Source : Pinterest
.
.
.21 Mei 2008
"Jovi, kalau sudah besar nanti, cita-citamu mau jadi apa?"
Pertanyaan yang ditujukan oleh guruku adalah pertanyaan yang biasa ditujukan untuk anak-anak muridnya. Namun, bagiku, pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang paling menunjukkan bahwa dunia bagiku hanyalah sekadar tempat bersinggah dan bermain. Hanya itu saja.
"Aku mau jadi pelawak!" seruku yang disambut oleh tawa dari anak-anak lainnya. Serius, aku benar-benar ingin menjadi pelawak. Mereka senang membuat orang lain tertawa, dan menurutku itu adalah suatu kemuliaan. Yah, kecuali kalau kau ingin membuat orang lain tertawa dengan menjelek-jelekkan seseorang bersama mereka. Entah kebaikan atau kejahatan yang akan dicatat malaikat nanti.
"Ih, dasar ikut-ikut! Itu kan cita-citaku!" seru seorang anak, tidak terima.
"Dery, nanti kan kalau sudah besar, Dery dan Jovi bisa bikin orang ketawa bareng. Tidak ada salahnya kan kalau kalian berdua punya cita-cita yang sama?" Guruku mulai menengahi kami berdua yang selalu bertengkar.
Di SD kami, aku dan Dery sudah seperti Tom and Jerry. Kemana-mana selalu bertengkar, bahkan sampai gontok-gontokan. Hanya saja, suatu hari Dery tahu bahwa ternyata aku punya penyakit. Lemah jantung. Saat itu kami sedang bertengkar hanya karena masalah siapa yang akan jadi kiper. Dery tidak mau jadi kiper, begitu pula denganku. Bahkan anak-anak yang lain juga tidak ada yang mau.
"Kamu kan bongsor!" serunya padaku. "Yang bongsor cocoknya jadi kiper!"
"Tapi aku juga mau main, Badrol!" Aku memanggilnya Badrol karena dia mirip sekali dengan tokoh Badrol yang ada di animasi Upin Ipin. Mungkin, dewasa nanti dia akan tumbuh menjadi lebih mirip dengan tokoh kartun itu. Dery semakin mencak-mencak, sementara itu anak-anak di sekeliling kami malah asyik menonton kami berdua layaknya sinetron komedi –mengingat cita-cita kami berdua adalah sama-sama menjadi pelawak.
Seketika, jantungku mencelos. Aku memegangi dadaku, rasanya sangat sakit. Lama-lama, susah payah aku menghirup udara yang ada di sekitarku. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi padaku saat itu. Namun, sebelum pandanganku menggelap, aku bisa melihat tatapan khawatir Dery.
Lemah jantung.
Dery menangis tiga hari tiga malam, merajuk. Tidak mau makan. Dia pikir, aku masuk rumah sakit karena dia. Padahal, saat itulah dokter berkata bahwa aku lahir dengan kondisi jantung yang lemah. Aku harus berhati-hati, dan mendapatkan pengawasan lebih dari orang tua serta guru-guru.
Namun, sejak saat itu, Dery berubah seratus delapan puluh derajat menjadi orang yang selalu menjagaku setiap waktu. Saat anak-anak lain menjauhiku karena kata mereka aku ini 'penyakitan', Dery selalu menemaniku. Alhasil, kami jadi seperti amplop dan perangko. Tidak bisa dipisahkan. Bahkan sampai umurku 16 tahun dan bolak-balik di-opname karena kondisi yang semakin buruk, Dery yang sering pergi mengunjungiku ke rumah sakit alias mengacau di kamarku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Orange Spirit 3 : Dead Leaves ✔
Teen FictionBerawal dari sebuah kegagalan pertamanya, Nara Kim memutuskan untuk pergi keluar kota demi mencapai mimpinya ; menuntut ilmu di universitas impiannya. Tak disangka, Nara Kim harus terjebak dalam suatu lingkaran yang akan menuntunnya ke dalam sebuah...