30. Semua Tentang Kita

11.8K 695 101
                                    

PS : sebelum baca, bismillah dulu, hehe.

Intinya, plis jangan hujat saya ya. Nikmatin aja part ini apa pun yang terjadi.

SIAP?

Cuss...

***

Aku suka siang ini. Nampak lebih cerah dari sebelumnya. Awan biru itu mampu menghiburku. Membuatku lupa sejenak atas apa yang sedang terjadi.

Aku ingat lagi perkataan mbak Wenda tempo lalu, bahwa sebuah hubungan itu pondasinya adalah sabar. Pertengkaran itu pasti ada dan memang harus ada untuk menjadi bumbu dalam hubungan. Tergantung di kitanya saja bagaimana menyikapi pertikaian yang terjadi.

Juga, jika ada permasalahan, egonya yang di putuskan bukan hubungannya. Aku sangat paham akan hal itu.

Jadi, hari ini aku dan Revi sedang dalam mood diam-diaman. Kurasa tak papa, kami butuh waktu untuk kembali mendewasakan sifat. Biar ke depannya semua jadi awet.

"Ekhem..." Kepalaku tertoleh secara refleks saat mendengar ada yang berdeham. Ya, pasti kalian tau siapa dia.

Aku hanya menatap sebentar, lalu kembali memusatkan perhatian pada tanaman kumis kucing yang baru ku siram. Tanaman ini punya ibuk dan beliau memintaku ikut menanamnya di rumah.

"Sendalku mana?" Aku melirik sedikit. Dia bukan bertanya padaku, hanya bergumam.

Aku memilih bangkit dan berlalu menuju taman belakang rumah. Mengambil sendalnya yang sempat ku cuci karena nampak kotor. Kutenteng dan membawanya keluar.

"Ini," kataku pelan sambil meletakkannya di teras. Dia yang sedang mengecek entah apa pada motornya menoleh. Sedikit kaget.

Setelahnya dia bangkit, bukan mengambil sendalnya, tapi berjalan kearah ku. Kutatap dia yang lebih tinggi. "Kenapa?"

Perlahan bibirnya tertarik, tersenyum cukup lebar dan sangat manis. "Aku rindu," ujarnya tenang.

Seketika wajahku panas. "Apa sih," aku menggeleng tak habis pikir. Memilih masuk ke rumah. Kupikir dia akan ikut, ternyata tidak.

Ya udahlah, pikirku masa bodoh. Lalu, menarik kursi dan duduk di area meja makan. Membuka ponsel yang sudah dari kemarin tak ku sentuh. Sepertinya aku mulai rindu ibuk.

Kutekan simbol telpon, terdengar nada sambung diujung sana. Setelahnya, "Hallo, assalamu 'alaikum?"

"Wa'alaikumussalam."

"Kenapa, Dhin? Kamu baikkan?"

Senyumku terasa bergetar. Sudah pasti jika seorang anak menelpon ibunya, keadaanlah yang pertama beliau tanyakan. Ingin rasanya ku bilang bahwa Dhini sedang tak baik-baik saja, buk. Tapi kurasa lebih baik tidak.

"Alhamdulillah, baik. Ibuk lagi sibuk ya?" Kurasa memang jalannya harus bohong. Ibuk tak boleh tahu apa yang sedang kualami, apa yang sedang terjadi antara aku dan Revi. Aku tak mau lagi membebani pikirannya, cukup aku saja.

"Alhamdulillah. Enggak kok. Kamu udah makan, Dhini? Revi gimana, sehat?"

Rentetan pertanyaan dari ibuk membuat hatiku berdenyit sakit. Kami sedang tidak baik-baik saja, buk. "Udah, buk." Jeda sebentar. Kutatap jendela, nampak punggungnya, dia masih asik dengan motornya itu. "Revi..sehat kok, buk."

Pernikahan DhiniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang