Aku duduk termenung di ruang tamu yang berantakan. Koper-koper masih berdiri di depan pintu, berbagai model sepatu bermerek tergeletak begitu saja di sekeliling sofa.
Aku menghela nafas untuk kesekian kalinya. Ini sudah pukul setengah enam sore dan rumah ini masih seperti kapal pecah.
Setelah mengantarku ke rumah yang dimaksudnya, Revi pergi entah kemana dan meninggalkanku dengan keadaan rumah seperti ini.
Aku mau marah, tapi tak bisa. Mau menangis juga tak bisa. Satu-satunya jalan, aku mau pulang ke rumah Ibuk. Dia fikir aku babu harus membereskan rumah seberantakan ini.
Kamu seorang istri, nak.
"Ahhh..." erangku frustasi. Ketika satu fikiranku saja sudah melenceng, suara Ibu mulai bergema di sukmaku.
Harus berbakti pada suami, bagaimana pun sikap Revi nanti padamu."
"Astagfirullah...Ya Allah..." kututup wajah dengan kedua telapak tangan. Aku benar-benar harus menangis untuk memperbaiki suasana hati ini. Aku tak bisa harus terus menahan beban begini.
Terdengar suara motor diluar, setelah itu suara langkah kaki seiringan dengan decitan pintu. Aku tahu dia sudah pulang.
"Kok masih berantakan? Apa lo sepemalas itu?" Pertanyaan yang menyinggung perasaan itu mampu membuatku menoleh kearahnya. Bukan tatapan memohon, tapi kuberi dia tatapan tajam. Aku sudah tak peduli jika rasa sopan santunku pada imam rumah tangga harus hilang. Aku tak suka diremehkan dan dianggap lemah begini.
"Kamu fikir saya pembantu? Kamu suruh saya membersihkan rumah yang kayak kandang sapi begini sendirian? Dimana otakmu Revi? Oh ya, saya lupa kalau kamu punya otak tapi tak punya akal." Dia mengepalkan tangan dan rahangnya mengatup kuat ketika mendengar lontaranku yang tak kalah nyelekit.
Setelah itu senyum remeh terbit dibibirnya. "Oh begini rupanya sifat asli lo? Gue fikir lo sealim penampilannya, ternyata mulut pun sama aja kayak cabe-cabean. Pantes sih lo gua rusak, Allah benci sama lo sih."
"Jaga mulut kamu ya, Rev. Saya begini cuma sama kamu. Karena kamu itu gak pantes dihargai. Harusnya kamu ngaca dari kesalahan kamu, belajar jadi orang yang lebih baik lagi. Mungkin pernikahan ini adalah hal yang paling saja sesali dalama hidup saya!"
Amarahku sudah menggebu-gebu, tapi aku tak menangis di depannya. Hanya ada emosi dan rasa benci.
"Ya terserah! Mau lo nyesel kek, enggak kek. Bodo amat. Siapa suruh minta gue tanggung jawab. Kalau lo mau cerai ya silahkan, gue tinggal tanda tangan surat ceraikan? Beres." Dia berkata dengan santainya dan bisa-bisanya lontaran kata cerai seperti main-main dia ucapkan.
Aku lelah membalas perkataannya lagi, dia orang yang keras dan pantang kalah. Baik, hari ini biar aku yang mengalah. Malu juga dengan tetangga yang mendengar pertengkaran kami. Akhirnya aku memilih pergi ke kamar dan membiarkannya menatapku dengan pandangan kesal.
***
Mungkin, memiliki pernikahan yang harmonis itu adalah impian setiap orang, tak terkecuali aku. Cuma, impian itu sudah terkubur semenjak ijab qabul Revi ucapkan dihadapan Bang Rayan dan para saksi.
Aku sudah tak ada harapan lagi. Masa depanku ya akan kuhabiskan dengan Revi. Tapi entahlah, akan selama apa rumah tangga ini nantinya.
Ketika pertama kali memutuskan hijrah dan lebih memperdalam ilmu agama di pondok ketika SMP dulu, dua hal yang paling kuhindari dan benci dalam Bab pernikahan. Perceraian dan poligami.
Perceraian adalah jalan yang Allah benci, namun jika sang suami tak lagi bertanggung jawab dan tak memberikan nafkah, istri boleh menggugat cerai. Tetapi, aku sangat ingin jauh-jauh dari perkara cerai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Dhini
Spiritual"Saya tidak benci takdir, tapi saya benci kamu. Yang saya tahu pernikahan adalah ta'arufan seumur hidup." Andhini Syahira. "Terserah, mau benci atau enggak, gue gak peduli. Kalau enggak betah sama gue, pergi aja!" Reviandra Regasa. *** Terinspirasi...