Maaf, untuk yang tak seharusnya di antara kita
***Kiara menatap takjub pertunjukan di depannya. Jika cowok lain mungkin akan membawanya ke bioskop atau pertunjukan musik band, maka Devan berbeda. Cowok itu menariknya ke sebuah tempat yang tak terpikirkan sama sekali.
Namanya Saung Angklung Udjo. Sebuah sanggar seni yang menyajikan pertunjukan kesenian dan kebudayaan khas tradisional sunda. Berkali-kali Kiara ikut bertepuk tangan, terbius dengan permainan angklung juga tarian tradisional yang dibawakan.
"Gimana seru, kan?"
Cewek itu mengangguk antusias. "Lo sering ke sini?"
"Baru dua kali sama sekarang."
"Mereka hebat banget, masih kecil tapi udah pinter mainin angklungnya." puji Kiara. Ia merasa bukan warga negara yang baik karena selama ini tidak peduli dengan kebudayaan negaranya sendiri. "Lo bisa main angklung?"
Devan yang tadinya memandang lurus ke depan kini menatap tepat ke matanya. "Sedikit. Mau nyoba?"
"Emang boleh?"
"Tentu. Selain pertunjukan di sini kita juga bisa belajar bareng," jawab cowok itu yang sudah ke sana sebelumnya.
"Gue jadi gak sabar pingin nyoba," ujarnya geregetan. Hal tersebut menciptakan senyuman kecil di bibir Devan. Menyadari itu, Kiara ikut tersenyum lalu kembali memfokuskan tatapan ke depan. Ia harus menahan diri untuk tidak semakin jatuh hati.
Devan sendiri malah merasa bingung, apakah dirinya sedang menjalankan peran sebagai sahabat Sindu untuk membahagiakan Kiara atau memang karena keinginannya sendiri. Namun, melihat tawa lepas Kiara karena salah memainkan alat musik di tangannya, Devan merasakan dadanya berdesir hangat. Rasanya ia ingin terus membuat cewek itu tertawa bahagia.
***"Janji sebentar aja di sananya?"
Kiara tak menjawab, malah mencebikan bibirnya. Ia meminta Devan mengantarkannya ke bukit bintang, tapi cowok itu tampak kurang setuju karena katanya takut pulang kemalamaan. Padahal tempat itu memang terlihat indah saat malam hari.
"Kiara?"
"Oke sebentar. Puas?"
Devan lagi-lagi harus bersabar dengan sifat Kiara yang sedikit-sedikit ngambek kalau permintaannya tidak dituruti. Berbeda dengan Rivi yang sangat penurut dan mandiri.
Akhirnya setelah melewati perdebatan cukup panjang, keduanya menuju tempat yang Kiara inginkan. Devan seharusnya tidak semudah itu menuruti keinginan Kiara jika memang ia tidak ingin pergi. Namun, keras kepalanya cewek itu selalu membuatnya mengiyakan meski dengan terpaksa. Tidak seperti Rivi yang ketika ia bilang jangan, pacarnya akan menurut. Makanya ia tidak pernah merasa secapek sekarang. Kan? Lagi-lagi Devan tanpa sadar membandingkan keduanya.
Sepanjang perjalanan, Kiara tidak bersuara sama sekali. Devan pikir cewek itu masih marah karena perdebatan tadi. Namun, sesampainya di sana cewek itu masih diam, hanya helaan nafasnya yang beberapa kali terdengar.
"Bisa tinggalin gue sendiri?" pinta Kiara lirih. Awalnya Devan sempat bingung, tapi melihat tatapan Kiara yang menyendu, ia akhirnya mengangguk.
Devan hendak pergi, namun saat tak sengaja menyentuh jemari Kiara yang dingin, ia membuka jaketnya dan menyampirkan ke bahu cewek itu. "Harusnya lo bawa jaket kalau sejak awal emang berniat ke sini."
Kiara hanya meliriknya sekilas, kemudian memandang lurus pada taburan bintang di langit yang berpadu dengan city light kota Bandung. Sesuatu di depannya benar-benar indah. Namun, Kiara tidak bisa menikmati keindahan tersebut meski ingin. Dadanya terasa sesak, terlebih saat ia meminta cowok itu untuk meninggalkannya sendiri. Kiara hanya tidak ingin terlihat rapuh, walau ia akui bahwa keberadaan Devan seharian ini telah berhasil membuatnya melupakan kesedihan. Ia benar-benar merindukan kedua orang tuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Go Go Ara! ✔
Teen FictionKiara ingin kembali melanjutkan kisah yang sempat terhenti, sedangkan Devanka bersiteguh bahwa cerita tentang mereka telah lama mati. Kiara ingin memperbaiki rasa sakit yang tak sengaja ia beri. Namun, Devanka sudah merasa tak sudi untuk sekedar men...