Seminggu aku tak masuk sekolah, seminggu aku murung dan membuat Ibuk serta Bang Rayan kalap bukan main. Sampai Buk Nur, wali kelasku datang mengunjungi rumah. Menanyakan sebenarnya aku sakit apa.
Ya, aku berbohong. Aku bilang pada mereka bahwa aku demam. Namun akhirnya semua terbongkar ketika Bang Rayan mulai curiga dengan gelagatku. Tidak ada tanda-tanda gejala demam.
Sampai akhirnya, didepan Ibuk, Bang Rayan dan Buk Nur kuceritakan semuanya. Ku lepaskan beban selama seminggu ini. Memang tidak ada hasil yang menyatakan aku hamil, hanya saja diri ini sudah terlecehkan.
Bang Rayan naik pitam, dia tak terima. Malam itu juga kami bersama Buk Nur datang ke rumah Revi. Rumahnya besar bukan main, halamannya luas bisa untuk lapangan bola. Ternyata dia anak konglomerat.
"Abang, kita pulang aja. Dhini gak mau berurusan sama dia lagi," pintaku ketika mobil Buk Nur sudah terparkir di halaman luas rumahnya Revi.
"Enggak. Dia harus tanggung jawab. Abang rela kamu lepas masa sekolah kamu ketimbang harga diri kamu tercoreng, Dhin." Begitulah Bang Rayan, dia tak bisa dibantah.
Kami disambut hangat oleh keluarga Revi. Ada Mami serta Papinya, tak nampak tanda-tanda kehadiran Revi. Aku tak tahu dia kemana.
Buk Nur selaku wali kelasku menjelaskan semuanya, tanpa ditambah maupun dikurang-kurangkan. Ibuk yang duduk disampingku memeluk erat bahuku. Bang Rayan beberapa kali tertangkap olehku menghela nafas kasar. Dia sedang mengendalikan emosi.
"Astagfirullah, maafkan Revi. Saya gak nyangka dia bisa begitu. Kami akan bertanggung jawab. Revi akan kami nikahkan dengan Dhini," aku Iba melihat Maminya. Tega dia merusakku dan membuat wanita yang mengandungnya selama sembilan bulan sepuluh hari menangis tergugu dengan wajah menahan malu. Papinya selaku kepala keluarga mengeratkan rahang, pertanda benar-benar marah.
Ketika kami akan pamit pulang, disitulah untuk pertama kali lagi aku bertemu dengan Revi. Laki-laki berjaket maroon serta celana jeans hitam itu menatap datar ke arah kami.
Tanpa aba-aba, Bang Rayan berjalan mendekat dan membogem wajah Revi. Kami terkejut bukan main, bahkan sampai Ibuk beristigfar melihat kelakuan anak sulungnya. Lain hal dengan Papi Revi, dia hanya diam melihat anaknya jadi bahan tonjokan Bang Rayan.
Aku benar-benar lemas. Kenapa semua harus begini? Kenapa hidupku jadi sedrama ini?
***
Tidak ada yang salah memang menikah di KUA, tetapi pandangan orang lain berbeda. Nama keluargaku rusak dan tercoreng. Rasanya aku sudah tidak ada muka lagi untuk menghadapi orang-orang di luaran sana.
Bisakah aku mengurung diri untuk selamanya?
"Saya terima nikah dan kawinnya Andhini Syahira binti Pramudi Husein dengan mas kawin tersebut tunai." Hari itu, aku dan Revi resmi halal di mata agama, tapi tidak di mata hukum.
Usiaku dan Revi masih baru tujuh belas tahun dan baru akan mengurus KTP. Pihak KUA menyarankan kami untuk menikah secara agama dulu atau biasa orang-orang sebut menikah siri, sampai KTP kami selesai dan bisa menikah secara hukum.
Aku pusing. Mau hilang saja rasanya dari dunia ini? Cuma, kembali lagi aku melakukan ini semata-mata hanya untuk Allah. Jalan seperti ini pun adalah takdir Allah. Aku bisa apa?
"Nanti kalian mau tinggal dimana? Rumah Revi atau rumah Dhini?" Pertanyaan itu dilontarkan oleh Mami Revi setelah akad nikah berselang beberapa menit.
"Di rumah yang Mami kasih waktu ulang tahun Revi kemarin aja," bukan aku yang menjawab, tapi Revi. Entah rumah apa dan punya siapa aku tak peduli. Aku hanya menunduk dan menatap kosong lantai ruang sekretariat KUA.
"Kamu yakin? Nak Dhini, apa kamu setuju?" Kuangkat wajahku dan menatap Maminya Revi. Wanita setengah baya itu tersenyum diantara tebalnya make up.
"Rumah siapa ya, Tante?" Tanyaku ulang karena belum merasa nyambung.
"Rumah gue. Ntar kita tinggal berdua aja,"
"APA?" Semua mata tertuju padaku karena berteriak. Apa muksud anak itu? Rumah dia? Tinggal berdua? ASTAGFIRULLAH, tahukah dia bahwa dialah satu-satunya orang yang ingin ku jauhi?
"Ya udah kalau itu maunya Revi. Gak apa-apa," balas Ibuk memperkeruh suasana.
"Enggak! Dhini gak mau. Dhini mau tinggal sama Ibuk aja!" Ucapku dengan mata memerah menahan tangis.
"Ini keputusan gue!" Balas Revi tak kalah kerasnya.
Ku beri tatapan kesal ke arahnya. Bisa gak sih dia gak usah memaksakan kehendak?
"Terserah kamu, saya maunya tinggal sama Ibu saya. Kalau kamu mau tinggal disana, tinggal aja sendirian!" Balasku telak. Tak mau dibantah. Terserah dia mau gimana, urus saja diri sendiri.
"Hus! Gak boleh gitu sama suami nak. Ikuti kata pemimpin rumah tangga." Ini Ibu apalagi coba? Astagfirullah. Aku ingin menangis rasanya. Tahu gak sih rasanya takut setakut-takutnya sama seseorang dan malah dipaksa tinggal serumah itu seperti duniamu adalah bencana.
"Dhini gak mau, Ibuk..." bujukku sambil menangis. Ku peluk Ibuk dengan kuat seakan tak mau dilepaskan. "Dhini takut..." gumamku lirih.
Kurasa Ibu mengusap-usap punggung berbalut kebaya putihku. "Bismillah, gak ada yang perlu ditakutkan. Allah bersama orang-orang yang baik, nak."
Pecah jua tangisku siang itu. Mau berontak, tapi tak bisa ketika Ibu sudah berbicara seperti itu. Ibu adalah surgaku dan aku tak mau membantahnya.
Siang itu jadi sejarah dalam hidupku yang mungkin susah untuk dilupakan. Keputusannya, aku harus ikut dengan Revi ke rumah tujuannya. Dan mungkin, kemana saja dia pergi aku harus nurut dan ikut.
***
Batam, 11 Agustus 2019

KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Dhini
Spiritual"Saya tidak benci takdir, tapi saya benci kamu. Yang saya tahu pernikahan adalah ta'arufan seumur hidup." Andhini Syahira. "Terserah, mau benci atau enggak, gue gak peduli. Kalau enggak betah sama gue, pergi aja!" Reviandra Regasa. *** Terinspirasi...