Chapter 6a | Kerinduan

20 5 2
                                    

--**--**--

Kisah gelap itu,

akankah terulang lagi?

--**--**--

"Alnilam Orion Atmajaya?"

Anak laki-laki –lebih tepatnya lagi si pemilik sketsa itu—mengangguk. Nama yang bagus, batinku. Orion adalah rasi bintang favoritku, rasi yang membentuk gambaran seorang pemburu. Sama sepertiku, pemburu mimpi. Seorang calon mahasiswi unggul yang akan menduduki kursi terhormat Universitas Tribhuwana Tunggadewi. "Ya, itu namaku," katanya. "Aku bukan pemburu macam Orion dalam kisah mitologi, tapi aku yang menciptakan buruanku sendiri. Kebahagiaan, mimpi –itu semua diciptakan dari dalam diriku sendiri. Yah, aku ini pemberontak. Pemberontak untuk namaku sendiri."

"Ah, such as an unique way of thinking. The rebel," pujiku. "Pemberontakan terhadap nama sendiri."

"Yah, begitulah," Orion terkekeh. "Jadi, namamu Kim Nara atau Nara Alicia Kim?"

"Nara, just Nara," jawabku sembari berkutat dengan sketsa milik Orion yang kupegang. "Kim Nara nama koreaku, dan Nara Alicia Kim itu—nama Internasional. Aku blasteran, jadi kadang aku dipanggil Alicia juga. Tapi, nama 'Nara' itu lebih keindonesia-indonesiaan. Jadi, aku lebih sering dipanggil Nara, di mana Nara itu nama asliku juga. That's my Korean name, Orion."

"Jangan panggil aku Orion," kata Orion, dia duduk di salah satu kursi yang ada di kelas. "Tapi panggil aku Nilam, diambil dari Alnilam."

"Yaah, kenapa? Orion nama yang bagus," Aku berdecak. Serius, Orion benar-benar nama yang bagus. Maksudku, itu nama konstelasi favoritku selain Lyra, Aries, dan Leo. Kalau Cancer, itu terdengar seperti nama penyakit. Tapi, bukan berarti nama Alnilam tidak bagus, sih. Itu bagus. Alnilam, Alnitak, dan Mintaka adalah tiga bintang yang menjadi tiga bintang pembentuk konstelasi Orion selain Rigel, Betelgeuse, dan bintang-bintang lain yang tak bisa kusebutkan namanya.

Hening menguasai ruang kosong di antara kami. Orion –ah, maksudku Nilam duduk diam di tempatnya, sementara itu aku kembali menatap sketsa tiga orang itu. Angin mulai bertiup lembut, menandakan kehadiran Jovi. Lalu, aku merasakan kehadirannya tepat di belakangku. Saat aku menoleh ke belakang, aku melihat raut wajahnya yang tidak seperti biasanya. Sekarang, wajahnya terlihat seperti habis menelan hidup-hidup kecoa.

"Nara, Ana—"

"Ana kenapa?" tanyaku. Tanpa sadar, intonasiku meninggi.

"Dia tidak kunjung keluar-keluar, kan, tadi? Nah, aku khawatir. Tapi karena aku laki-laki, aku jadi tidak berani untuk menembus masuk ke dalam. Lalu saat aku masuk ke dalam, aku melihat Ana—"

"Ana kenapa?" Aku mengguncang-guncang bahu Jovi. "Ana kenapa? CEPAT JAWAB!"

Jovi tergagap karena kudesak. Ribuan pikiran negatif berkecamuk di dalam kepalaku, membuat massa kepalaku menjadi berat. Lebih berat daripada stoikiometri, gravimetri, volumetri atau apalah itu. Yang ada di pikiranku hanyalah keadaan Ana. Mental state-nya masih cukup mengkhawatirkan, kupikir dia butuh psikolog atau psikiater tetapi sulit untuk menemukannya di sini. "Jovi, aku bertanya padamu. Cepat jawab!" Tanpa sadar, aku jadi galak padanya.

"Dia enggak sadarkan diri, Nara. Terakhir kali kulihat dia dengan posisi menenggelamkan kepalanya di bawah air," jawab Jovi.

"INI GILA!" teriak Nilam tiba-tiba. "Sekarang kita lari ke sana –maksudku ke kamar mandi itu, lalu kita dobrak pintunya. Nara, kamu minta tolong ke meja CS untuk menghubungi dokter terdekat dari sini—"

"Baik, Nilam!" Aku sudah beranjak pergi duluan sebelum Nilam menyelesaikan kata-katanya. Aku tahu apa yang harus kulakukan.

"Eh, jadi ini yang namanya Nilam—"

"Ayo Jovi, tunjukkan jalannya!" seru Nilam. "Kita udah enggak punya waktu lagi!"

Aku cepat-cepat meminta CS untuk menghubungi dokter dalam situasi darurat. Setelah sekian lama menunggu, dokter beserta para tim datang. Aku benar-benar pasrah. Ana sudah berada di kamar mandi setelah sekian lama, sebelum aku bertemu dengan Nilam. Jovi –ah, tidak. Maksudku kami sendiri baru menemukan Ana sekarang. Sangat terlambat.

Ana dibaringkan di atas lantai, lalu dicek pernapasannya. Dokter dan tim terlihat menghela napas.

Mataku berkaca-kaca. Seketika aku teringat tujuan awalku datang kemari. Seorang gadis yang memiliki mimpi, berniat pergi ke luar kota untuk belajar dan mendapatkan universitas yang diimpikannya. Seorang gadis yang lebih memilih untuk kuliah di Indonesia daripada di Seoul, karena aku merasa bahwa Indonesia-lah rumahku yang sesungguhnya. Seorang gadis yang ingin berkuliah di kota yang terkenal dengan estetikanya, keindahannya, dan keromantisannya. Seorang gadis yang juga berusaha agar bisa kuliah di tempat yang diinginkannya sehingga tidak harus menjaga toko Nenek yang ternyata masih berhawa sihir hitam.

Aku datang ke sini untuk belajar, bukan untuk menyelesaikan misteri bodoh sampai akhirnya menyaksikan kematian temanku sendiri. Aku tidak peduli arwah keparat itu mengikutiku, aku sama sekali tidak peduli kalau dia menggangguku. Asalkan dia tidak menganggu prosesku untuk mencapai mimpi. Aku sama sekali tidak mau, tidak menginginkannya.

Nilam menepuk-nepuk punggungku, berusaha untuk menguatkanku. Air mataku menetes, membasahi tubuh kaku Ana yang membiru.

Namun, aura sang dokter menjadi aneh. Dia seperti dirasuki sesuatu, lalu menyentuh dahi Ana. Aku melihat tangan yang menyentuh dahi Ana itu seperti mengeluarkan sedikit sinar. Tak lama setelah itu, Ana terbatuk dan memuntahkan air yang masuk ke dalam paru-parunya.

"Ini kenapa?" gumam Nilam.

Aku dan Nilam sedikit ternganga melihatnya. Sang dokter itu menatap kami berdua, tatapannya sama seperti Naomi saat dia sedang dirasuki oleh 'The Witch' atau si penyihir hitam itu. Jangan-jangan—

"Aku sudah menghidupkan kembali temanmu," katanya. "Hati-hati, arwah itu tidak mau kalah. Dia memanfaatkan suatu hal yang dinamakan—"

"Kerinduan—"

--**--**--

Orange Spirit 3 : Dead Leaves ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang