22|kita

997 40 0
                                    

"COGANNNN!! HIKSS... HIKSSS.. STOPPPP!!"

Killa memberontak sekuat mungkin, ia sudah seperti orang kesetan saat melihat orang yang dia sayangi sudah babak belur, Satria juga tidak peduli dengan berapa sakit yang ia rasakan, yang ia harapkan adalah Killa, Killa yang bisa memeluknya dengan erat.

"Gue bilang stop Yuko!!!"

Yuko masih mendaratkan pukulannya, dengan kekuatan yang masih sama.  Tidak ada yang berani melerai, sebab semua orang tahu, jika bagaimana Yuko kalau sedang emosi.

Killa mencengkal tangan Yuko yang hendak memukul Satria untuk kesekian kalinya.

"GUE BILANG STOP!" bentak Killa dengan suara yang mengeras, sementara air matanya bercucuran keluar.

"MINGGIR LA!" Bentak Yuko yang tidak kalah keras.

"APA HAK LO MUKULIN SATRIA HAH?! APA HAK LO? KALAUPUN SATRIA YANG NYAKITIN GUE, MAKA YANG BERHAK NGEHUKUM SATRIA ITU GUE?!" Killa sudah benar-benar kalut, mereka sudah benar-benar menjadi pusat perhatian.

"EMANG BENER, LO ITU CUMAN JADI PENGACAU DI KEHIDUPAN GUE YUKO," Lanjutnya lagi.

Killa membantu Satria berdiri, ia tidak tahan. Bahkan tangannya ikut gemetar menyentuh tubuh Satria yang babak belur. Satria masih tetap tersenyum tipis melihat Killa masih peduli padanya.

"Ayo!"

Killa membawa Satrianya pergi ke UKS.

Killa tidak salah bicarakan? Benarkan hang dia bilang? Kalaupun Satria menyakitinya maka dialah yang berhak menghukum Satria. Tidak ada manusia yang harus menghukum Satria kecuali dirinya.

Killa sedikit menjauhi Satria karena atas permintaan Ayahnya, dan Yuko? Cowok itu senantiasa menjadi pengawas pribadi Killa.

Namun nyatanya? Killa tidak bisa.

Satria hidupnya, melihat Satria yang lemah seolah mengikis kehidupannya sendiri. Namun, Bagi Satria ini bukan tentang soal luka, namun ini tentang dirinya dan Killa.

Setelah sampai ke UKS atau RKS--ruang Killa Satria, Satria duduk di tepi brankar, menunggu kekasihnya membawa kotak obat.

"Ini gak sakit, sini aku obatin."

Satria hanya menurut, sementara Killa sibuk mengobati Satria seolah ia seperti dokter jiwa raga untuk Satria.

"Gue gak peduli soal rasa sakit ini La, itu gak penting."

Killa menaruh kembali kotak ibat itu, dan fokus dengan pembicaraan Satria. Suara Satria telah membawa dirinya berulangkali mencintai, dan memahami.

"Iya bukan tentang rasa sakit, tapi tentang kita yang gak bisa jadi kita," tambah Killa. Sebelum mengucapkan itu Killa ingat dengan pesan Ayahnya.

"Killa, lo yang datang ke kehidupan gue."

"Iya emang gue, tapi Sat, kita gak bisa jadi kita seperti yang gue mau dari awal." Killa berusaha setegar-tegarnya mengatakan kalimat singkat itu.

"La, lo udah masuk ke dalam kehidupan gue. Maka gue hak biarin lo pergi gitu aja."

"Iya gue yang masuk, lo itu rumah dan gue tamu. Tentang tamu yang pergi terserah tamu, tuan rumah gak bisa memaksa untuk menetap. Karena yang namanya tamu gak pernah yang menetap."

"Kalau lo berpendapat gue rumah dan lo tamu, boleh gak gue berpendapat kita adalah sepasang sepatu?"

"Gak boleh!"

"Kenapa? Bukannya negara kita adalah negara yang bebas berpendapat?"

Skak mat!

Killa diam.

Perlahan Satria memegang bahu Killa.

"La, sesuatu yang dilakukan bersama akan terasa lebih ringan."

Killa menunduk, menatap lantai RKS yang putih, Satria mengangkat dagu Killa.

"Liat gue La!" Pinta Satria dengan lembut.

"Apa?"

"Denger gue kan?" Tanya Satria memastikan.

"De....nger," jawabnya berbata, Satria meraih tubuh mungil Killa ke dalam pelukannya.

"Semua yang lo takutin akan baik-baik aja."

***

Terima kasih telah hadir
Lalu. melahirkan cinta yang
Tidak ada habisnya.

"Dari mana?" Tanya Gyna to the point, ia dari tadi menunggu Killa ke kelas. Saat mendengar ada insiden di kantin, Gyna menjadi khawatir. Sementara Yenaa mengelilingi SMA LASKAR, mencari Killa.

"Tadi ke RKS, terus duduk di belakang rak perpus," jawab Killa jujur. Setelah dari RKS memang Satria mengajak Killa ke perpus. Menemani Satria mengerjakan tugasnya serasa bercerita ringan.

"Sama Satria?" Tanya Gyna, Killa membalasnya dengan anggukan. Melihat sedikit senyum di wajah Killa, Gyna juga ikut senang.

"Gimana Ayah lo?"

Killa terkekeh pelan, "hehe, urusan nanti aja Na."

Gyna tersenyum prihatin melihat Killa--sahabatnya. "Lo itu aneh La, jadi kemungkinan lo bisa jalanin semuanya."

Dengan spontan Killa memukul pundak Gyna, "gak nyambung lo dasar curut!"

Tidak beberapa lama, Yenaa datang dengan Hary--sepupunya yang anti sekali dipanggil Ry. Di tangan mereka  membawa snack dan teh botol.

"Katanya lo nyari Killa Yen, tapi kok malah santuy gitu? Mana sambil makan lagi," cerocos Gyna.

"Gue udah cari, tapi perut gue gak santuy. Minta makan soalnya."

Gyna mendengus pelan, dan tangannya dengan enteng merampas snack milik Hary.

"Minta ya gue," katanya.

"Balikin Na, kenapa gak lo ambil aja punya Yenaa? Yang jelas lebih banyak dari punya g---"

"Eh cowok gak lo? Cuman gara-gara snack malah ngebacot."

Hary cengegesan, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali.

"Abisnya gue laper."

"Laper ya makan bego, bukan ngebacot," balas Yenaa.

"Udah makan tapi di curi."

Gyna tersentak, "eh enak aja lo bilang gue nyuri."

Killa memutar badannya, menurutnya masalah mereka tidak akan ada habisnya jika tidak ada satu orangpun yang mengalah.

"Kenyataannya kan?"

"Udah deh Ry, kalau mau lagi ya beli, jangan kaya orang susah!"

***

Say hay gaes

My CoganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang