"Kita harus bawa Dhini ke psikiater, Mbak."
"Ndak bisa. Dhini itu baik-baik aja. Dia cuma perlu diajak ngobrol, Lin."
"Ya Allah, Mbak. Ini itu udah hampir seminggu loh Dhini gak mau ngomong. Nunggu apalagi? Sampai depresinya Dhini makin parah?"
Cek cok antara Ibuk dan Tanteku tak pernah berhenti semenjak tiga hari lalu. Aku tahu apa yang mereka berdebatkan. Aku tahu apa yang mereka permasalahkan. Tapi, aku tak bisa bereaksi apa-apa.
Aku hanya mampu diam dan menatap kosong lantai. Hal yang paling mengerikan akhir-akhir ini terjadi adalah ketika malam datang.
Bayang-bayang kejadian di toilet itu selalu menghantuiku. Tak bisa lepas. Aku bingung, sebenarnya aku ini kenapa? Mengapa setelah hampir empat bulan menikah dengan Revi trauma berat itu baru datang?
Aku menoleh ketika decit pintu terdengar. Ada Bang Rayan dengan nampan berisi nasi goreng melangkah ke arahku. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis.
Dia meletakkan nampan itu di nakas dan ikut duduk di sampingku. Masih sambil tersenyum dia meraih piring dan menyodorkannya ke padaku. "Makan dulu ya, Dhin." Ucapnya halus.
Aku tak bereaksi apa-apa. Hanya menatap tanpa selera. Terdengar helaan nafas lelah darinya. "Dhin, kamu tahu hal yang paling buat abang hancur itu apa?" Dia menatapku sendu.
"Abang gagal memegang amanah dari almarhum Ayah." Dia masih menatapku, lalu mengelus kepala tanpa hijabku. "Abang gagal menjaga putri kesayangannya. Bahkan, abang yang membuat putrinya masuk dalam lingkaran masalah," untuk pertama kalinya lagi aku mendengar getar dari suara Bang Rayan. Laki-laki yang kuanggap paling kuat dan tegas itu kini berkaca-kaca matanya.
"Maafin Abang gak bisa buat kamu bahagia, Dhin. Abang mohon kamu sembuh. Kita akhiri semua masalah kamu sama laki-laki itu. Setelahnya kita buka lembaran baru. Kamu mau masuk UGMkan? Abang bakal usahain gimana pun caranya kamu bakal masuk UGM. Abang gak peduli kalau Abang harus kerja mati-matian buat biayain kamu kuliah, yang penting kamu bahagia lagi, Dhin. Yang penting kamu semangat lagi. Abang mohon..."
Hari itu kulihat pertahanan Bang Rayan runtuh. Dia menangis dengan kepala tertunduk. Terakhir kali kulihat dia menangis ketika Ayah meninggal. Aku ingin bereaksi, aku ingin memeluknya, ingin mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Namun aku tak bisa, seakan semua tubuhku kaku. Karena aku memang tak baik-baik saja.
Maafin Dhini, Bang.
***
"Kamu bisa dengar saya?" Didepanku duduk seorang wanita muda dengan setelan jas putih.
"Dhini...bisa respon saya?" Lagi dia bertanya. Aku hanya diam dan berkedip sesekali.
Helaan nafas keluar dari bibirnya. Lalu dia beralih menatap Bang Rayan sambil menggeleng. "Dok...tolong adik saya," Bang Rayan mengiba.
Dokter muda itu tersenyum padaku. Dua tangannya dia lipat di atas meja. "Bisa tinggalkan kami berdua?" Pinta dokter itu pada Bang Rayan.
"Tapi..."
"Dhini hanya perlu pendengar. Saya yakin dia ingin bercerita sesuatu," ucap dokter itu ramah. Sebelum pergi, Bang Rayan sempat mengusap kepalaku. Setelahnya hening, hanya terdengar detak jarum jam.
Mataku lurus menatap dokter muda yang bahkan tak kuketahui namanya. "Nama saya Angela kalau kamu mau tahu," ucapnya seakan tahu kalau aku berfikiran tentang namanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Dhini
Spiritualité"Saya tidak benci takdir, tapi saya benci kamu. Yang saya tahu pernikahan adalah ta'arufan seumur hidup." Andhini Syahira. "Terserah, mau benci atau enggak, gue gak peduli. Kalau enggak betah sama gue, pergi aja!" Reviandra Regasa. *** Terinspirasi...