Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu datang juga.
Aku pergi ke gedung SMA tempat dilaksanakannya UTBK atau Ujian Tulis Berbasis Komputer, diantar oleh ibuku. Beberapa menit lagi, UTBK akan dimulai. Karena Ana dan Nilam mengerjakan UTBK mereka di Yogyakarta, aku sepertinya tidak akan punya teman. Iyan mengerjakan UTBK-nya di tempat yang berbeda denganku.
Setelah aku menyelesaikan semua prosedur yang harus dilakukan sebelum mengerjakan UTBK, aku merasakan seseorang duduk di samping mejaku. Tak lama kemudian, dia menepuk pundakku.
"Nara?"
Aku menoleh ke sampingku, lalu membulatkan mataku begitu melihat siapa yang ada di hadapanku saat ini.
"Chiara?"
Chiara adalah teman SD-ku. Kami berteman baik, bahkan dia adalah teman pertamaku saat aku nyaris tidak punya teman selain Iyan. "Apa kabar?"
"Baik," jawabku sambil terkekeh.
Seperti waktu SD dahulu, Chiara langsung banyak bercerita tentang dirinya. Dia menceritakan masa-masa SMP dan SMA-nya, lalu memperkenalkan teman-temannya yang bernama Shela dan Tita. Kebetulan, Shela dan Tita ini duduk tidak jauh dariku. Shela hanya menatapku dengan tatapan dingin, mengingatkanku pada saat awal aku berjumpa dengan Ana di indekos sebulan yang lalu. Sementara itu, hanya Tita yang menatapku biasa saja.
"Ah, rivalnya Ana, ya," gumamnya.
"Apa?" tanyaku yang mendengar gumamannya.
"Ah, jangan dengarkan dia," Chiara menatap Shela sejenak dengan tatapan kesal, lalu terkekeh ke arahku yang mulai merasa tidak nyaman. "Aku punya teman satu lagi namanya Ana-"
"Dia suka sama Iyan-mu itu," kata Shela frontal.
"Shela!"
"Ah, enggak apa-apa," Aku terkekeh. "Ana itu temanku juga."
Ketiganya -Chiara, Shela, dan Tita menatapku dengan tatapan kaget. Raut wajah mereka seakan mengatakan, "kapan kenalnya?". Akhirnya, sebelum ujian benar-benar dimulai, aku menceritakan segala hal yang terjadi selama aku berada di Yogyakarta bersama Ana. Minus tentang Ares, 'The Witch' a.k.a penyihir hitam, dan si arwah anak bertanduk. Tentu saja apabila kuceritakan itu semua, pasti mereka bertiga akan menganggapku pengarang paling halu di abad ini.
Setelah ujian dimulai, aku fokus memerhatikan soal-soal. Sesuatu yang kuhadapi sekarang ini adalah UTBK keduaku, kesempatan terakhirku. Sebuah kesempatan untuk meraih sesuatu yang menurut mulut-mulut di luar sana tidak akan mungkin kudapatkan, let them talkin' and talkin'. Aku akan membuktikan bahwa yang ada di dalam pikiran mereka itu 'ddaeng'*, salah besar. Aku memang pecundang dalam meraih mimpi, tetapi aku akan membuktikan bahwa kalimat barusan itu juga salah.
Namun,
Mendadak isi kepalaku beku seperti daging di dalam freezer.
Dengan mata yang berkaca-kaca, aku menyadari sebuah fakta bahwa aku tidak bisa mengerjakan hampir seluruh soal yang tertera di layar komputer di hadapanku. Berkali-kali aku menghela napas, cemas, bahkan sampai nyaris kehabisan napas sangking takutnya. Ketakutan akan kegagalan itu tumbuh semakin besar, sampai sebesar bayangan hitam yang muncul di belakangku. Bayangan hitam itu seakan membisikkan sesuatu,
"Kamu masih muda, jadi tetaplah bermimpi. Terus bermimpi sampai kamu gagal total dalam meraihnya."
"Setitik kecil kesombongan akan menjatuhkanmu, Nona."
Aku terkesiap.
Selama ini, aku benar-benar sombong. Sok berpikir bahwa aku akan mampu diterima dengan mudahnya, layaknya saat sebelum pengumuman SNMPTN kala itu. Aku berpikir akan diterima, lalu menepuk punggung anak-anak yang tidak lolos seraya berkata, "sabar ya."
Setelah ujian neraka itu selesai dan aku berpisah dengan Chiara, Shela, dan Tita, aku merasa bahwa lututku mulai lemas. Mataku berkaca-kaca bukan hanya karena menatap layar selama nyaris tiga-empat jam, tetapi juga karena emosi yang kurasakan saat gagal SNMPTN kala itu kembali muncul ke permukaan hati plus rasa takut. Takut akan kegagalan yang menghasilkan keputusasaan, keputusasaan yang nantinya akan mematikan semangat-
Cahaya jingga.
Aku menghela napas sembari berjalan ke tengah jalan raya. Bagiku, gagal dalam mewujudkan mimpi sama saja dengan gagal dalam melanjutkan hidup. Tanpa sadar, aku berhenti di tengah jalan. Pikiranku kosong, terbayang hal-hal buruk yang menimpa diriku sendiri apabila nilaiku tidak cukup untuk masuk ke Universitas Tribhuwana Tunggadewi. Layaknya rangkaian adegan film, sontak terlintas wajah Eomma, wajah Nenek yang menyeringai dan tokonya yang masih berhawa iblis, lalu-
--wajah Jovi.
Kuliah di Seoul pun tidak akan mungkin. Masuk ke universitas bagus di Indonesia saja tidak bisa, apalagi Korea?
Sebuah mobil sport melintas ke arahku dengan kecepatan tinggi, seakan mengerti dengan keinginan terdalamku. Aku tidak peduli, aku tidak takut. Aku sudah putus asa dengan hidupku sendiri. Namun, tiba-tiba pengemudi mobil itu membanting setirnya ke kanan sehingga mobil itu lewat di hadapanku dengan cepat, sama sekali tidak menabrak tubuhku.
Aku terperangah.
Ini seperti di film-film action, batinku.
Mobil sport itu pun berhenti mendadak. Kedua pintu depan -sisi kanan dan kiri mobil itu terbuka, memunculkan seorang laki-laki tinggi berotot yang menyisir rambutnya ke belakang dengan tangannya. Kehadirannya membuat orang-orang di sekitarku tanpa sadar membuka sedikit mulut mereka masing-masing. Sementara itu, di belakangnya ada seorang gadis berkerudung cokelat yang melepas kacamata hitamnya, lalu meletakkan kacamata hitam itu di atas kepalanya.
"Kamu enggak apa-apa?" tanya laki-laki itu khawatir.
Aku hanya melongo. Biasanya, pengemudi yang akan marah-marah dalam kondisi seperti ini. Tapi, si laki-laki berotot ini berbeda.
"Ah, aku enggak apa-apa," jawabku.
"Untung enggak ketabrak," gadis berkerudung tadi menghampiri aku dan si laki-laki tadi, lalu menepuk punggung laki-laki itu dengan keras. "Jeno, kamu mau bikin aku mati tadi di dalam mobil?"
"Iya iya, maaf ya," kata laki-laki yang bernama Jeno tadi kepada gadis itu. Aku benar-benar merasa bersalah. Itu bukan salahnya, aku yang bersalah karena berdiri diam di tengah-tengah jalan.
Seketika, pandangan Jeno seperti kosong. "Nara-" bisiknya.
Aku paham. Ini bukan Jeno, ini 'The Witch', batinku waspada. Entah dia akan mengeluarkan kartu-kartu bodoh lagi atau apa, aku tidak tahu jelas. Namun, pandanganku seketika tertuju pada gadis berkerudung cokelat yang kuduga adalah pacarnya. Dia hanya diam, pandangannya fokus ke Jeno. Aku sama sekali tidak tahu apa yang gadis itu pikirkan, tapi sepertinya dia adalah orang-orang penyihir hitam sialan itu.
"Cari tahu apa itu resiliensi," katanya.
Aku terperangah.
Resiliensi? Apa yang si penyihir hitam itu maksud?
"Kamu bisa cari Jovi untuk mengetahuinya."
--**--**--
[A/N]
*Ddaeng : Ddang/ddaeng punya banyak arti. Seperti suara bel, suara yang dibuat saat kamu salah, bisa juga diartikan sebagai datang pada kenyataan.
Source : https://kumpulantentangku15.blogspot.com/2018/06/lirik-lagu-bts-ddangddaeng-terjemahan.html?m=1
P.S : Pada chapter ini sudah muncul tokoh penting.
KAMU SEDANG MEMBACA
Orange Spirit 3 : Dead Leaves ✔
JugendliteraturBerawal dari sebuah kegagalan pertamanya, Nara Kim memutuskan untuk pergi keluar kota demi mencapai mimpinya ; menuntut ilmu di universitas impiannya. Tak disangka, Nara Kim harus terjebak dalam suatu lingkaran yang akan menuntunnya ke dalam sebuah...