Sejak saat itu, aku dan Ana terus diikuti oleh arwah yang bernama Jovi itu. First impression-ku terhadap Jovi adalah, dia anak yang serius. Namun, ternyata aku salah besar. Dia sangat hiperaktif dan berkali-kali mengangguku dan Ana saat kami sedang belajar di kelas. Aku dan Ana satu kelas, bersama sekitar sebelas anak lainnya. Hari itu, kami belajar kimia tentang pH. Menghitung pH ternyata rumit banget kalau menurutku. Sementara itu, Ana mengajariku yang berkali-kali tidak paham soal-soal pH beserta pembahasannya di modul yang kemarin dibagikan.
Sementara itu, Jovi terus menepuk-nepuk pundakku. Karena aku tidak mau disangka gadis gila oleh orang-orang yang ada di dalam ruangan ini, jadi aku tidak menghiraukannya. Anggap saja dia tidak ada, toh memang tidak kelihatan oleh orang-orang biasa. Namun, Ana sepertinya terlihat sangat terganggu. Dia berkali-kali menoleh ke belakang, tempat di mana Jovi berdiri dan terbang ke sana kemari –serius, dia bisa terbang. Hal itu membuat anak-anak yang duduk di belakang kami jadi agak risih.
"Calm, Ana," bisikku. "Jangan dihiraukan."
"Kenapa? Dia menyebalkan banget," kata Ana.
"Pokoknya jangan pedulikan saja," kataku. "Dia kayaknya seperti itu deh kalau lagi gabut."
Ana mengerucutkan bibir. "Memang."
Setelah itu, aku dan Ana kembali memerhatikan guru yang sedang mengajar di depan sekaligus memikirkan akan makan apa nanti siang. Entahlah, mungkin geprek? Sushi? Seperti bukan anak kos banget. Namun, di sela-sela memikirkan hal basic semacam itu, bulu kudukku agak merinding. Tidak biasanya aku begini, dan aku berusaha untuk berpikir positif. Hanya saja, semakin lama angin membelai kulit, semakin terasa dingin, dan aku yakin terpaan angin ini bukan hanya berasal dari AC.
Karena angin ini membelai telinga kananku perlahan, membuat bulu tanganku yang hampir tak terlihat ini berdiri semakin tegak. Aku bisa merasakannya. Dia bukan Jovi, bukan. Aura kehadiran Jovi bukan seperti ini. Dia jauh lebih gelap, bahkan merupakan definisi dari kegelapan itu sendiri.
"Ares?"
Aku spontan menoleh ke arah Ana. "Ares?" Aku mengulangi kata-katanya.
"Ares teman Jovi," bisik Ana. "Tadi dia ada di depan, tapi sudah menghilang enggak tau kemana."
Di depan tadi ada arwah yang bernama Ares?
Namun, aku sama sekali tidak merasakan apapun di depan. Tidak ada sosok manapun di depan yang memelototiku atau apapun itu. Biasanya, aku bisa merasa peka ketika ada yang menatapku. Tapi, seriously, tidak ada yang seperti itu di depan tadi. Sosok gelap yang kumaksud tadi justru berada di belakangku, seperti sedang meniup telingaku.
"Ana."
"Ya?" Ana menoleh ke arahku.
"Kamu sebenarnya bisa melihat arwah atau enggak?" tanyaku memastikan. Dia terdiam sejenak, lalu menggeleng.
"Enggak," katanya. "Makanya itu aku kaget saat tau bahwa sebenarnya Ares dan Jovi adalah arwah penasaran. Kaget banget, karena aku sendiri bukan tipe-tipe orang yang bisa melihat 'begituan'. Dan sampai sekarang, yang bisa kulihat cuman orang-orang itu. Eris, Ares, dan Jovi."
"Bukan, dia bukan Ares."
Aku dan Ana spontan menoleh ke arah seorang gadis misterius yang sedari tadi tidak kami sadari kehadirannya. Rambutnya panjang berwarna hitam dan menutupi mata sebelah kirinya, gaunnya hitam, dan orang-orang di sini seakan tidak peduli dengan kehadiran gadis itu. Namun, dia sedari tadi mencatat penjelasan guru, terlihat dari catatannya yang penuh. Aku dan Ana terdiam, merasakan aura yang sangat gelap dari gadis itu.
"'Aku adalah definisi dari gelap', katanya. Dia membuat setiap orang mengatakan hal seperti itu. Dia membuat setiap orang merasa tidak berguna," katanya. "Petunjuknya adalah seorang anak bertanduk, suka berbisik, dan dia bukanlah Eris, Ares, ataupun Jovi."
Setelah itu, si gadis misterius mengeluarkan sebuah kartu dari tempat alat tulisnya. Kartu putih dengan coretan berwarna hitam. "Noda hitam," katanya. "Kejahatan yang sedang berbaur bersama kebaikan."
Aku mengernyitkan dahi, mulutku sedikit terbuka. Gadis ini siapa?
"Aku 'The Witch'," katanya lirih. "Penyihir hitam yang baru saja membelot dari kejahatan. Kalau kalian percaya padaku, aku akan membantu kalian untuk menemukan arwah yang membuat Eris depresi. Tapi kalau kalian tidak percaya, bagaimana bisa aku membantu kalian?"
Aku mengucek-ucek mata. Gadis ini bukan hantu, tapi dia aneh. Tak lama kemudian, aura gelap yang ada di sekitarku tadi mulai menghilang. Aku merasa bahwa arwah dengan aura gelap ini sedang ketakutan. Sepertinya, arwah itu takut dengan si gadis misterius hitam-hitam ini. "A—aku, aku mau kamu membantu kita!" seru Ana tiba-tiba. "A—aku mi—minta tolong banget!"
"Minta tolong apa ya?"
Aku dan Ana tersentak. Gadis misterius itu mulai berganti aura, dan nada bicaranya menjadi normal dengan logat Jawa halus. Dia berbicara sembari menyibakkan rambut yang menutupi sebelah matanya. "Eh, maksudku mau minta tolong apa, Mbak?"
"Eum—" Ana terlihat bingung, namun setelah itu tersenyum canggung. "Enggak jadi, kok, hehe."
Kami bertiga sama-sama terjebak dalam kebingungan.
--**--**--
Ares, Eris, dan Jovi.
Ares adalah kegelapan.
Jovi adalah mataharinya.
Ketika kejahatan berbaur dengan kebaikan, dia akan menyamar,
menjadi seekor serigala berbulu domba di antara berbagai jenis domba, yang biasa orang sebut sebagai,
Seorang Pengkhianat.
--**--**--
KAMU SEDANG MEMBACA
Orange Spirit 3 : Dead Leaves ✔
Fiksi RemajaBerawal dari sebuah kegagalan pertamanya, Nara Kim memutuskan untuk pergi keluar kota demi mencapai mimpinya ; menuntut ilmu di universitas impiannya. Tak disangka, Nara Kim harus terjebak dalam suatu lingkaran yang akan menuntunnya ke dalam sebuah...