Kamu, yang sedang membaca kisahku. Kuharap kalian bisa memahamiku, bisa percaya bahwa pilihan ini baik untukku dan untuk Revi. Berpisah bukan berarti harus benar-benar melupakan, kamu hanya perlu sadar akan takdir yang Allah tentukan.
Cerita ini sebenarnya sudah lama kutulis dan rasanya canggung ketika ingin mempublish. Aku takut Revi yang sekarang membaca dan membuatku semakin tak enak. Bagaimana pun aku menghargai siapa pun yang menjadi pendampingnya saat ini.
Aku tahu dengan siapa dia akhirnya melabuhkan masa hidupnya dan akan kuceritakan di epilog nanti. Perlu kalian tahu, saat ini aku sudah bahagia dengan pilihanku. Dengan jalan hidupku. Seperti yang kalian minta agar aku selalu bahagia dan semua terwujud.
Perlu kalian tahu juga, aku ingin membongkar sedikit tentang kisah ini. Sebenarnya, latar belakang kisah ini bukan pada tahun 2019 atau 2020, kisah ini sudah ada dari tahun 2014.
Tujuanku menulis adalah ingin berbagi kisah bahwa ini loh aku Andhini pernah punya cerita seperti ini. Apa pun yang terjadi, baik buruknya hargai. Ambil sisi positif dari kisah ini dan buang sisi negatifnya.
Aku tak meminta kalian untuk mempercayai. Aku cuma rindu dengan apa yang pernah terjadi antara aku dan Revi. Kami pun sudah berdamai dengan masa lalu. Walau aku tak tahu bagaimana kabar dia sekarang. Kuharap dia baik dan selalu sehat.
Terima kasih sejauh ini sudah ada menemaniku yang sedang merindu. Terima kasih buat kalian yang sudah menghargai keputusanku.
***
Hari itu stasiun Jakarta Kota nampak sangat ramai. Padahal arus pulang mudik sudah selesai seminggu lalu. Mungkin saja mereka sama sepertiku, para maba.
"Nanti sering-sering telpon ke sini ya, Dhin? Jangan lupa!" Itu kata ibuk. Beliau nampak sangat lesu saat aku akan pergi.
Aku tersenyum dan mengelus tangan beliau yang keriputnya sudah terlihat. Mungkin efek kerja. "Iya, ibuk, Dhini janji." Balasku.
"Jaga diri di sana, habis kuliah langsung pulang ke kosan. Jangan mampir-mimpir dulu!" Bang Rayyan yang baru selesai telponan entah dengan siapa langsung menyambar.
Pelan aku mendengus. Dia pikir aku anak kecil sampai sebegitunya diatur. "Iya," tapi aku tak bisa protes.
"Jam berapa sih keretanya?" Ibuk bertanya sambil kepalanya celingak-celinguk melihat ke arah rel kereta.
Kutatap tiket kereta api kelas ekonomi tersebut. "Jam dua belas. Sepuluh menit lagi, buk. Ibuk sama Abang kalau mau pulang gak apa-apa. Udah mau dzuhur juga,"
"Terus ninggalin lo sendirian disini selama sepuluh menit?" Aku berdecak dengan ucapan sinis bang Rayyan itu. Dia itu selalu sensian akhir-akhir ini.
"Dhini bisa jaga diri kali, bukan anak kecil lagi." Kataku kesal.
"Aduh kalian ini, apa-apa dibawa ribut." Ibuk menengahi. Beliau nampak anteng dengan memangku tas besar milikku. "Gak apa, ibuk sama abang tungguin aja," aku cuma bisa pasrah kalau ibuk sudah bilang begitu.
Tak lama terdengar peluit kereta api. Aku langsung berdiri dan mengambil alih tas yang ibuk pangku tadi. Kereta mulai bersandar dan membuka pintu, orang-orang di dalam sana mulai antri untuk keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Dhini
Espiritual"Saya tidak benci takdir, tapi saya benci kamu. Yang saya tahu pernikahan adalah ta'arufan seumur hidup." Andhini Syahira. "Terserah, mau benci atau enggak, gue gak peduli. Kalau enggak betah sama gue, pergi aja!" Reviandra Regasa. *** Terinspirasi...