Part 14, Radio

3.3K 297 29
                                    

Ada hal yang ingin aku lupakan dan itu bukan kenangan, melainkan kehilangan
***

"Kenapa lo?"

Sindu yang sedang memeluk bola basket menoleh dengan tak semangat. Candra sudah penasaran melihat cowok itu murung sejak pagi. Ia kira Sindu akan menceritakan masalahnya, tapi sampai pulang sekolah sahabatnya tetap bungkam.

Sebenarnya bukan hanya Sindu yang aneh. Fitra yang duduk di sampingnya misuh-misuh karena sang gebetan sudah dua hari tidak bisa dihubungi, lalu ada Devan di depannya yang tiduran sambil menatap langit biru. Mereka kebetulan sedang berada di lapangan, awalnya untuk bermain basket sepertinya hanya sebuah wacana.

"Kemarin Ara dateng-dateng nangis," lirih Sindu yang kini mengacak rambutnya. Sepulang sekolah kemarin Kiara langsung mengurung diri di kamar dan hanya keluar untuk makan, itupun atas paksaannya.

"Apa Daren lakuin sesuatu?" Fitra yang sejak tadi sibuk sendiri mulai memberikan perhatian. Sindu menggeleng, "Dia bilang bukan karena Daren."

Mendengar itu, kepala Candra refleks melirik ke arah Devan yang kini menutupi kedua matanya dengan lengan. Cowok itu berkali-kali terlihat menghela nafas.

"Apa.. mungkin ada yang nyakitin dia?" tanya Candra tanpa mengalihkan perhatian. Cowok di depannya tampak mulai terusik hingga kini bangkit dari posisi tidurannya. Devan merebut bola dipelukan Sindu tanpa kata, mendribblenya lalu memasukan ke ring, tapi tembakannya gagal, bahkan setelah mencobanya berulang kali.

"Argh!" Devan melemparkan bolanya asal hingga memantul dan menggelinding jauh. Cowok itu tampak kacau membuat ketiga sahabatnya hanya mampu saling pandang dan berakhir mengedikan bahu.

"Lagi bertengkar kali sama ceweknya."

"Masa sih cuma karena itu?" Sindu tak setuju dengan dugaan Fitra karena setahunya, selama beberapa bulan mereka pacaran, hubungan mereka selalu adem ayem. Baik Devan maupun Rivi adalah pribadi yang selalu menghadapi sesuatu dengan tenang. "Kayaknya bukan deh. Mungkin ada masalah di rumahnya."

"Iya juga sih, Devan tuh bukan bucin kayak lo kan Ndu."

"Yeuu dasar lo! Ujung-ujungnya gue juga yang kena." Sindu mendorong dahi Fitra. Belum sempat cowok itu protes, dahi sebelahnya kembali di dorong oleh Candra. "Heh kenapa lo ikut-ikutan siksa gue sih, Ndra?"

Candra malah membalas tangan Sindu yang mengajak bertos ria. Mereka kembali memperhatikan Devan yang menundukan wajah, merenungi sesuatu.

"Tanyain sana!" Suruh Candra. "Lo kan tong sampahnya Devan, Ndu."

"Bangke!" umpat Sindu, "gue kayak gak ada bagus-bagusnya ya di mata lo lo pada."

Candra dan Fitra tergelak. Walaupun begitu, Sindu tetap berdiri dan menghampiri sahabatnya.

"Kenapa lo?"

Devan menatap Sindu lamat, seperti banyak yang ingin disampaikan. Namun, setelah beberapa waktu cowok itu malah menggeleng dan mengambil tasnya. "Gue pulang."
***

"Jadi, maunya gimana sekarang?"

Kiara menoleh pada Bily yang beberapa hari ini menjadi tempat mencurahkan sesuatu. Ia tidak mungkin menceritakan pada Sindu tentang masalahnya dengan Devan.

"Gue.. gak tau. Rasanya sakit tiap inget perkataan dia." Lirihnya melirik Bily yang membawa trolley. Saat keluar rumah untuk mencari udara segar, Kiara tidak sengaja bertemu adik kelasnya yang akan pergi ke super market untuk membeli titipan mamanya. Karena merasa tidak ada kerjaan, akhirnya Kiara memutuskan ikut.

"Ya udahlah, kak. Menurut gue, mungkin ini saatnya buat kak Kiara move on."

Bily benar, tapi Kiara merasa selalu ada yang menahannya setiap hendak melakukan itu. Keyakinan bahwa Devan masih ah- sudahlah. Lupakan.

Go Go Ara! ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang