16. Kejelasan

11K 759 29
                                        

Hiruk pikuk Pengadilan Agama siang ini membuatku tak berhenti menghela nafas. Rasanya ada yang berbeda.

Sudah seminggu sejak kejadian Bang Rayan memukul Revi dan sama sekali tak ada kejelasan. Bahkan untuk mencariku saja tidak, jadi apa yang harus kupertahankan?

Hahaha, lagi-lagi air mataku mengalir. Bang Rayan yang berada di sampingku tak berhenti mengecek ulang dokumen yang sudah kami siapkan beberapa hari belakang ini. Ribet sekali, terlebih harus mengurus surat sah menikah di mata hukum karena saat ini status pernikahan kami masih siri.

"Jangan nangis! Ini pilihan yang terbaik buat kamu. Dia bukan laki-laki yang baik," aku diam saja ketika Bang Rayan berbicara begitu. Mungkin perkataan itu sudah di ulang-ulangnya.

Kualihkan wajah ke arah kanan, berharap tangisku berhenti. Sekelebat memori tentang Revi berputar di ingatanku. Bohong kalau aku bilang saat ini dia tak penting bagiku.

Tak lama namaku di panggil untuk mengurus segala macam persyaratan pengajuan gugatan cerai. Ditanya ini-itu, aku lelah. Maunya hari ini di rumah dan merenung, benarkah ini jalan yang baik? Akankah Allah ridho jika aku mengakhiri semuanya?

"Tadi abang dapat telpon dari Ayahnya Revi," seketika langkahku terhenti ketika kami menuju parkiran.

"Papi bilang apa?" Nada suaraku mengisyaratkan bahwa ada rasa senang ketika keluarga Revi mencariku.

Bang Rayan hanya diam dan kembali melanjutkan jalan. Kupercepat langkah sambil berusaha mencekal tangan Bang Rayan. "Bang, Papi bilang apa?" Tanyaku menuntut.

Bang Rayan masih diam, dia sibuk memasang helm dan menstater motornya. "Naik!" Titahya.

"Gak. Abang bilang dulu sama Dhini, tadi Papi bilang apa!" Ucapku dengan sedikit nada tinggi.

Bang Rayan nampak menghela nafas. "Revi kecelakaan seminggu yang lalu,"

***

Apa boleh aku menangis sekeras-kerasnya hari ini? Apa boleh aku merasa senang dan sedih di waktu bersamaan?

Ya Allah, dosakah aku karena terus berfikir negatif tentang Revi? Kufikir dia memang benar-benar tak mengingatku dan membiarkanku mengugat cerainya. Namun semua faktanya jauh dari ekspetasiku. Dia hilang memang karena harus terbaring koma di rumah sakit.

Tanganku bergetar kala memegang gagang pintu rawat inapnya. Aku hanya sendiri, Bang Rayan memilih pulang. Suara derik pintu dengan ucapan salam dariku menarik perhatian beberapa orang yang ada di dalam ruangan.

Fokusku langsung jatuh pada Revi yang terbaring dengan selang di mulutnya. Kepalanya di perban dengan banyak goresan di wajah. Gemuruh dalam hatiku meruntuhkan semuanya. Perlahan aku berjalan mendekat, menatap lebih dekat sosok yang sebenarnya kurindukan.

"Dhini.." aku menoleh pada Mami yang memegang tanganku. Wajahnya nampak kuyu dengan lingkaran hitam di matanya. Sanggul yang selalu dia pakai kini berganti dengan ikatan kuda di rambut.

Senyumnya nampak getir. Apalagi ketika memelukku singkat namun mewakili segala bebannya selama seminggu ini. Kubalas tak kalah dalam sambil menangis kembali.

"Maafin Revi..." lirihnya sambil menghapus air mataku. Aku mengangguk cepat dan kembali memeluknya.

Hah, Revi kenapa takdir kita harus begini?

***

Assalamu 'alaikum?

Hiya2 lama, maap ya. Singkat dulu biar tau garis besarnya.

Doain Revi ya cepat sembuh dan bangun lagi☺

Batam, 19 November 2019

Pernikahan DhiniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang