Chapter 1a | Night Light

39 5 0
                                    

--**--**--

Hari itu, aku menerbangkan lampion

Lampion mimpi dan harapan,

di malam yang gelap

Lalu malam itu,

mendapatkan cahaya barunya, cahaya mimpi

--**--**--

Malam itu adalah malam yang tak pernah kulupakan.

Lampion-lampion yang berterbangan, melambangkan mimpi anak-anak SMA Bina Karya pada acara 1001 Mimpi Malam. Aku berharap –sekaligus yakin seyakin-yakinnya bahwa aku akan diterima di universitas incaranku melalui SBMPTN pada tahun ini. Aku tidak mengerti mengapa aku begitu percaya diri, tapi intuisiku mengatakan bahwa aku akan memakai almamater universitas itu.

Universitas Tribhuwana Tunggadewi, dengan almamater berwarna abu-abu.

Aku benar-benar menginginkannya. Bukannya di Korea Selatan tidak ada universitas yang lebih bagus, tapi aku merasa lebih nyaman berada di Indonesia. Saat aku masih kecil, para tetangga selalu menatapku sinis karena aku adalah anak campuran Asia Tenggara. Aku sama sekali tidak mengerti mengapa mereka bersikap aneh begitu pada orang-orang Asia Tenggara. Yah, pokoknya tetangga-tetanggaku itu terlalu rasis memang.

Akhirnya, saat umurku tujuh tahun, aku pindah ke Indonesia, tempat kelahiran ibuku. Aku tinggal di salah satu kota di pulau Sumatera dan ayahku membuka restoran di sana. Saat itulah aku bertemu dengan Iyan di SD Harapan Jaya dan mulai dekat saat kami sekelas di kelas enam. Iyan adalah –eum, cinta pertamaku. Walaupun terkadang dia suka menyengir tidak jelas, tetapi hatiku yang lebih tidak jelas lagi ini malah menyukainya karena kupikir itu adalah salah satu bentuk keramahannya.

Yah, kalian bisa bilang bahwa aku ini aneh. Tetapi, saat di Daegu, aku sama sekali tidak pernah melihat orang macam si Iyan ini.

Sampai sekarang, kami masih kontakan. Bahkan, dia pernah mengajakku jalan-jalan dan hal itu adalah sesuatu yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidup. Baiklah, mungkin aku terdengar berlebihan –mohon sorry tapi itu memang lebay banget. Dia masih berkali-kali menanyakan impianku, dan impianku tetap sama sejak aku naik ke kelas dua belas.

Berkuliah di Universitas Tribhuwana Tunggadewi.

Tribhuwana Tunggadewi, seorang Raja Wanita pada jaman Kerajaan Majapahit. Melahirkan seorang raja yang hebat pula, yang bernama Hayam Wuruk. Hayam Wuruk sendiri juga memiliki seorang patih yang sangat cakap, yang bersumpah tidak akan memakan buah pala sebelum menyatukan Nusantara. Sama sepertiku, patih itu memiliki ambisi yang sangat kuat. Bahkan, bisa dibilang jauh lebih kuat dariku. Ya, bisa dibilang aku lumayan tertarik pada sejarah Indonesia.

Ayahku berkali-kali menceritakan sejarah Korea, dan ibuku berkali-kali pula menceritakan sejarah Indonesia. Aku tertarik pada keduanya, namun yang paling membuatku tertarik adalah kisah raja-raja pada jaman Majapahit. Yah, mungkin karena nama universitas impianku sendiri diambil dari nama salah satu rajanya, yaitu Tribhuwana Tunggadewi. Jadi, semangatku –maksudku, ambisiku—seakan semakin berkobar-kobar.

Kembali lagi ke lampion.

Lampionku sudah jauh menghilang seakan ditelan langit malam, bersama lampion-lampion lainnya. Aku ingat jelas apa yang kutulis di atas lampion tersebut sebelum menerbangkannya bersama Kirana.

NARA ALICIA KIM,

MATEMATIKA UNIVERSITAS TRIBHUWANA TUNGGADEWI 2019

"Akhirnya ya, Ra," Kirana berdiri di sampingku sembari menatap langit. "Enggak kerasa sebentar lagi mau UN, setelah itu UTBK. Kamu sudah siap, Ra, buat ke Jogja?"

Aku yang masih menatap langit pun menyunggingkan senyum. Mataku mulai berkaca-kaca, persis seperti saat aku menyanyikan mars universitas tersebut dalam acara pameran Universitas Tribhuwana Tunggadewi. Lalu, aku membayangkan diriku sendiri yang akan memakai almamater berwarna abu-abu itu. Aku yang masih mabuk akan mimpi, aku yang akan pergi ke Pulau Jawa –tempat kelahiran ibuku—sendiri demi mencapai nilai terbaik dalam UTBK setelah UTBK pertamaku nanti.

Soalnya, aku mau prom night dulu! Pelaksanaan prom night itu pun waktunya setelah selesai pengumuman UTBK pertamaku.

"Aku –enggak yakin, Kirana," jawabku tanpa menoleh ke arahnya. "Sebulan berada di kota orang itu enggak mudah."

"Tapi, kamu masih bisa tahan, kan, demi mimpimu? Ya memang enggak gampang, sih, karena sewaktu-waktu kamu bakal merasakan homesick. Apalagi kamu di sana juga hanya tinggal sama teman indekos yang juga bakal jadi temanmu di bimbel. Kamu pasti bisa, Nara. Kamu yakin saja sama aku," kata Kirana.

Mendengar kata-kata Kirana, aku jadi terharu punya teman seperti dia. Walaupun dia sudah diterima di ITB –universitas keren itu, ugh—tapi dia tidak malas untuk memberiku semangat dan yakin kalau aku tidak bodoh hanya gara-gara tidak lolos SNMPTN. Dia selalu bilang, mungkin aku bisa masuk ke universitas incaranku itu, tetapi tidak sekarang.

Mungkin lewat SBMPTN nanti,

bukankah begitu?

"Kamu masih muda, jadi tetaplah bermimpi. Terus bermimpi sampai kamu gagal total dalam meraihnya."

Tiba-tiba, angin malam seakan-akan membisikkan kata-kata itu. Aku mulai merinding karena kata-kata itu sama sekali bukan dari lubuk hatiku sendiri. Gagal total? Tentu saja aku akan berjuang sampai titik darah penghabisan, tetapi aku tidak pernah berpikir untuk gagal. Aku yakin, aku akan mengenakan almamater abu-abu dan menikmati OSPEK yang menyenangkan plus mengharukan di Universitas Tribhuwana Tunggadewi.

Tunggu dan lihat.

Kelak, aku akan membuktikan pada orang-orang yang diam-diam meremehkanku. Bahwa Nara Alicia Kim yang 'tidak pintar' ini akan memperoleh nilai UTBK terbaik dan diterima di Universitas Tribhuwana Tunggadewi. Daun-daun impian akan tumbuh dan berwarna semakin hijau layaknya apa yang akan kudapatkan kelak. Kalian bisa bilang bahwa aku sangat optimis, tapi intuisiku mengatakan hal seperti itu dan aku sangat mempercayainya.

Tapi—

Berjuanglah sampai gagal total?

Feels like a devil has started to talk to me.

--**--**--

[A/N]

DOAKAN YAK HARI INI AKU MAU DIPLONCO GAIS 😀

Orange Spirit 3 : Dead Leaves ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang