Chapter 2b | Farewell Party

27 4 0
                                    

Sore itu, aku sudah bersiap pergi ke Yogyakarta. Aku melihat koper merah mudaku yang masih terbuka dan berisi pakaian-pakaian untuk sebulan ke depan. Kuhela napas perlahan, lalu kututup koper itu. Kulihat layar ponsel untuk mengecek sudah sampai mana taksi online-ku datang. Rupanya, taksi itu sudah hampir sampai di depan rumahku. Ponselku mendadak menampilkan panggilan telepon.

Bukan dari taksinya.

Tapi dari Iyan.

Aku mengangkatnya.

"Iya, Iyan?"

"Nara Alicia Kim!"

"Kenapa? Kalau enggak ada perlu, kututup saja teleponnya juseyo. Taksiku sebentar lagi datang," kataku.

"Eng—"

Hening sejenak. Sementara itu, sebuah mobil yang sepertinya adalah taksiku sudah berhenti di depan rumah. Aigoo, anak ini benar-benar enggak bisa baca situasi, batinku. Mungkin dia tidak bermaksud untuk menelponku di saat yang tidak tepat, tapi setidaknya dia bisa mengatakan secara cepat apa yang ingin dia katakan begitu tau kondisiku sekarang. Ibu pun menepuk pundakku, lalu berjalan ke luar rumah dan memastikan bahwa taksi di depan rumah adalah taksi yang benar-benar kupesan.

"Iyan, cepatlah. Kamu mau ngomong apa, sih?"

"Eum, hati-hati, safe flight."

"Udah?"

"Ng, iya."

Aku memasang wajah datar. Apa-apaan. Dia menelponku di saat-saat begini hanya untuk bilang safe flight? Aku sih tidak masalah. Namun, tiba-tiba kurasakan kedua pipiku mulai memerah begitu membayangkan ekspresinya saat mengatakan hal itu. Kedua pipi yang juga memerah layaknya mawar merah, kelembutan yang datang dari hati dan tersalurkan lewat angin yang menyapu sekitar langit. Aku tidak mengerti, namun aku mencintai—ah, menyukainya.

"Nara?"

"Ya—"

Ibuku memanggil dari luar rumah, "Kim Na Ra, kajja!"

Aku mengangguk dan Ibu bisa melihatnya dari pintu rumah yang terbuka. "Nara, aku enggak mau kalau aku—aish, kangen. Jadi, kalau kamu sempat, kita harus tetap saling berkomunikasi—"

"Ah itu—"

"Itu saja sih yang mau kusampaikan. Yah, hati-hati."

Iyan menutup teleponnya. Aku ingin mengatakan kalau aku menyayanginya, dan aku juga ingin dia mengatakan bahwa dia menyayangiku. Aku sudah melewati segalanya, aku melewati kegagalanku, dan selain orang tuaku, aku ingin Iyan juga ada di saat-saat terburukku. Ya. Aku menginginkannya.

Ibu kembali memanggilku. Aku pun membawa koper ke luar rumah, lalu setelah menaiki taksi, menelusuri jalanan dari kota yang akan kutinggalkan, taksi pun sampai di depan bandara. Ibu mengantarku sampai depan pintu masuk. Setelah melewati berbagai prosedur di bandara seperti check in dan pemeriksaan barang, aku pun menunggu. Sambil menunggu, aku menulis puisi yang terinspirasi dari malam di mana aku menodai bantalku dengan air mata kegagalanku saat ditolak UTT dalam SNMPTN. Air mata tengah malam, "Midnight Tear."

12 AM

Setengah bulan, cahaya gelap di malam hari
Tak ada bintang, kekuatan, dan semangat yang berapi-api
Cahaya kuning dan jingga
Tertutup oleh kegelapan,
kegelapan yang menjerat, mengikat, mencekik dengan perlahan dan menyesakkan

Api, dalam sebuah cawan dia menyala lalu padam dengan sendirinya,
dan aku tak mau melihatnya. Aku tak mau melihatnya.
Karena malam ini hendak menuju pagi
Menunggu fajar dan menunggu harapan kembali

Sebentar lagi, sebentar lagi,
Sekali lagi, sekali lagi,
Sebentar lagi, sekali lagi,
Air mata tengah malam,
berhenti

Kegagalan yang baru mendatangi
Membangunkan di malam hari
Mengumpulkan air mata malam
Ke dalam sebuah cawan

Cawan yang mulai berapi-api
Melambangkan semangat
Semangat baru yang akan terlahir kembali
Membakar jiwa raga dan,
tinggal menunggu pagi

Sebentar lagi, sebentar lagi
Sekali lagi, sekali lagi
Sebentar lagi, sekali lagi
Air mata tengah malam,
berhenti

Hei, kapan malam selesai?
dan kapan fajar menyingsing?
Mata pun sudah lelah,
menanggung kegelapan

Hei, anggap mudah, ini baru permulaan
Cahaya datang, dan kaupun semangat lagi
Hei, air mata
Berhentilah, tolong berhenti
Kegagalan hanya momentum biasa

Walau harus pergi,
dan kaki berlari,
Mencari para angin, menggapai cahaya
Mencari satu kata, yaitu 'ku menang'
Menanggung dahaga, mendapatkan cahaya

Cawan yang kini telah penuh
Api yang tak kan pernah padam
Tak ingin lagi menanggung luka
Berganti dengan harapan

Detik menit pun dilalui
Rembulan kan pergi,
mengantarkan sinar yang lalu memancarkan
semangat baru, dan
hapuslah air mata itu

Sebentar lagi, sebentar lagi
Sekali lagi, sekali lagi
Sebentar lagi, sekali lagi,
Air mata tengah malam,
berhenti

2.30 AM

Pergi, tinggalkan luka
Menghapus air mata

Pergi, dan tak kembali
Tidak akan gagal lagi

5 AM

Hari ini, pada pagi ini
Cahaya itu datang lagi
Memancarkan semangat dan harapan baru, bersamanya air mata kan hilang
Menghapus luka pada hari yang baru

Langit memerah, semua pun tertawa,
mengganti kegagalan dengan tawa 'ya sudahlah'
Semua sudah berlalu,
air mata tak ada
Jika kau menangis terus dunia tak kan berubah,
ya

- It's not an ending -

"Perhatian kepada penumpang pesawat udara BlackD Air dengan nomor penerbangan MA724148—"

Itu pesawatku. Aku akan segera pergi,

mewujudkan mimpiku.

--**--**--

Orange Spirit 3 : Dead Leaves ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang