Percakapan mereka dua hari yang lalu membuat Taesuk tidak berhenti memikirkannya. Mungkin sepele, namun sebagai seseorang yang cukup dekat bahkan bersaudara membuat Taesuk paham akan kegelisahan yang sedang melanda Jacky.
Sebenarnya dia sangat ingin membuat Jacky buka mulut dan menceritakan keganjilan yang dia rasakan. Namun, bagaimana pun juga Taesuk tidak bisa memaksa. Mungkin dia harus menggalinya sendiri untuk tahu lebih banyak.
Semenjak orang tua Jacky menyerahkan Jacky sepenuhnya pada Taesuk yang secara tidak langsung membuat Taesuk memikul tanggung jawab terhadap laki-laki itu. Mungkin bukan hal yang rumit, namun tetap harus diselesaikan.
"Sudah cukup melamun?"
Sindiran yang dilontarkan Jacky tidak cukup membuat Taesuk berhenti memikirkan masalah Jacky. Dengan akalnya dia akan menggali secara perlahan secara langsung dari bibir laki-laki itu.
"Jujur saja aku kesulitan tidur beberapa hari terakhir ini."
"Seperti seorang gadis."
"Mungkin karena aku sudah menganggapmu sebagai adikku, aku merasa tidak tenang."
"Hal apa yang membuatmu tidak tenang?"
"Ingat terakhir kali kau bilang kau memerankan tokoh antagonis?" Taesuk menatap Jacky dengan ekspresi serius. "Aku memikirkan hal itu."
Gerakan tangan yang semula sibuk mencuci piring yang digunakan mereka untuk sarapan terhenti secara tiba-tiba. Meskipun diam, Jacky memang menunggu kelanjutan Taesuk.
"Katakan padaku ada apa, Jacky? Seumur hidup aku mengenalmu kau bukan sosok yang bisa memerankan tokoh antagonis."
Dengan senyuman tipis Jacky menjawab, "Kau bisa melihat sendiri hidupku yang tidak tentu arah."
"Bukan berarti kau tokoh antagonis."
"Tidak ada yang bisa menjamin."
"Aku bisa." Dengan mantab Taesuk menjawab, "Kau memang berandalan. Itu perilakumu. Tapi kau bukan pejabat. Karena itu bukan sifatmu."
"Aku baik-baik saja, Hyung. Kegelisahan yang kau rasakan itu tidak berarti apa-apa."
Seolah kehilangan kata-kata Taesuk bergeming meskipun berbagai macam protes dan spekulasi menerjangnya. Memang ia merasa tidak tenang, namun ia juga merasa apa pun masalah Jacky ia yakin laki-laki yang sudah seperti adik kandungnya itu dapat menyelesaikan masalahnya sendiri.
"Baiklah. Katakan padaku kalau kau membutuhkan bantuan."
"Terima kasih."
***
Se Ri senang karena Daniel tidak larut dalam kesedihannya. Bukan maksud untuk mengabaikan masalah, mereka hanya ingin meringankan masalah dengan cara menenangkan diri.
Seperti halnya saat ini. Kedua insan itu sedang menikmati waktu luangnya dengan berkeliling taman kota. Menurut Se Ri, Daniel bisa berpikir jernih ketika suasana hatinya tenang. Maka dari itu Se Ri mengajak Daniel untuk menikmati waktu sore hari mereka dengan bermain di taman kota.
Keceriaan Se Ri yang bertemu dengan banyak anak kecil menular kepada Daniel. Tanpa disengaja lelaki itu ikut tertawa saat melihat Se Ri diserbu oleh banyak anak kecil.Keributan itu dihentikan langsung oleh salah satu orang tua dari anak-anak tersebut. Yang di mana meninggalkan kesan menjengkelkan bagi Se Ri. Lelah setelah diserbu, dan ditinggalkan begitu saja membuat Se Ri berjalan menuju Daniel yang sedang duduk sambil melambaikan tangannya.
"Sudah puas?"
Se Ri cemberut. Kalimat Daniel menyentilnya. "Aku mau membuatmu tertawa, tapi bukan begini caranya. Kalau begini aku bisa menjadi korban."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Hidden (Kang Daniel)
Fanfiction👉LENGKAP👈 Judul awal Daniel Is My Namja Chingu Memiliki seorang kekasih yang tampan, baik hati, disenangi banyak orang dan juga populer membuat Se Ri merasa gelisah, kesal dan juga cemburu. Namun, bukan itu yang membuat Se Ri merasa takut. Meliha...