Part 19, Reason

3.2K 267 19
                                    

Tak perlu alasan lagi untuk membuatku mundur
***

"Ka-kalian?" Kiara tergagap. Raut wajahnya sudah pucat pasi, tak menyangka kalau Sindu dan kedua sahabatnya akan datang menjenguk Devan. Andai saja bisa meminta, Kiara harap mereka datang beberapa menit ke depan setelah dirinya pergi.

"Ngapain di sini?"

Kiara menggigit bibirnya, tatapannya berubah gusar. Ia menyesal tidak menyiapkan jawaban apapun untuk berjaga-jaga seandainya ketahuan. Mungkin karena Kiara terlalu panik mengetahui Devan sakit sampai tidak masuk sekolah.

"Ara? Heh!" Sindu menjentikan jari ke depan wajah cewek itu hingga terkesiap. "Ah ya? Gi-gimana?"

Berdecak, Sindu mengulang pertanyaannya dengan jelas. "Elo ngapain ada di sini?"

"Em," Kiara menggaruk kepalanya, tatapannya tertuju pada Fitra dan Candra yang ikut memandang penasaran. "I-ini.. gue, g-gue ngerasa bersalah, Ndu."

"Bersalah?"

Cewek itu mengangguk, "Iya, Devan sakit gara-gara nganterin gue. Lo gak lupa kan itu ide siapa?"

Sindu tampak mulai menerima alasannya. Diam-diam Kiara meloloskan nafas lega. Lagian kenapa dirinya harus sepanik ini? Memang tujuannya menengok Devan karena itu.

"Tapi harusnya lo bilang, kan bisa barengan."

Dan gak bebas nantinya? Ah, Kiara memikirkan apa sih? "Gue.. takut lo gak ijinin."

"Ya gak mungkinlah, malah kalau lo kayak gini bisa-bisa nimbulin masalah. Gimana kalau yang datang Rivi? Dia bisa salah paham."

Ucapan Sindu seakan menamparnya keras. Padahal Kiara tadi menikmati kebersamaannya dengan Devan meski hanya sejenak, berusaha mengabaikan bayangan Rivi.

"Lo nya aja kali yang cemburu," celetukan Fitra membuat Sindu tertawa. "Ya gak mungkinlah!"

Fitra kembali hendak menimpali ketika Kiara memotongnya dengan mengatakan ingin segera pulang. Sindu akhirnya menyuruh kedua sahabatnya masuk duluan karena ia akan menemani Kiara sampai gojek yang dipesan datang.

"Kalau udah sampai rumah kabarin."

"Iya," balas Kiara.

"Kalau abang gojeknya macem-macem teriak aja."

Kiara hanya berdehem.

"Kalau-"

"Ndu! Udah deh, gak usah lebay." Kiara merengut, tidak suka selalu diperlakukan seperti anak kecil oleh sepupunya. Please deh, dirinya sudah tujuh belas tahun.

"Bukan lebay, gue kan khawatir. Gimana kalau-"

"Tuh kan!" Kiara menatapnya kesal. "Gak bakalan terjadi apa-apa. Lagian kita udah putus jadi lo gak perlu-aws sakit!" Cewek itu mengusap dahinya yang dijitak Sindu.

"Lo itu sodara gue, makanya gue khawatir."

"Iya tapi gak usah berlebihan. Gue udah dewasa, Ndu." balas Kiara tak mau kalah. "Oh, ya lo gak umumin gitu sama temen-temen lo kalau kita udah putus?"

"Ngapain? Kenapa gak sekalian aja gue bilang kalau lo itu sepupu gue? Lagian juga mereka entar tahu kalau kita sodaraan dan pasti ngerasa tertipu banget."

Benar juga yang dikatakan Sindu. "Ya udah lo jujur aja kalau itu permintaan gue."

Sindu mengibaskan tangannya, "Udahlah, itu masalah gampang. Kalau mereka nanya baru gue jawab."

"Terserah deh."
***

Devan baru memejamkan matanya ketika mendengar suara pintu terbuka dengan keras. Ia mendudukan badan dan langsung melemparkan bantalnya ke arah si pelaku yang malah cengengesan.

Go Go Ara! ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang