18. Menjadi Asing

10.7K 775 62
                                    

Sunyi dalam keramaian itu sangat tidak enak. Kamu ada namun seperti transparan. Disaat semua orang merayakan sukacita bangunnya Revi dari tidur panjangnya, aku hanya mampu mematung menatapnya yang masih bingung akibat banyak obat yang diserap oleh tubuhnya.

Aku pun tak yakin dia merasakan kehadiranku di tengah-tengah keluarga besarnya. Ya, hari ini keluarga besar Revi datang. Mulai dari nenek, tante & om, hingga sepupu-sepupunya.

Mereka berjenaka ria. Menertawakan satu sama lain untuk menghibur Revi yang hanya menampakkan senyum segaris. Mungkin, bagi mereka aku tidak asing, tapi akulah yang mengasingkan diri dari mereka.

Aku terus menunduk dan sesekali menatap Revi. Laki-laki yang membuatku benci dan jatuh cinta dalam satu waktu itu nampak mengedarkan pandangannya. Aku yakin dia takkan melihatku, karena aku duduk di sofa pojok, dekat Sarah yang sedang asik berselancar di dunia maya, hingga enggan ikut nimbrung bersama keluarga besarnya.

"Laras mana, Mi?" Pertanyaan itu seketika membuat hening satu ruangan. Jangan tanyakan bagaimana kondisi hatiku. Selama dua minggu ini akulah yang ada di sisinya dan menunggunya bangun, sampai kadang aku hanya tidur dua jam. Dimana gejolak batinku semakin parah.

Tetapi, bukan akulah perempuan pertama yang ditanyakannya. Sarah yang awalnya asik bermain ponsel seketika menatapku. Ada raut cemas disana.

Beberapa keluarga Revi pun melirikku sekilas. Aku hanya mampu tersenyum kaku, setelahnya menunduk.

Mami Revi berdeham. Dia memperbaiki letak bantal Revi yang sedikit miring karena laki-laki itu sibuk celingak-celinguk. "Dia ada di hotelnya," jawab Mami seadanya.

"Loh, dia gak nemenin Revi?" Tanya laki-laki itu lagi. Bisa gak sih aku menghilang saja dari ruangan ini? Atau apalah gitu yang membuatku tak terlibat dalam kondisi seperti ini.

"Permisi..." semua mengedarkan pandangan pada satu sosok perempuan yang baru hadir. Apa aku boleh marah saat ini? Apa aku diizinkan sekali saja egois? Kenapa dia harus datang di waktu yang tak tepat.

"Maaf baru datang. Tadi ngemasin kamar dulu," dia, Laras, nampak tersenyum kaku. Ketika matanya bertemu pandang denganku, ada raut terkejut. Aku hanya diam tanpa ekspresi.

"Kemana aja lo?" Sambar Revi langsung.

Laras berjalan mendekat, lupa akan rasa tak enaknya padaku. Haha, takdir ini lucu. Biar mereka menyelesaikan atau bahkan memulai yang dulu pernah sempat tumbuh.

Aku berdiri. "Saya permisi dulu. Insyaallah besok kesini lagi kalau gak ada halangan. Assalamu 'alaikum?"

Bodo amat dengan raut terkejut Revi. Bodo amat dengan raut panik keluarga Revi. Bodo amat dengan takdir hari ini. Aku hanya perlu pergi, jauh, entah kemana yang penting tidak dalam lingkup hidup Revi.

Aku berjalan cepat sambil terus berusaha menghapus air mata. Aku nyesal. Semua yang pernah aku lalui, aku menyesal. Aku mau menyalahkan takdir. Tolong, sekali saja aku diperbolehkan egois. Aku manusia biasa, aku punya lelah dan rasa capek.

Aku mau ini berakhir secepatnya. Tolong.

***

Semua ditunda. Masalah perceraian itu pun aku tak datang ketika mediasi. Untuk sidang pertama pun aku enggan hadir.

Aku hanya ingin lupa. Lupa tentang semua yang ada. Walau hanya sebentar. Kalian pahamkan?

"Dhin?" Suara Ibuk lagi-lagi menjadi suara yang mengisi hariku selama empat hari ini. Iya, empat hari aku mengurung diri di kamar.

Merenungi cerita yang diciptakan oleh takdir. Ponselku di non-aktifkan. Aku ingin pergi dari peradaban dunia. Mau mencari ketenangan.

Aku tahu, selama empat hari ini Papi Revi bolak balik ke sini menanyakan keadaanku. Namun aku acuh. Aku benci Revi. Aku benci rasa cinta yang timbul ini!

"Dhini?" Lagi, Ibuk memanggil. Dengan terpaksa aku beranjak membuka pintu. Betapa terkejutnya aku melihat Mami berdiri di sebelah Ibuk.

Kupasang raut datar. Tanpa tanya dan hanya menatap.

"Dhini..." lirih Mami. Aku diam, menunggu kelanjutan ucapan beliau.

"Kita bicarain ini baik-baik ya, nak? Kamu harus dengar semua dari sisi Revi. Mami mohon..."

"Maaf, Mi. Dhini lagi nenangin diri. Tolong dipahami," potongku. Setelahnya, aku tutup pintu kamar dan mengunci. Terserah kalian mau bilang aku tak sopan atau apalah, itu hak kalian.

***

Satu malamnya. Ketika sedang pergi ke dapur untuk membuat teh hangat, terdengar suara gaduh diluar. Aku berusaha acuh, mungkin tetangga, fikirku.

Karena Ibuk pergi ke Bogor tadi siang, aku hanya tinggal berdua dengan Bang Rayan sampai besok. Aku tahu dia sudah pulang karena dengar suara motornya. Namun anehnya, sudah hampir sepuluh menit belum juga masuk ke rumah.

Sehabis menyeduh teh, aku berjalan menuju pintu yang masih tertutup. Sayup-sayup terdengar suara cek-cok antar laki-laki.

"PULANG LO! MAU MATI BABAK BELUR LO SAMA GUA!" Itu suara Bang Rayan. Suaranya meninggi, tak biasanya.

Kusibak gorden. "Gua mau ketemu Dhini. Banyak yang harus gua jelasin, Bang!"

Prang

Gelas ditanganku jatuh seketika. Panas air teh seperti tak berasa di kulit kakiku. Dia...datang? Setelah hampir sebulan?

"PULANG GUA BILANG!" Setelahnya terdengar suara gebukan. Aku tak tahu apa yang Bang Rayan lakukan pada Revi.

Aku hanya mampu terduduk di dekat sofa. Tanganku bergetar hebat. Kenapa hanya dengan melihat siluet dan suaranya membuatku seperti ini?

Lalu, memori kejadian di toilet itu datang. Satu hal yang pernah sempat kulupakan, namun kini menjadi bayang-bayang menakutkan kembali.

"Astagfirullah..." ku pukul kepalaku untuk mengenyahkan kejadian itu. Tak sadar air mata sudah membasahi wajahku.

Aku ini kenapa? Kenapa aku menjadi fobia hanya mendengar suara Revi?

"GUA CUMA..." BUGH.

Setelahnya semua menghitam. Aku hanya tahu aku berada di sebuah tempat gelap gulita dengan suara tendangan pintu. Persis seperti kejadian tempo dulu di toilet sekolah yang mengubah jalan cerita hidupku.

***

Ada yg bisa tebak Dhini kenapa?

Wkwkwk

Lanjut or tidak?

Maapkan typo

Batam, 11 Desember 2019

Pernikahan DhiniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang