Kurasa kekanakan kalau aku memilih pergi tanpa mendengar penjelasan Revi. Pun aku tahu kalau dia dan keluarganya membohongi aku selama ini.
Aku harus bersikap dewasa kan? Tidak boleh memutuskan semuanya dalam waktu singkat kan?
Jadi, memilih duduk di sofa sambil menunggu pulangnya Revi. Apa pun yang nanti terjadi kuharap kalian paham. Karena tak semua pemikiran kalian bisa satu dengan pemikiranku.
Kutatap jam dinding yang tergantung di atas lemari kabinet, diluar sana terdengar seruan adzan maghrib. Yang kutunggu pun belum pulang.
Menghela nafas sebentar, aku memilih beranjak mengambil wudhu. Menjernihkan pikiran dengan ibadah. Membentangkan sajadah ke arah kiblat dan melaksanakannya dengan tenang.
Selesai doa serta sujud syukur sebentar, terdengar langkah kaki seperti mondar-mandir di ruang tengah. Kubuka pintu dan melangkah keluar, ternyata Revi.
Dia mengacak rambutnya kalut, sesekali menatap amplop yang kuletak di meja depan sofa. Mungkin dia belum sadar ada aku disini. Aku cuma diam, menunggu dia sampai menyadari kehadiranku.
"Astagfirullah!" Dia bergumam dengan semakin kentara meremas rambutnya.
"Revi?" Panggilku. Tanpa bisa ditahan, aku menangis, lagi. Dia menoleh dengan sedikit tersentak. Kami sama-sama diam cukup lama, menunggu salah satu membuka suara.
Ku hapus air mata dengan kasar. Tenggorokan rasanya tercekat, perih. "Dhin-"
"Apa kurang selama ini kamu nyakitin aku?"
Revi terdiam.
"Kamu pikir selama ini aku bahagia? Dengan kamu ajak aku hidup di rumah bagus dan semua serba ada ini, aku bahagia?" Kutatap dia nyalang. Aku benar-benar kecewa kali ini.
"Enggak, Rev. Aku gak bahagia dengan harta orang tua kamu!" Kulihat rahangnya mengeras. Kurasa dia tersinggung. Kuhapus lagi air mata dengan kasar.
Kuambil amplop cokelat itu, kukeluarkan isinya dengan kasar. "Aku gak nyangka, kamu dan keluarga kamu bohongin aku selama ini. Kamu gak berhenti sekolah! Kamu cuma pindah! KENAPA REVI? KAMU YANG HANCURIN AKU DAN AKU YANG NANGGUNG SEMUANYA!" Kulempar semua isi amplop itu ke arahnya. Aku kalut, jelas.
Kulihat dia mengemasi semua barang itu yang baginya amat penting dan kembali memasukkannya ke dalam amplop, tanpa ada buka suara sedikit pun.
"Aku mau pisah!" Gerakkannya menaruh amplop di atas meja langsung terhenti. Setelah itu menatapku cukup lama.
"Aku mau kita cerai, Revi!" Tegasku lagi.
"Gak gitu caranya menyelesaikan masalah, Dhini." Balasnya pelan.
Aku tertawa dan menangis bersamaan. Apa dia bilang tadi? "Kamu...terlahir dari keluarga yang punya segalanya. Kamu...bisa dapatin apa aja yang kamu mau, tanpa harus susah-susah berusaha. Bahkan, orang tua kamu bisa menyuap orang lain dengan duit berapa pun biar masa depan kamu tetap bagus." Aku terduduk di kaki sofa, rasanya semua badanku lemas setelah menguarkan emosi tadi.
"Sedangkan aku, aku orang biasa. Abangku harus mati-matian kerja, nyari duit, gak peduli dia bakal sakit, cuma demi aku bisa punya masa depan yang baik." Aku menoleh, menatap dia yang menunduk dengan pandangan lurus ke arah amplop cokelat miliknya.
"Kamu rusak aku, kamu hancurin hidup aku. Apa itu kurang? Kamu gak pernah tahukan, gimana malunya aku ikut paket C? Gimana aku jadi omongan tetangga? Gimana sedihnya Ibuk aku karena anak perempuan satu-satunya jadi bahan omongan? KAMU MEMANG GAK AKAN PERNAH TAHU, KARENA KAMU ORANG KAYA! ORANG TUA KAMU BISA NUTUP MULUT MEREKA YANG BERANI NGOMONGIN KAMU!"
"Aku minta maaf,"
Aku benar-benar lemas dengan ucapannya tadi. Apa segampang itu maaf keluar dari mulutnya tanpa adanya rasa bersalah?
Aku menghela nafas. Berdiri dan menatapnya. "Keputusan saya udah bulat. Saya gak bisa lanjutin rumah tangga ini." Setelahnya aku berlalu menuju kamar.
Mengemasi semua barangku dan memasukkannya ke dalam koper. Air mata jatuh lagi. Kenapa drama hidup ini gak ada sudahnya? Aku capek. Aku juga mau bahagia. Padahal luka itu baru saja sembuh, tapi di gores lagi dengan luka baru yang lebih menyakitkan.
Aku jatuh terduduk dengan kepala bersandar pada daun pintu lemari. Menangis tergugu lagi. Menatap ponsel dengan wallpaper fotoku dengan Revi yang sempat keliling Jakarta waktu itu.
Rasanya sesak. Ketika hatimu sudah kamu berikan seutuhnya pada seseorang, lalu dihancurkan begitu saja. Sebenarnya aku sudah membayangkan hal ini ketika memutuskan menikah dengan Revi. Aku dan Revi itu jauh berbeda. Kami bagai langit dan bumi. Aku perempuan biasa memang takkan bisa hidup dengan laki-laki serba ada sepertinya.
Tapi aku tak pernah membayangkan kalau akhirnya memang setragis ini. Berpisah dengannya sesakit ini. Aku bingung.
***
Aku berdiri di depan pagar menunggu taxi yang kupesan. Aku menoleh sedikit, ternyata Revi berdiri di teras dengan pandangan lurus ke arahku. Laki-laki itu terus diam, bahkan dia tak berucap sepatah kata pun ketika aku menyeret koper ke luar.
Kutadahkan kepala ke atas, menatap langit malam yang lumayan terang dengan setengah bulannya. Kenapa malam bisa seterang ini, seakan senang akan adanya perpisahan terjadi. Apa semesta senang?
Aku berdecih. Ya, pasti siapa pun senang melihat perpisahanku.
Tin tin
Aku mengangguk pelan ketika taxi yang kutunggu membunyikan klakson. Supir taxi berusia lanjut tersebut keluar dan membuka bagasi mobilnya, membantuku memasukkan koper serta tas yang lumayan besar.
"Pak?" Baik aku maupun supir taxi itu menoleh. Revi disana berjalan cukup cepat ke arahku. Ralat, ke arah supir taxi. Dia memberikan cukup banyak uang pada bapak itu.
"Gak usah!" Tegasku. "Kembaliin aja, pak. Nanti saya yang bayar," jelasku. Baru bapak itu hendak mengembalikan, Revi menggeleng dengan senyum tipis. Dia menepuk pundak bapak itu pelan.
"Jagain istri saya, pak. Antar sampai rumahnya dengan selamat." Aku tertegun. Semua rasa campur aduk ketika mendengar ucapannya.
"Oh, baik mas," kata bapak itu. Lalu kembali menuju setirnya. Kutatap dia dengan datar, rasanya ingin berbicara tapi susah.
Dia tersenyum tipis. "Maafin aku, belum bisa jadi laki-laki yang baik buat kamu. Kalau pisah buat kamu bahagia, aku ikhlas lepas kamu." Ucapnya.
Aku tak membalas, langsung masuk ke mobil. Membuat rasa ragu kembali hadir. Mobil sudah melaju, tapi siluetnya masih nampak di spion.
Aku mengangguk yakin. Bagus jika dia iklas.
***
Yuhuu, maap lama.
Maapin juga singkat.
Gimana? Harus senang ya dengan pilihan mereka, hehe.
Ketemu lagi kapan-kapan😌
Gimana puasanya? Lancar jaya ya? Harus tetap stay di rumah oke?
Tandai typo yes?
Batam, 12 Mei 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Dhini
Spiritual"Saya tidak benci takdir, tapi saya benci kamu. Yang saya tahu pernikahan adalah ta'arufan seumur hidup." Andhini Syahira. "Terserah, mau benci atau enggak, gue gak peduli. Kalau enggak betah sama gue, pergi aja!" Reviandra Regasa. *** Terinspirasi...