Pagi, sejuk dan menggembirakan. Ya, aku rasa keputusan kemarin cukup tepat. Aku rasa ada baiknya juga memberikan kesempatan.
Bukankah Allah saja pemaaf? Masa aku yang manusia biasa saja gak bisa memaafkan. Toh, semua orang pasti pernah membuat kesalahan dan mereka pun punya hak untuk menerima balasan baik atas penyesalan.
"Mau masak apa?" Aku berjingkat kaget. Revi datang tiba-tiba dan membuyarkan semua lamunanku.
Dia terkekeh.
Hari ini dia sudah nampak rapi. Tidak gondrong seperti kemarin-kemarin lagi. Wajahnya juga nampak lebih segar. Bahkan, senyum tak mau hilang dari bibirnya.
Aku mendengus. "Kamu maunya apa?" Tanyaku balik.
Dia malah menggeleng dengan ekspresi geli. "Aku maunya kamu, gimana dong?"
Mati. Wajahku panas seketika. Gombalan macam apa itu? Belajar dari mana dia? Astagfirullah, ini gak tahu apa kakiku jadi lemas.
"Receh banget sih. Aku serius, mau makan apa?" Ya, sengaja kuganti gaya bicara. Tidak lagi seformal dulu. Bukankah mau mulai dari awal? Kurasa harus mengawali dari hal-hal kecil. Ya, seperti gaya bicaraku yang selalu menggunakan kosakata saya sebagai pengganti orang pertama. Benar gak sih gitu?
Dia malah tertawa. Dengan ringan malah menarik kedua pipiku. Mampus, makin tak karuan jantungku.
"Apa sih, sakit! Serius ini aku, mau makan apa? Kalau gak jawab, aku masak sesuai seleraku aja," kataku tersungut kesal. Sebenarnya gak kesal, ini namanya kamuflase. Pahamkan?
"Hahaha," lagi, dia tertawa. "Aku ngikut kamu aja." Balasnya. Setelah itu berlalu menuju ruang TV. Menghidupkannya, lalu berhenti pada siaran gosip.
Aku menoleh sebentar. "Ganti ah, masa cowok nonton gosip!" Interupsiku.
"Iya iya. Ini diganti." Revi nurut. Di ganti menjadi siaran Mamah Dede. Alhamdulillah.Aku tersenyum geli. Lalu kembali memotong-motong tempe.
Kemarin, sehabis acara baikkan itu. Aku ikut pulang ke rumah Revi. Maksudku, pulang ke rumah kami. Sempat mampir dulu ke supermarket buat beli bahan-bahan belanja, Revi yang minta. Padahal aku bilang bisa besok, sekalian ke pasar. Lebih murah dan bisa di tawar.
Dia bilang enggak usah, di rumah gak ada bahan-bahan masakan lagi.
Serius, waktu sampai ke rumah, ini rumah seperti gudang. Dekat TV bahkan ada sarang laba-laba. Kulkas mati, yang buatnya malah menguarkan aroma tak sedap.
Jadilah tadi malam kami beres-beres dalam masih keadaan canggung. Dan, hal kemajuan pesat lainnya. Kami tidur satu kamar!
Duh, malu sih akunya. Tolong jangan pikiran kemana-mana dulu. Kami cuma tidur bareng, bukan ngelakuin hal yang tidak-tidak. Dia paham, ini baru hari pertama setelah acara baikkan tersebut.
Perlu waktu panjang untuk memperbaiki yang pernah rusak. Butuh waktu yang cukup banyak untuk aku bisa menyesuaikan diri dengannya. Yah, aku harap kalian paham.
***
"Kok enak?" Pertanyaannya itu bikin aku kesal. Kami sedang makan, dia antusias mencicipi tempe orek dan oseng kangkungku. Tapi ujung-ujungnya malah menghujat.
"Akukan bisa masak sih," balasku sewot.
"Hahaha," dia tertawa lepas. Dengan santai memindahkan hampir setengah oseng kangkung ke piringnya. "Santuy dong, jangan sewot gitu enengnya,"
Aku menggeleng tak habis pikir. Ada kesal dan ada senangnya juga. Ternyata begini ya pernikahan normal itu? Rasanya....bahagia pakai banget. Hehe.
"Pokoknya besok atau sampai kapan pun, di meja makan harus ada oseng kangkung buatan kamu. Itu wajib bukan sunah," katanya tanpa berhenti mengunyah.
Aku tersenyum geli. Begini Revi yang asli itu?
"Memangnya gak bosan?" Tanyaku.
Dia menggeleng dengan ekspresi dramatis, berusaha meresapi oseng kangkung yang menurutku biasa saja itu. "Kalau bosan, tandanya aku juga bosan sama kamu. Nyatanya, aku malah gak bisa jauh-jauh dari eneng istri."
Apa sih, Rev? Aku jadi malu sendirikan. "Gak nyambung." Balasku.
"Habis kuota gak? Makanya gak nyambung." Krik krik. Ih, receh sekali manusia satu ini.
Aku memutar bola mata. "Receh deh,"
"Hahaha," dia malah tertawa. Suka-suka dia saja. Aku lelah. Gak nyangka punya suami segesrek ini.
***
Sudah berapa kali aku meneriakinya. Sampai mau putus rasanya urut leher. Dan, dia dengan polosnya tak peduli, masih saja mainin sabun cuci piring.
Please, ini sudah siang. Sudah mau masuk waktu dzuhur dan dia masih heboh memainkan sabun cuci piring dan membiarkan piring bekas makan kami teronggok kotor.
Dia bilang mau mencuci piring dan menyuruhku untuk duduk anteng di kursi meja makan. Aku iya saja. Setelah tahu kelakuan gilanya ini, aku bereaksi kesal, meminta agar aku saja yang mencuci piring-piring itu.
Dia melarang. Saat aku hendak berjalan mendekat, dia malah mencipratkan sabun. Membuatku beristigfar berkali-kali.
Ya Allah, ini baru hari pertama loh aku hidup harmonis dengannya. Tapi aku stres mendadak karena ulahnya. Mungkin bulan depan aku sudah di larikan ke RSJ terdekat.
Enggak, bercanda. Na'uzubillahimindzalik.
"Revi! Ya Allah, udahan ah! Becek semua lantainya. Siapa yang mau ngepel? Aku capek ya. Udah sana mandi, siap-siap solat dzuhur, biar aku aja yang cuci piringnya." Kataku. Ya ampun kelakuan laki-laki satu ini!
"Udah duduk aja sih. Harusnya kamu bangga punya suami yang mau nyuciin piring. Jarang-jarang loh," YA ALLAH! Aku menggeram kesal. Sumpah, ini dapur udah seperti kebanjiran.
"Revi!" Kupukul lengannya kuat. Mendorongnya pelan menuju kamar. "Sana mandi! Udah mau adzan dzuhur," kataku.
"Iya iya. Gak asik kamu, padahal balonnya masih sedikit." Gerutunya. Sebelum pergi, dengan santai dia mengelap tangannya yang bersabun pada gamisku.
"Astagfirullah, REVI!!!"
Mampus, lama-lama aku kena riwayat darah tinggi ini.
***
Jujur, ini saya nulisnya agak geli.
Gimana? Lanjut? Masih kuat sama yang manis-manis?
Tembus 100 komen lagi sama up cepet. Beneran.
Batam, 07 April 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Dhini
Spiritual"Saya tidak benci takdir, tapi saya benci kamu. Yang saya tahu pernikahan adalah ta'arufan seumur hidup." Andhini Syahira. "Terserah, mau benci atau enggak, gue gak peduli. Kalau enggak betah sama gue, pergi aja!" Reviandra Regasa. *** Terinspirasi...