•Dicky•
Sudah hampir tiga bulan aku mengirim surat untuk Alya, tapi tidak ada balasan sama sekali. Aku juga sudah keluar dari rumah sakit beberapa hari lalu dan terpaksa masuk sebagai mata-mata kepolisian di bawah naungan Aga. Awalnya aku menolak, tapi Aga terus saja memaksa agar aku masuk meskipun tidak menjalani tes sekalipun.
Hari ini setelah menjalankan misi dipagi hari, aku datang ke kantor pos seperti biasanya. Pak Ardi, si penjaga kantor pos menyapaku dengan ramah seperti biasanya.
“Ke alamat yang sama lagi Mas?” Tanyanya dengan senyum yang selalu mengembang di wajahnya.
“Seperti biasanya.” Jawabku seramah mungkin.
“Pasti senang sekali setiap hari saling bertukar surat ke orang yang kita cintai. Istrinya baik-baik saja kan disana?” Tanya Pak Ardi yang membuat tanganku berhenti menulis.
“Saya harap dia baik-baik saja Pak, minta doanya saja biar kita segera dipertemukan.” Aku kembali menulis alamat Alya, kemudian memberikan surat itu pada Pak Ardi.
“Amin.”
Setelahnya, aku kembali ke kantor polisi. Beberapa orang yang melihatku langsung pergi, lebih memilih untuk menghindar daripada berurusan denganku. Pemandangan ini sudah biasa karena Aga menyebarkan gosip pada semua anggota kepolisian bahwa aku adalah pembunuh berdarah dingin, jadi lebih baik menjauh daripada mereka habis di tanganku.
Benar-benar sebuah gosip yang sesuai dengan kenyataan.
Jam sudah menunjukkan pukul dua belas. Aku datang ke kantin yang ternyata sudah ramai, beberapa orang yang sadar kehadiranku langsung memakan makan siangnya dengan cepat membuatku merasa canggung. Akhirnya aku memilih untuk pergi ke taman belakang kantor polisi untuk menyejukkan pikiranku.
Selama beberapa hari ini aku ditugaskan di berbagai macam bidang, mulai dari yang termudah seperti mengambil kucing peliharaan di pohon sampai yang tersulit yaitu mencari keberadaan penjahat kelas atas yang melarikan diri ke luar negeri, kemudian mengawasi mereka sampai polisi berhasil menangkap pelaku.
Tidak terlalu berat karena aku hanya mengawasi mereka dari kejauhan saja tanpa harus melakukan hal lainnya. Awalnya aku ingin melakukan sesuai dengan tugasku dulu, tapi Kepala Polisi menolaknya karena pasti akan berakhir dengan nyawa.
“Kau disini? Tidak makan siang?”
Aku melihat sosok Aga datang dengan membawa dua kaleng soda di tangannya. Dia memberikan salah satunya padaku, kemudian dia meminum miliknya.
“Bagaimana bisa aku makan siang dengan tenang, sedangkan setiap pasang mata menatap ke arahku?”
Aga tertawa mendengarnya. “Ternyata mereka semua mudah untuk dibohongi. Padahal mereka polisi, posisinya lebih tinggi daripada kau, tapi kenapa mereka takut padamu?”
“Tentu saja karena kau mengatakan kalau aku adalah tangan kananmu. Kau sendiri paham kan apa posisimu disini?”
“Aku tidak terlalu peduli. Lagipula selama beberapa hari ini kinerjamu bagus, bahkan Kepala Polisi ingin merekomendasikan dirimu agar kau naik pangkat.”
Aku mendesis. “Sudah ku katakan sejak awal kalau aku tidak ingin terikat dengan kepolisian. Aku hanya menjalankan perintah sesuai dengan yang aku inginkan saja, apa kau lupa perjanjian awal kita seperti apa?”
“Tapi bukankah hal ini memberimu peluang untuk mendapatkan Alya kembali? Bukankah dengan kenaikan pangkat ini kau bisa meyakinkan Ayah Alya agar percaya padamu?”
“Bagaimana bisa percaya, sekarang saja aku tidak tau bagaimana kabarnya. Aku sempat ke sana tapi yang aku dapatkan hanyalah sebuah penolakan dari Ibunya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Reading
Teen Fiction"Kau tahu mengapa aku menyukai bunga teratai?" "Kenapa?" "Karena dia selalu setia menunggu bulan tanpa merasa lelah sedikit pun." "Lalu bagaimana dengan matahari?" Aku menoleh padanya. Pada seseorang yang sangat amat aku cintai dalam diam ini. "Kau...