15. Bukan Aku

11.3K 808 38
                                    

"Assalamu 'alaikum?" Aku tersenyum mendapati Ibu yang menatapku kaget. Pasalnya ketika kesini aku tak memberi tahu.

"Wa'alaikumussalam. Kamu ke sini kok gak bilang-bilang, Dhin?" Tanya Ibu sambil meraih tanganku dan membawa masuk. Hah, rasanya sudah lama tak menginjakkan kaki ke rumah ini.

"Dhini kangen rumah, Buk. Memangnya mau main-main ke rumah sendiri harus bilang-bilang?" Tanyaku balik sambil terkekeh. Kuletakkan tas berisi pakaianku untuk di Puncak kemarin.

Bibirku berkedut menahan getar karena memaksakan senyum. Seperti kataku beberapa waktu yang lalu pada Revi, aku akan pulang ke rumah Ibuk. Dia hanya diam dan memperhatikanku hingga ojeg online pesananku datang.

Tanpa berniat meminta ojol mengantar ke rumah Revi, aku langsung pergi ke rumah Ibuk. Masih dengan pakaian yang sama dan keadaan hati yang sama.

Aku berjalan menuju kulkas dan membukanya. Hatiku terenyuh, isi kulkas masih sama seperti dulu aku tinggal di sini. Hanya ada sayur-sayur yang masih nampak segar serta satu botol kaca air mineral.

Rasanya sangat sesak sekali melihat keadaan Ibuk. Aku hidup enak dan makan enak terus di rumah Revi. Semua tersedia, semua lengkap. Namun, Ibuk disini mungkin hanya makan dengan tempe-tahu saja.

Seketika mataku memanas. Dengan segera aku mengerjab, menghalau rasa sedih ini. "Ibuk belum beli buah, Abangmu sibuk terus jadi gak bisa nganterin Ibuk ke pasar," ucap Ibuk dari belakang dan ikut melihat isi kulkas.

Aku menutup kulkas setelah mengambil botol kaca berisi air putih. Berjalan menuju rak piring dan mengambil gelas plastik. "Ya udah, besok kita ke pasar, biar Dhini yang nemenin." Setelahnya kuteguk air dingin di gelas itu. Alhamdulillah, rasanya segar.

Ibuk berjalan mendekat dan memegang pundakku. Kutatap wajah Ibuk yang mengernyit heran. "Kamu ke sini gak sama Revi? Udah izin belum ke sini?" Serentetan pertanyaan itu membuatku terdiam.

Kupaksakan senyum, lalu memeluk Ibuk seperti biasanya dulu sebelum menikah. Aku rindu Ibuk. Rindu atas semua perhatian darinya.

Ibuk balas memeluk. Pipinya dia tempelkan ke kepalaku. "Kamu bahagiakan, Dhin?" Bisik beliau. Seketika bibirku bergetar. Tanpa bisa dicegah, air mataku luruh. Semakin kupererat pelukan. Gak apa-apa kali ini menangis di depan Ibuk.

"Alhamdulillah, Dhini bahagia." Ucapan bohong yang pastinya Ibuk takkan percaya. Mana ada orang yang bahagia menangis tersedu-sedu macamku.

"Alhamdulillah," balas Ibuk dengan suara bergetar.

Ah, beliau segalanya bagiku. Rasanya aku hanya ingin menghabiskan sisa hidupku bersama Ibuk saja. Menemani masa tuanya hingga Allah panggil beliau untuk meninggalkan dunia yang sering menebar luka ini.

Ayah, makasih sudah menikahi wanita seperti Ibuk. Dhini bahagia.

***

Aku tak tahu definis bahagia sekarang. Seperti malam hari ini, aku terdiam duduk merenung diantara keramaian. Menatap orang-orang yang sibuk memesan makanan.

"Woi, ngelamun aja!" Aku mengerjab dan mendesis sinis ke arah Bang Rayan. Laki-laki jomblo satu ini selalu buat kesal.

"Apasih yang dilamunin? Gak bakal kaya kamu kalau ngelamun," jokes yang garing.

"Hahaha," balasku tertawa tanpa ekspresi. Lalu memilih sibuk dengan ponsel. Terserah Bang Rayan ngomel karena tak kuajak ngobrol.

Aku kesal sama dia. Ini itu sudah jam sepuluh malam, dengan seenak jidatnya menyeretku mencari makan. Padahal aku sudah punya niatan untuk tidur.

Ponselku mati, sebelumnya ada pemberitahuan lowbat. Aku menghela nafas, dengan terpaksa menumpu dagu dan menatap sekeliling. "Bang masih lama ya? Dhini ngantuk nih," tanyaku.

Bang Rayan yang sibuk dengan ponselnya sendiri mengangguk pelan. Setelah itu bangkit menuju kasir untuk mengambil pesanan.

Mataku terus berpendar hingga satu objek membuatku terpaku. Aku diam menatap dengan kernyitan. Itu Revi dan...seorang perempuan. Kupertajam penglihatan, siapa tahu perempuan itu Sarah, adiknya.

"Itu bukan Sarah," gumamku. Terlebih mereka terlihat akrab. Perempuan itu tertawa malu ketika kepalanya di usap Revi.

"Astagfirullah," aku menunduk, terus beristigfar, berharap ini ilusi. Aku menoleh lagi, sekarang bukan hanya sekedar berdiri biasa, namun saling rangkulan.

Sudah pasti, mereka punya hubungan.

***

"Bang, pulang yuk! Ini kita ngapain disini? Nungguin siapa sih?" Sejak lima belas menit yang lalu aku terus menggerutu. Laki-laki yang tua sepuluh tahun dariku ini malah asik memantau pintu masuk rumah makan sambil bersedekap dada.

"Abang, ngapain sih ini? Ayo pulang! Itu makanannya nanti dingin,"

"Bisa diam gak?" Aku mendengus malas mendengar peringatannya. Alhasil aku hanya bisa duduk melamun di atas motor. Tolonglah, aku ini sangat lelah, ingin segera tidur.

"Bangsat!" Aku menoleh ketika mendengar Bang Rayan mengumpat. Lebih parahnya lagi dia berlari menuju Revi. Revi?

"Ya Allah," refleks aku ikut berlari mengejar Bang Rayan. Belum sampai aku menahannya, Abangku itu sudah melayangkan tinjunya pada Revi tanpa aba-aba.

Bukan hanya sekali, namun bertubi-tubi. Keributan ini pun mengundang banyak orang, bahkan yang sedang makan di dalam pun keluar.

"Abang udah!" Teriakku. Revi membalas hingga Bang Rayan tersungkur. Aku hanya bisa menangis melihat ini semua. Pukulan demi pukulan saling mereka beri. Hingga datang satpam dan barulah baku hantam itu dapat dihentikan.

"Bangsat emang lo! Mati lo sama gue!" Bang Rayan terus mengumpat, tak peduli banyak orang yang geleng-geleng kepala melihat tingkahnya.

"Mas sabar, Mas. Mari kita bicarakan ini baik-baik di pos sana ya,"

"Gak perlu. Gue gak butuh ngobrol baik-baik sama anak ingusan ini. Intinya, jangan lo deketin adek gue lagi. Minggu depan gue antar langsung surat cerai ke rumah lo. Camkan itu!" Bang Rayan menarikku menuju motor, meninggalkan kerumunan.

Kepalaku tertoleh ke belakang, ingin menyaksikan ekspresi laki-laki itu. Tapi dia hanya diam menatapku dengan tajam. Perempuan di sampingnya pun diabaikan.

Kurasanya memang ini semua perlu diakhiri. Biar sama-sama tak tersakiti.

***

Assalamu 'alaikum?

Oke kurang feelnya.

Pernikahan DhiniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang