32. Sedikit Kenangan

9.5K 665 69
                                    

Aku tak tahu, apakah ini bisa disebut kenangan. Sedangkan waktu bersama kita saja tak banyak.

-Reviandra Regasa-

***

Aku termenung menatap cangkir berisi teh hangat di depanku. Pikiranku melalang jauh, tapi aku juga bingung apa yang sedang ku pikirkan. Rasanya, seperti aku ini mengawang dengan banyak beban yang menindih pundak.

Semakin lama mataku kembali perih. Lalu menetes begitu saja air mata.

"Abang gak akan melarang apa pun keputusan kamu, Dhin. Kalau memang akhirnya cerai jalan terbaik buat kamu dan Revi, abang bakal bantu," kutatap bang Rayan yang duduk di seberang. Ternyata sudah hampir dua jam aku duduk di ruang tamu ini semenjak sampai di rumah.

Ibuk yang duduk di sampingku tak henti menyalurkan kehangatan lewat genggaman tangannya. Aku mengangguk pelan.

"Besok abang urus semuanya," katanya lagi. Aku menghela nafas panjang, lalu bergantian menatap Ibuk dan bang Rayan. Aku tersenyum, cukup lebar. Ya, memang seharusnya begini, tidak diratapi. Aku harus tersenyum, bagaimana pun keadaannya.

"Minum lagi. Nanti Ibuk yang bantu susun barang-barang kamu," kata Ibuk dan aku menuruti.

***

Hah, rasanya sudah lama sekali tak melihat kamar ini. Semuanya masih rapi, Ibuk masih merawatnya. Langkahku terhenti ketika melihat bingkai foto yang lumayan usang.

Aku memilih duduk di kursi belajar. Ini meja dan kursi belajarku, sudah lama tak ku sentuh. Aku rindu.

Kuraih bingkai foto itu. Disana, ada aku, Ayah, Ibuk dan bang Rayan. Hari itu, hari dimana foto ini diambil ketika kelulusan SMP bang Rayan. Dan aku, masih umur lima tahun.

Aku tertawa pelan. Disana aku masih di gendong sama Ayah. Masih polos menatap kamera. Hm, tapi aku lupa siapa yang bantu ambil foto kami. Pokoknya aku makasih banyak sama dia, berkat dia foto ini bisa kupajang di kamar dengan bingkai yang di beli Ayah di supermarket, harga dua puluh ribuan.

Aku tersenyum lagi. Ini Ayahku, yang merawat dan menyayangiku sampai akhir hayatnya. "Ayah, doain Dhini bisa masuk UGM. Doain Dhini semoga bisa jadi dokter. Ayah pasti senangkan?"

Bibirku yang tersenyum terasa bergetar, lamat-lamat air mata turun lagi. Kudekap bingkai itu. Menyalurkan rindu yang tak ada sudahnya dan tak ada muaranya. Kenapa rindu semenyiksa ini?

"Dhini sayang Ayah." Ya, itu mutlak takkan bisa di toleransi. Ku cium bingkai itu sebelum meletakkannya kembali.

Menghela nafas lagi, lalu memilih berbaring di kasur mini ini. Memang aku bukan orang berada, yang tidurnya pakai kasur super empuk dan besar. Aku adalah Dhini, gadis yang lahir dari keluarga sederhana dan keluarga yang amat harmonis. Selamanya akan begitu, aku hanya akan jadi Andhini Syahira, aku tak perlu mengubah apa pun. Ya!

***

Ini pukul berapa?

Aku menoleh, menatap jam dinding yang tergantung di tembok. Pukul 20:18. Aku menggaruk kepalaku, bingung ingin mengerjakan apa.

Aku belum ngantuk. "Ck," kenapa aku malah jadi bingung, biasanya tak begini. Kenapa aku malah kehabisan kegiatan?

Aku menoleh ke arah pintu yang sedikit terbuka, tak terlihat siluet Ibuk, tapi TV menyala. Aku menghela nafas, bang Rayan bilang malam ini dia tak pulang, dia lembur. Jadi tak ada teman ngobrol kalau dia lembur.

Pernikahan DhiniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang