04. Kami Berbeda

13K 852 8
                                    

Assala...mu 'alaik, zainal anbiya....
Assala...mu 'alaik atqol atqiya...

Tok tok tok

Tok tok tok

Kumatikan playlist ketika terdengar suara ketukan pintu dari arah depan. Semenjak seminggu lebih aku tinggal disini, tak pernah ada yang berkunjung.

Apa Ibuk? Atau Mami?

Tok tok tok

"Revii..." kini bersamaan dengan suara orang memanggil.

Aku beranjak berdiri dan berjalan menuju pintu. Sebelum itu, kuintip dari jendela.

Masyaa Allah, yang bertamu teman-teman Revi semua. Sangat ramai, mungkin mencapai sepuluh orang lebih.

Aku bingung, mau membuka pintu atau biarkan saja. Cukup lama aku berdiri didekat jendela dengan bingung. Sayup-sayup terdengar lagi suara berisik di luar.

Aku menoleh ke arah pintu kamar Revi yang tertutup rapat. Apa aku bangunkan saja dia?

Dengan langkah pelan aku menuju kamar berpintu putih tersebut. Kuketuk pintunya beberapa kali, "Revi! Ada yang nyariin!" Sambungku dengan suara lumayan pelan.

Tak ada sahutan. Kembali ku ketuk pintunya. "Reviii! Reviii!" Aku harap mereka yang diluar sana tak dengar suara teriakku.

"Ck, dia tidur atau ngapain sih." Sambil menggerutu ku buka pintunya. Alhamdulillah, tidak terkunci. Sedikit gelap karena hanya satu tirai gorden yang disibak, sedangkan lampu kamarnya padam.

Jujur, aku tak pernah masuk kamarnya. Ketika mencuci saja baju kotornya sudah ada di dekat mesin cuci. Jadi, tidak ada alasan untukku harus memasuki area pribadinya ini.

"Masyaa Allah, dia tidur atau mati sih." Gerutuku ketika melihatnya tidur telungkup dengan selimut menutupi seluruh badan kecuali kepala.

"Revi!" Panggilku dengan jarak lumayan dekat tanpa niatan menyentuhnya.

Tidak ada sahutan. "Astagfirullah. Reviii!" Panggilku sedikit geram. Tidak ada reaksi lagi.

Refleks ku guncang bahunya. "Reviiii! Reviiii!"

Ada sedikit pergerakan dan sedikit gerutuan. "Apa sih?" Tanyanya dengan gerakan menarik selimut hingga kepala.

Ya Allah, sabarkan saya. Kenapa sih aku harus berhadapan dengan manusia pemalas ini. Bagaimana bisa dia menjadi imam rumah tangga kalau bangun saja jam sepuluh.

"Ada temanmu di luar," jelasku.

"Ha?"

"Astagfirullah!" Aku balik badan ketika dia bangun tiba-tiba dengan bertelanjang dada. Ya Allah, jantungku!

"Siapa? Siapa?" Ulangnya.

"Teman kamu, ada diluar. Tapi saya belum bukain pintu," jelasku kembali.

"Kok? Ngapain mereka kesini? Gila, bisa berabe urusannya kalau mereka tahu gue udah nikah." Dia berbicara sambil bangkit dari kasurnya. Sontak saja aku langsung balik badan lagi. Intinya jangan sampai mata ini melihat hal yang seharusnya tak boleh dilihat.

"Ngapain lo masih disini?"

"Eh! Jangan dekat-dekat! Jaga jarak lima meter. Juga, pakai baju kamu, gak sopan!" Ucapku kembali menghindar ketika dia berjalan mendekat.

Terdengar kekehan darinya. "Alay lo!"

"Terserah!" Balasku. Lalu berjalan cepat menuju luar. Tak kuat aku lama-lama di kamarnya. Apalagi hanya berdua. Enggak, aku gak mau hal seperti dulu terulang lagi.

Beberapa saat setelah aku keluar kamar, Revi berjalan keluar dari kamarnya menuju pintu utama rumah dengan kaus oblong hitam tanpa mengganti celana pendeknya.

"Sabar, saya masuk kamar dulu!" Ucapku. Tanpa menoleh lagi aku berjalan cepat menuju kamar. Kututup dan ku kunci pintunya. Cukup lama aku terdiam di depan pintu, setelahnya terdengar suara ramai dari arah ruang tamu.

Ku hela nafas untuk yang kesekian kalinya demi menetralisir detak jantung yang membombardir ini. Kenapa kejadian ini mampu membangkitkan adrenalinku?

***

Sudah hampir tiga jam lebih aku berkurung di kamar tanpa tahu kapan rimbanya akan keluar.

Sudah hampir tiga jam pula pasukan teman-teman Revi tak kunjung berniat pulang. Demi Allah, aku sedikit kesal. Ini sudah masuk waktu dzuhur dan mereka masih bertandang di rumah orang.

Bagaimana aku akan shalat jika tak ada tempat berwudhu. Baik di kamar Revi maupun kamarku tak ada toilet sendiri. Rumah ini hanya punya satu toilet dan aku harus rela berbagi toilet itu dengannya.

"Astagfirullah, kok ya gak sadar diri main ke rumah orang. Gimana aku mau shalat kalau gini," dumelku sendiri. Kesekian kalinya lagi aku menoleh ke arah jam weker di atas nakas. Pukul 13: 09.

Aku beranjak dan berjalan menuju pintu. Membuka kuncinya, lalu sedikit mengintip aktivitas mereka.

Astagfirullah. Apa-apaan ini! Kenapa semua berikhtilat? Saling bercampur baur antar laki-laki dan tak tahu batasannya.

Kekesalanku makin memuncak saat salah satu teman perempuan Revi duduk diatas kirsu dengan celana super pendek tanpa berniat ia tutupi.

"Astagfirullah. Apa-apaan mereka! Mereka kira rumah ini tempat berzina apa?" Aku ingin melakuka sesuatu tapi tak mampu. Gengsi dan egoku lebih besar dan mengalahkan rasa yang menjunjung tinggi syari'at Islam ini.

Aku hanya mampu beristigfar. Semoga Allah maafkan dosa-dosa mereka dan dosaku yang tak bisa mencegah ikhtilat itu terjadi.

Akhirnya, aku kembali menutup pintu dan menguncinya lagi. Menunggu hingga jam menunjukkan pukul setengah dua. Ah, aku benar-benar kesal. Gara-gara mereka shalatku jadi lalai.

"Pi! Kok di belakang ada jemuran jilbab sama gamis sih? Parah lo ya mainnya sama ukhty-ukhty!" Aku tersentak kala suara cempreng seorang perempuan berteriak dan aku yakin posisinya di depan kamarku.

"Astagfirulla, lupa! Jemuran belum diangkat," lirihku dengan raut cemas. Kenapa aku seteledor itu sih! Ku gigit kuku sebagai gerakan refleks ketika sedang panik dan bingung.

Apa yang akan kulakukan? Aku harap Revi punya seribu alasan. Aku harap sikap bar-barnya bisa menutupi kejadian ini.

"Apa sih lo! Punya adek gue itu. Dia baru beli. Tau deh, ikut-ikut pengajian dia sekarang," seketika badanku luruh karena lega mendengar suara Revi tak jauh dari arah pintu kamarku. Alhamdulillah, untung dia bisa pergunakan otaknya. Maaf Ya Allah, kami berbohong. Ini demi kenyamanan bersama.

Selang setengah jam kemudian, terdengar suara riuh kendaraan. Ku putar kunci dan kuintip ke arah ruang tamu. Akhirnya mereka pulang. Lega dan kesal masih mendominan hatiku.

Tak mau menunggu lama, aku langsung berlari menuju halaman belakang tempat untuk berwudhu. Masalah-masalah yang ingin kubahas dengan Revi bisa ditunda, tapi shalat tidak.

Tunggu saja kami berperang mulut lagi.

***

Pernikahan DhiniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang