekitar cafe. Sesekali aku menghela napas panjang, kemudian tersenyum setelah merasa ada seseorang duduk di hadapanku. Dia tersenyum sejenak sebelum akhirnya memesan kopi hitam kesukaannya. Sembari menunggu pesanannya datang, laki-laki di hadapanku ini hanya diam tanpa berniat mengatakan apapun. Begitu pun denganku yang kembali dengan pikiranku sebelumnya.
“Apa kau belum baikan dengan Ayahmu?” Tanyanya membuatku merasa sedih.
“Entahlah, sejak kejadian itu aku jarang bertemu dengan Ayah. Kalaupun bertemu, salah satu dari kami akan pergi menjauh.”
“Hm, haruskah aku mengatakan pada Ayahku agar perjodohan ini di lanjutkan kembali? Aku jadi sedikit merasa bersalah sudah menolaknya kemarin.”
Aku tersenyum pada Adam yang tetiba terkejut saat pesanannya datang. “Tidak perlu, aku akan menyelesaikan masalah ini sendiri. Eum, dan aku sangat-sangat berterima kasih padamu karena meskipun kau menolak pernikahan ini, Ayahmu masih mau melanjutkan kerja sama dengan Ayahku.”
“Eih, perjodohan ini tidak ada sangkut pautnya dengan kerja sama perusahaan. Kau salah kalau berpikir demikian.”
Aku hanya tersenyum mendengarnya. Memang sejak perjodohan di batalkan aku dan Adam jadi sering bertemu, terutama saat Adam sedang libur. Biasanya kami akan menghabiskan waktu di kafe ini atau dia hanya sekedar duduk diam di toko bunga saat aku sedang tidak ingin pergi kemana-mana.
Kalau dipikir kembali kami terlihat seperti pasangan pada umumnya, karena Adam selalu mengikutiku kemanapun aku pergi. Bahkan keberadaannya melebihi saat aku bersama Rian dulu. Tapi untunglah dia tidak pernah membahas tentang perjodohan itu, kecuali menanyakan hubunganku dengan Ayah setelah kejadian mengejutkan itu.
“Ku dengar dua sahabatmu akan menikah. Kau akan pergi sendiri ke sana?” Tanya Adam kembali membuka suara.
“Kemungkinan besar seperti itu.”
“Sepertinya aku kosong di hari itu, kau mau mengajakku pergi?”
Aku menoleh padanya. “Bukankah sebelumnya kau mengatakan kalau hari Rabu depan ada meeting dengan perusahaan lain? Apa kau lupa?”
“B-benarkah? Ah sepertinya aku tidak memiliki jadwal....ah benar, aku baru ingat kalau aku ada janji dengan perusahaan C. Ah, padahal aku ingin sekali hadir ke pesta pernikahan itu.”
“Tidak apa-apa, aku akan menyampaikan salammu pada mereka.”
Adam menghela napas panjang sembari menggumamkan hal yang tidak jelas membuatku tertawa melihat sikapnya yang ternyata masih bisa kekanakan seperti ini. “Baiklah, aku akan pergi ke toko bunga. Sepertinya saudara kembar itu mulai bingung menangani pelanggan yang datang.”
“Mau aku antar?”
Aku menggeleng.”Tidak, lagipula jaraknya tidak jauh dari sini. Aku pergi, kau hati-hati di jalan. Sampai besok.”
“Sampai besok.”
Saat aku membuka pintu kafe hal pertama yang ku rasakan adalah terik matahari yang langsung membuat mataku tertutup sejenak. Wah, cuaca hari ini benar-benar sangat cerah, sepertinya akan ada hal baik yang akan datang padaku. Semoga saja memang seperti itu.
Sesampainya di toko bunga, aku melihat beberapa pelanggan masih berdiri di depan toko sembari menunggu Nina dan Sigit merangkai buket bunga. Aku langsung turun tangan membantu mereka, mengambil alih beberapa pelanggan yang terlihat masih sibuk memilih bunga mana yang akan mereka berikan pada orang terkasih.
“Bunga mawar merah dan putih saja. Hari ini hari ulang tahun istri anda kan?” Ucapku mencoba merekomendasikan bunga pada seorang Kakek yang dari tadi terlihat berdiri di depan beberapa bunga.

KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Reading
Teen Fiction"Kau tahu mengapa aku menyukai bunga teratai?" "Kenapa?" "Karena dia selalu setia menunggu bulan tanpa merasa lelah sedikit pun." "Lalu bagaimana dengan matahari?" Aku menoleh padanya. Pada seseorang yang sangat amat aku cintai dalam diam ini. "Kau...