Chapter 5b | That Boi

21 5 0
                                    

Mulai minggu ini –tak terasa, ini sudah masuk ke minggu kedua—kelas untuk SBMPTN dan kelas untuk SPMB STAN belajar pada jam yang sama. Jadi, beberapa gadis di kelas mulai berbisik-bisik dan membicarakan anak laki-laki tampan yang jumlahnya hampir tak bisa dihitung dengan jari di kelas STAN. Kebanyakan dari mereka memiliki cita-cita untuk masuk Bea Cukai, dan untuk masuk ke Bea Cukai sendiri ada syarat khusus seperti tinggi badan. Tak heran kebanyakan dari mereka berbadan tegap dan kebetulan memang tampan.

Seperti biasa, aku dan Ana mengobrol biasa di kelas. Sejak saat itu, kami tidak membicarakan Eris lagi. Untuk sementara, mental state Ana harus terjaga dengan baik. Ketika dia di-trigger dengan nama Eris lagi, mungkin dia akan kumat. Jadi, Jovi sendiri juga bilang untuk sementara waktu, kami tidak lagi membicarakan Eris. Soal arwah yang membuat Eris depresi pun menjadi urusanku dan Jovi.

Gadis misterius yang sering dirasuki oleh 'The Witch' itu sendiri bernama Naomi. Ya, Naomi adalah gadis biasa yang ikut belajar untuk persiapan SBMPTN bersama kami. Namun, dia tidak tinggal di indekos. Kota ini adalah kota kelahirannya, tempat di mana dia menghabiskan waktu bersama teman-teman lamanya. Sementara itu, pacarnya sendiri datang dari kota lain –seperti aku dan Ana—dan tinggal di indekos dekat rumah Naomi dan belajar di salah satu bimbingan belajar selain Katai Cokelat –kalau tidak salah namanya Hydrocarbon Course. Mereka baru jadian sebulan yang lalu.

"Dia romantis, sih," katanya saat kami sedang berdiri di depan kelas STAN. "Tapi ya begitu, deh. Aku benar-benar minta maaf banget soal kejadian yang waktu itu, kayaknya si Ana jadi murung banget, ya? Aku benar-benar merasa enggak enak."

"Ah, Ana begitu bukan karena pacarmu, kok," Aku tersenyum. "Itu karena dia masih belum move on saja. Ngomong-ngomong pacarmu tinggi, ya? Jangkung banget dan manis gitu orangnya. Dia mau masuk STAN, tidak?"

"Dia enggak mengambil kelas STAN di tempat bimbelnya, Nara," jawab Naomi. "Dia mau ngambil kimia, sama seperti Sahara, sepupuku. Tapi, Sahara baru masuk hari ini. Di bimbel ini—"

"Hei, Princess Jasmine!"

"Sahara! Jangan panggil aku Princess Jasmine kenapa?" Naomi mengerucutkan bibir. Aku menatap seorang anak laki-laki dengan tinggi sekitar 168 cm –hanya lebih tinggi enam sentimeter dariku dan dia setinggi Iyan—dari atas sampai bawah. Aku agak terkejut. Anak ini benar-benar enggak aman kalau tinggal di Korea, batinku. Seperti yang telah kukatakan sebelumnya entah kapan, tetanggaku sangat rasis. Dan anak ini—

"Kamu tambah hitam saja! Habis dijemur di mana itu kulit?" tanya Naomi dengan teganya. Jujur saja, tapi aku suka anak laki-laki ini. Dia sangat manis, bahkan jauh lebih manis daripada Iyan. Kulit tan-nya yang bagiku terlalu tan dan bisa dibilang terlalu eksotis mengingatkanku pada Iyan, hanya saja Iyan kurang eksotis. Sesuai sekali dengan namanya, dia seperti telah lama tinggal di Gurun Sahara sekalian memelihara kaktus di sana.

"Sembarangan kalau ngomong," kata Sahara. "Lagian begini-gini mantannya ada banyak, ya! Daripada kamu, baru diajakin nonton 'Alladin' sama si yayang tercinta mah senangnya sudah enggak ketulungan."

Tak lama kemudian, setelah mengobrol sekian lama dan berkenalan dengan sepupu Naomi itu, Naomi dan Sahara mengajakku untuk makan di café depan bimbel Katai Cokelat. Namun, aku menolak karena aku masih menunggu Ana yang lama sekali berada di kamar mandi. Waktu sudah berjalan cukup lama dan Ana belum datang juga. Aku was-was, perasaanku benar-benar tidak enak. Jovi menghilang, aku tidak tau harus minta bantuan arwah yang mana. Kakek-kakek yang duduk di kursi tunggu sembari berulang kali menggosok luka bakar di wajahnya pun tidak mempedulikan aku sama sekali. Padahal, aku yakin dia baik. Dia pernah bilang padaku, dia meninggal karena menyelamatkan cucunya yang terjebak dalam insiden kebakaran.

"Ya ampun, ada yang ketinggalan—"

Seseorang menabrakku sampai aku terjatuh. Dia anak laki-laki berkacamata bulat, tangannya terulur padaku.

"Ah, maaf ya! Tadi aku buru-buru," katanya. "Ada yang tertinggal di kelas."

Aku menerima uluran tangannya, kemudian berdiri. "Oh, enggak apa-apa. Mau kuambilkan?"

"Enggak usah, makasih. Itu merepotkanmu," katanya.

"Enggak masalah," Aku masuk ke dalam kelas STAN yang ternyata jauh lebih dingin daripada kelasku. "Barang yang tertinggal itu apa?"

"Binderku," jawabnya. "Warna hitam. Sepertinya tertinggal di dalam laci meja, tapi aku lupa yang sebelah mana karena aku sendiri lupa duduk di mana tadi. Makanya itu aku enggak mau merepotkanmu."

"Sudah kubilang enggak masalah kok," Aku mulai mencari binder yang dia maksud di berbagai laci meja. Dia langsung ikut membantuku dalam mencari. Sampai akhirnya, aku menemukan sebuah binder berwarna hitam. Entah mengapa, tanganku tergerak untuk membukanya sampai secarik kertas yang diselipkan di salah satu halaman terjatuh ke bawah meja. Aku mengambilnya, kemudian menatap kertas itu dengan mata membulat.

Di atas kertas itu terdapat sketsa tiga anak laki-laki, dan salah satunya sangat mirip dengan Jovi.

Lalu yang membuatku merinding adalah,

nama-nama yang tertera di bawah sketsa itu.

Eris, Ares, dan Jovi.

"Ah, itu tolong kemarikan," Anak laki-laki itu menghampiriku, meminta kertas dan bindernya.

Tidak, batinku. Aku tidak akan mengembalikannya sebelum aku mendapatkan penjelasan. "Maaf sebelumnya," kataku berhati-hati. "Kamu—apa kamu pernah bertemu Eris sebelumnya? Cuman, sebelum itu aku mau memperkenalkan diri. Namaku Nara Alicia Kim, dan aku teman Putri Alfiana Ulfa selama kami merantau di sini. Ana sendiri adalah teman masa kecil Eris, dan Eris meninggal karena bunuh diri. Tapi, dia bunuh diri karena arwah yang menyebabkan dia depresi—"

"Ah, Eris," katanya. "Dia menghilang. Energinya sudah habis."

Eris? Energinya sudah habis? "Kalau begitu, aku boleh minta bantuanmu?" tanyaku. "Aku, Ana dan Jovi berniat untuk mencari arwah yang menyebabkan Eris depresi. Menurut penyihir hitam, kamu yang sudah pernah bertemu dengan Eris dan nantinya akan membantu kami."

Ya. Anak itu benar-benar harapan kami.

--**--**--

Orange Spirit 3 : Dead Leaves ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang