Pagi itu, aku dan Ana berjalan bersama menuju tempat bimbingan belajar. Mungkin karena kami sama-sama masih canggung sejak kejadian kemarin, di antara kami berdua sama sekali tidak ada yang membuka percakapan. Hanya langkah kaki yang ada, ditemani angin pagi dan hiruk pikuk jalanan dengan beberapa delman yang lewat. Aku termenung dalam hati, membayangkan wajah Iyan. Lalu seterusnya wajah Iyan yang terbayang di benakku. Seperti terkena virus kerinduan.
Iya, kerinduan.
Terdengar menggelikan memang.
Namun, aku harus tahu diri bahwa yang sekarang berjalan bersamaku adalah seorang saingan. Malam kemarin, Iyan memberitahuku semuanya. Memberitahu lewat telpon bahwa dia memiliki teman dekat di SMP-nya. Awalnya, mereka berdua satu kelompok dalam musikalisasi puisi. Lalu, lama kelamaan mereka menjadi dekat dan hanya satu-satunya Iyan laki-laki yang dekat dengan Ana sampai saat ini. Aku tidak bermaksud untuk sok tahu, namun intuisiku mengatakan bahwa Ana—
--menyukai Iyanku juga.
"Ah, Nara—"
Ana memecah keheningan di antara kami. Lalu, dia menatapku, sembari berjalan. "Kamu—masih dekat dengan Iyan?"
Aku terkejut dia menanyakan hal itu. Aku sedikit cengengesan, lalu mengelus tengkukku. "Ah, masih. Kami biasa-biasa saja sebenarnya, cuman dekat sebagai teman, enggak lebih kok. Kamu jangan khawatir."
Jangan khawatir?
Shit. Aku ngomong apa, sih?
"Khawatir? Kenapa aku harus khawatir?" tanya Ana dengan wajah datarnya. Masih saja gadis itu menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Kalau dia memang tidak punya perasaan apa-apa pada Iyan, seharusnya dia tidak mendadak menanyakan hal itu tadi. Salah satu hal yang mengerikan dariku adalah ketika aku bisa mengetahui perasaan orang lain yang disembunyikan oleh orang itu. Diam-diam, intuisiku kuat. Bahkan aku tahu kalau Iyan sendiri sebenarnya menyukaiku.
Namun, lama-lama Iyan agak berubah. Begitu bertemu dengan gadis ini dan tahu bahwa gadis ini adalah teman SMP Iyan dimana sampai sekarang mereka masih dekat, aku merasa bahwa gadis ini yang membuat Iyan seperti tidak terlalu menunjukkan bahwa dia benar-benar menyukaiku romantically. "Begini Ana," Aku berusaha menjelaskan. "Iyan ini teman SD-ku. Sampai sekarang kami cuman teman, enggak lebih. I don't know if you have a feeling for him or what, but cuman ini yang bisa aku kasih tahu. Aku cuman enggak mau hubungan kita jadi renggang cuman gara-gara masalah cowok."
Ana terlihat tidak mengerti. "Maksudmu?"
"Maksudku, aku sendirian di sini. Begitu pula dengan kamu. Jadi, sebenarnya aku mau kita berteman tanpa beban—"
"Enggak masalah," Ana memotong kata-kataku. "Aku juga ke sini sendirian. Aku bersyukur ada teman yang datang kemari dan ternyata satu tempat bimbel denganku. Aku juga berharap kita bisa belajar bareng."
Mataku berbinar-binar. "Makasih, Ana."
Setelah itu, kami membicarakan banyak hal. Entah itu asal sekolah, teman-teman di sekolah, sampai masalah mental health pun juga kami bahas. "Serius, teman-temanku itu pada enggak aware sama masalah ini," kataku. "Saat SMA, aku punya teman sekelas yang pendiam banget. Aku memang pendiam juga, sih, tapi dia jauh lebih pendiam. FYI, dia cowok. Lalu dia dijauhi sama teman-teman cowoknya, dan hanya cewek-cewek di kelas yang peduli sama dia. He has depression, Na. Diam-diam dia selalu mendatangi psikiater dan minum obat-obatan untuk depresinya. Itu sudah parah banget, Na. Katanya, he has depression because orang-orang di sekitarnya selalu menuntut dia untuk jadi peringkat pertama di kelas dan dia masuk IPA karena paksaan dari orang tuanya juga, biar dia bisa masuk kedokteran untuk membungkam mulut-mulut tetangga yang nyinyir."
"Ah, aku juga punya kenalan yang begitu, sih. Tapi ini kasusnya beda," kata Ana. "Eh, tunggu. Bukan kenalanku, tapi kakakku."
"Eonnie or Oppa? Bukannya kamu anak satu-satunya?" Aku mengerutkan dahi. Kakak katanya?
Ana menghela napas, kemudian tersenyum. Namun, kali ini kedua sorot matanya memancarkan kesedihan, dan juga trauma masa lalu yang masih belum kunjung memudar. "Bukan kakak kandung, tapi orang yang sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri. Dia satu-satunya temanku selain teman-teman imajinernya. Bahkan, aku juga berteman dengan teman-teman imajinernya."
"Wow," kataku.
"Namun, dia punya keinginan untuk mengakhiri hidupnya sendiri," kata Ana. "Keinginan itu akhirnya tercapai, dan sejak saat itu aku sudah enggak punya teman yang benar-benar dekat denganku sebelum Chiara, Shela, dan Tita datang ke kehidupanku. Eris pergi meninggalkan Ares dan Jovi juga."
Ares? Jovi? Nugu?
"Ayo menyebrang," kata Ana sembari meraih tanganku. Namun, entah mengapa otakku mendadak berhenti bekerja. Kosong. Sampai ada yang membisikkan namaku tepat di depan telinga.
Kim Nara.
Nara Alicia Kim,
Aku di sini.
Kamu dalam bahaya, Nara.
Cepat selesaikan misterinya.
"Misteri—apa?" Aku menggumam. Tanpa sadar, aku melangkahkah kakiku sendiri ke jalan raya yang mulai ramai. Ana berusaha menahanku, tetapi genggamannya terlepas.
"Nara, jangan menyebrang dulu. Masih ramai."
Setelah itu, hanya suara klakson yang dapat kudengar dan teriakan Ana dari kejauhan. Tiba-tiba, aku merasa ada yang mendorongku dari belakang. Aku jatuh tersungkur, dan lutut serta sikutku sakit karenanya. Anehnya, saat aku menoleh ke belakang, Ana masih berdiri di atas trotoar. Wajahnya terlihat syok.
Lalu, siapa tadi orang yang mendorongku?
"Hai, Nara Alicia Kim. Aku Jovi. Salam kenal."
--**--**--
KAMU SEDANG MEMBACA
Orange Spirit 3 : Dead Leaves ✔
Teen FictionBerawal dari sebuah kegagalan pertamanya, Nara Kim memutuskan untuk pergi keluar kota demi mencapai mimpinya ; menuntut ilmu di universitas impiannya. Tak disangka, Nara Kim harus terjebak dalam suatu lingkaran yang akan menuntunnya ke dalam sebuah...