Chapter 12a | Speed Race

37 4 0
                                    

--**--**--

Rasanya seperti kau berkendara di jalan yang sepi

Memacu dengan cepat,

Sampai kita tidak tahu,

Kapan kita akan berhenti

Tapi,

Bukankah kau menikmatinya?

--**--**--

Sejak saat itu, Jeremi sering menghubungiku. Akibatnya, waktu belajarku agak sedikit terganggu. Aku hanya bilang, aku akan menghubunginya kalau arwah anak bertanduk itu menggangguku. Selama seminggu ini –besok aku UTBK yang kedua, aku tidak pernah diapa-apakan oleh arwah itu. Anehnya, dia malah menemaniku belajar saat Jovi tidak mampir ke kamarku. Terkadang, dia mengajariku bagaimana cara menjawab soal-soal TPS. Sepertinya, sebelum meninggal dia anak yang cerdas.

Tapi, kan, dia pasti sudah meninggal lama sekali kalau pada zaman ayahku dia sudah meninggal.

Iyan bilang, Jeremi sepertinya tertarik padaku dan itu hanya modusnya untuk mendekatiku. Namun, tidak ada tanda-tanda kalau Iyan mau bilang dia cemburu padaku. Sementara itu, gadis yang bernama Yuna meminta nomor Whatsapp-ku –aku memang sering berkirim pesan dengan WA—dengan alasan untuk menanyakan kabar Nilam dan—Ana.

Sepertinya, Yuna dulu dekat sekali dengan Nilam saat SMA.

Malamnya, arwah itu datang lagi. Aku jadi takut. Apakah tanpa sadar aku memanggilnya? Dia adalah definisi dari kegelapan, ketika aku memanggilnya maka aku akan semakin jatuh ke dalam kegelapan. Namun, rasanya seperti aura lain yang menyelubungi arwah anak bertanduk yang sedang mengusap kepalaku yang sedang berbaring untuk menunggu bunga tidur yang mekar. Auranya seperti aura terang. Pokoknya aura yang tidak mungkin dimiliki oleh setan macam dia. Auranya bahkan seperti Ana, perpaduan antara aura Eris, Ares, dan Jovi.

Tapi, apakah sebenarnya arwah ini adalah arwah baik yang dihantam oleh takdir tak terduga? Batinku, tanpa sadar menikmati setiap elusannya. "Heh," kataku.

"Ya, Nara?" tanyanya.

"Kamu mau merencanakan apa?"

"Tidak merencanakan apa-apa tuh. Aku santai, toh kalau ada apa-apa pasti itu karenamu juga."

Aku menghela napas. "Jadi, Eris mati –maaf, maksudku meninggal itu karena diriku juga?" tanyaku agak kesal.

"Eris meninggal karena keinginannya sendiri," kata arwah itu. "Yah, apa kamu mengerti maksudku, Nara? Sebagai arwah 'jahat', sudah menjadi tugas kami untuk membawa manusia ke dalam kegelapan. Sebenarnya kami enggak memaksa, tetapi justru malah mereka yang menginginkannya. Kalau mereka menolak kami sih ya enggak masalah juga. Pilihan tetap ada pada mereka, tugas kami hanya mengantarkan mereka ke dalam kegelapan kalau mereka menginginkannya. Eris punya mental yang tetap lemah walaupun dia berkali-kali menghibur dirinya sendiri dengan tulisan-tulisannya. Sebelum aku 'membunuhnya', dia sudah ingin dibunuh. Jadi, ya sudah."

"Jadi kamu membiarkannya? Kamu enggak mencegahnya? Dia meninggalkan adiknya! Seorang gadis yang sudah dianggapnya sebagai adiknya sendiri!" seruku. "Seharusnya kamu enggak menuruti keinginannya untuk kamu bunuh!"

"So what? That's my job, Honey."

"Bastard," desisku.

"Bisa-bisanya kamu ngomong begitu pada makhluk yang sudah mengajarkan soal-soal TPS dan TPA padamu, ya! Memang satu kejahatan itu bisa menutupi seribu kebaikan!"

"Biar saja! Seribu kebaikan apanya? Yang ada seribu kejahatan! Ada berapa banyak sih manusia yang menderita gara-gara kamu?"

"Itu salah mereka sendiri yang enggak bisa menjaga diri mereka sendiri!"

Aku diam. Lelah juga berdebat dengan makhluk ini.

Dia kembali mengelus kepalaku sampai aku tertidur. Besok, aku akan melaksanakan UTBK yang kedua. Berdebat dengan makhluk astral malam-malam hanya akan membuatku pusing keesokan harinya.

Universitas Tribhuwana Tunggadewi, tinggal sedikit lagi.

--**--**--

[A/N]

Uwaw maraton layaknya RAT.

Sepertinya untuk membaca ini, kalian harus membaca dari Orange Spirit yang pertama gais. Sebab ketiga seri ini berhubungan.

🧡🧡🧡

Orange Spirit 3 : Dead Leaves ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang