Chapter 22 - Lonely

1.4K 65 8
                                    

....Pintu tertutup rapat lagi. Reina sendiri lagi....

*
**
***

[No details proofreading]

Sepekan berlalu. Itu adalah hari sabtu.

Reina baru mengantar Bagus ke pintu unit apartemen mereka. Suaminya itu tetap pergi bekerja di akhir pekan.

Hari itu, Reina tak punya banyak kegiatan. Kemarin dia sudah mengepel, dan pakaian mereka sudah ia cuci semalam. Pagi ini ia tinggal menjemur pakaian mereka.

Saat sedang asyik menjemur pakaian di balkon. Matanya Reina mengeksplor ke cakrawala. Burung-burung berterbangan bebas ke langit lepas. Muncullah rasa ingin menjadi seperti burung-burung tersebut. Bebas dan bahagia.

Semenjak Bagus tau tentang studio miliknya dan Chandra. Ia tak diizinkan oleh Bagus untuk keluar apartemen, kecuali bersama sang suami. Atau berbelanja ke minimarket terdekat.

Sungguh Reina rindu akan aroma cat minyak, kuas baru, dan aroma canvas yang baru ia buka dari bungkusnya. Ia rindu akan melukis, menarik kuasnya agar menjadi gambar-gambar menakjubkan.

Sebagian lukisannya adalah pemandangan alam. Maklum saja, Reina memang menyukai pemandangan alam. Impiannya adalah mengelilingi dunia ke tempat-tempat yang seindah seperti yang ia lukis. Apalah daya, ia sekarang sudah menikah bahkan sebelum ia lulus, dan sempat berkeliling dunia.

Coba saja suaminya adalah seorang yang ia impikan. Tapi, kenyataan berkata lain, ia malah sering terkurung dan mendambakan kebebasan. Coba saja suaminya mencintainya? Iya, itulah yang sering terlintas di pikirannya, semenjak Chandra menyatakan cintanya. Pertanyaan tentang itu sering muncul, bagaimana malangnya nasibnya, karena menikah bukan karena dasar cinta. Ia bisa saja belajar mencintai sang suami, dan itu akan mudah jika suaminya juga mau belajar mencintainya. Tapi, ia malah mendapatkan perlakuan kasar dari sang suami. Yeah, walaupun bukan kekerasan fisik. Perlu dicatat, Bagus hanya sering membentak, dan mengamcamnya, tapi ia tak pernah memukul Reina.

Cinta? Mungkin itu taboo bagi hubungan Reina dan Bagus.

Tiba-tiba sesuatu membasahi pipinya, "bodoh! Kenapa aku nangis?!" Gerutu Reina.

Reina segera memeriksa ponsel disakunya ketika mendengar suara dering ponsel.

"Eh, hape aku nggak bunyi... Terus hape siapa donk?" Tanyanya. Lalu Reina segera masuk dan mencari asal suara dering tersebut.

Ternyata dering ponsel tersebut berasal dari arah dapur. Reinapun segera ke sana dan mendapati ponselnya Bagus yang tergeletak di atas meja makan.

"Ya ampun, kok bisa ketinggalan sih?"

Reinapun segera meraih ponsel tersebut. Namun, dering ponselnya lebih dulu terhenti.

"Yah.. udah mati... Emangnya siapa sih yang nelpon Kak Bagus pagi-pagi gini?"

Reinapun mencoba membuka ponselnya Bagus, dan untung saja Bagus tidak memasang kata sandi di ponselnya.

"Elisa?"

Reina melihat itu. Bahwa ternyata Elisalah yang telah menelpon Bagus.

Muncullah spekulasi mendadak di pikirannya, hasil dari renungannya saat menjemur pakaian tadi.

"Elisa? Kak Baguskan dulu cinta sama dia. Jangan-jangan sampe sekarang, dia masih cinta. Jangan-jangan Kak Bagus sekarang ngerasa aku kayak penghalang." Pikir Reina. "Tapi, ah.. nggak. Kalo bener, terus kenapa Kak Bagus nggak langsung cerein aku aja?" Lanjutnya.

"Aku telpon balik nggak yah?" Reina pikir ia harus menelpon Elisa kembali dan berkata bahwa ponselnya Bagus tertinggal atau tidak usah.

"Ah.. nggak usah aja deh. Entar, biar Kak Bagus yang nelpon balik."

Mr.CEO vs Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang