Chapter 10a | Psycho

29 4 0
                                    

--**--**--

Ini gila

Keluar dari hati seorang gadis yang—

Bisa dibilang gila juga

Entahlah,

Tetapi aku bisa melihat apa yang tidak bisa kamu lihat

--**--**--

Mei 2019

Sejak satu bulan yang agak melelahkan itu, Jovi jadi sering berkeliaran di sekitarku.

Ya.

Ternyata, aku tidak sengaja membawa Jovi pulang. Dia tiba-tiba duduk di kursi sampingku yang saat itu kosong tatkala pesawatku terbang menuju kota asalku. Seperti biasa, dia menggangguku. Terkadang, dia menceritakan tentang kisahnya bersama Eris dan Ares –sembari sesekali berlinang air mata begitu mengingat Ares yang terlalu cepat pergi ke neraka. Tetapi, bukankah Ares belum jelas keberadaannya dimana? Kenapa dia bisa dengan cepat menyimpulkan bahwa Ares pergi ke neraka—bersama penyihir itu? Maksudku, bisa saja penyihir itu membawa Ares kabur ke dunia lagi.

Tunggu –kenapa aku bisa berpikiran seperti itu? Jelas-jelas Eris sudah bilang kalau mereka ke neraka. But, I don't really buy it. Mereka hanya menyerah untuk sementara sebelum merencanakan hal lain.

Aku benar-benar tidak tahu. Jadwal UTBK-ku tinggal beberapa hari lagi, jadi aku hanya sibuk mengulang pelajaran dari bimbel. Ana dan Nilam mengambil jadwal yang sama denganku, hanya saja UTBK mereka berdua berlokasi di Universitas Tribhuwana Tunggadewi. Orang-orang yang beruntung, batinku. Namun, sesekali aku juga belajar bersama mereka berdua lewat skype.

"Kamu mau nonton apa, sih?" tanyaku pada Jovi yang sedari tadi menepuk-nepuk pundakku dan memintaku untuk membuka youtube.

"Jipren!" serunya bersemangat.

"Korea?" Aku mengernyit. Walaupun aku gadis setengah korea –ingat, kan, aku dari Daegu?—tetapi aku tidak terlalu peduli pada K-Pop atau apapun itu. Aku pribadi lebih suka band, seperti Coldplay. "Kenapa tiba-tiba?"

Raut wajah Jovi berubah menjadi lebih serius. "Kamu lupa?"

Hening menguasai kamarku sejenak. Seketika, aku tersadar akan sesuatu. Sesuatu yang Nilam katakan sebelum aku menaiki pesawat menuju kota.

"Nara, kamu suka K-Pop?" tanya Nilam tiba-tiba.

"Tidak terlalu," jawabku. "Memangnya kenapa?"

"Kamu tau Jipren?"

"GFriend?"

"Bukan GFriend, tapi Jipren."

"Oh, tau. Memangnya kenapa—"

"Ya, Jipren adalah Girlgroup yang dibentuk oleh Apollo Entertainment. Setelah aku cari tau, leader-nya, Ahn Ri Ya, memegang peran eksklusif di bawah pimpinan si arwah anak bertanduk. Kamu harus berhati-hati sama cewek itu."

"Ah, maksudmu Ahn Ri Ya?" Aku kemudian tertawa. "Dia artis. Mau kita mempedulikannya atau enggak, yang penting dia sama sekali enggak berhubungan dengan kita. Appa now free, kita semua juga sudah bebas, kan? Sekarang kita fokus pada mimpi kita. Selama tidak ada orang yang meninggal karena mereka, tidak ada yang perlu kita khawatirkan."

"Temanku fans berat dia, Ra. Namanya Jeremi—"

"Jeremi?" Aku menggumam.

Aku tak menyangka, Jovi menjawab gumamanku. "Jeremi siapa?"

"Kamu enggak tau Jeremi?" tanyaku.

"Enggak," jawab Jovi. "Kamu tau?"

"Enggak tau juga."

Jovi menatapku datar. "Bodo amat."

Aku tertegun. Dari nada suaranya saat itu, Nilam jelas sangat mengkhawatirkan Jeremi, temannya itu. Jelas sekali Nilam menyayanginya –sebagai teman, tentunya. Mengingat hubungan Nilam dengan Eris, bisa jadi Eris juga mengenal Jeremi. Tetapi, tentu saja Jeremi tidak mungkin mengenal Eris. Bagi Nilam, menceritakan perihal Eris kepada teman-temannya pasti merupakan sesuatu yang enggak masuk akal. Apalagi Nilam kelihatannya adalah sejenis orang yang tidak ingin mengakui adanya reaksi pemecahan ikatan senyawa kimia –alias tidak suka dijauhi dan dimusuhi oleh teman-temannya, tipe yang sangat mementingkan perasaan sekali.

Alias baik banget.

"Naraaa~ buka youtube!"

"Iya, bawel," Aku mulai membuka youtube di laptop-ku dan mengetikkan 'Jipren' di kolom pencarian. Alhasil, terdapat satu video yang thumbnail-nya benar-benar membuatku tidak bisa berkedip. Thumbnail yang menampilkan wajah flawless seorang gadis korea umur 20-an. Dia tidak tersenyum, hanya menatap kamera dengan raut wajah yang polos. Walaupun begitu, aku bisa merasakan ada yang aneh dari gadis itu.

"Kamu ngerasain sesuatu, enggak?" tanya Jovi.

"Ya—" kataku. "Kayak ada yang aneh dari cewek ini—"

"AH!" Jovi menyentak keras. Aku menatapnya dengan dahi berkerut. What happen again with this boy?

"Kenapa?"

"Kamu belajar saja," Jovi mengambil laptop-ku dan memindahkannya ke atas kasur, kemudian mengambilkan buku-buku yang biasa kugunakan untuk belajar dan menaruhnya di atas meja belajarku, tak lupa beserta alat tulis untuk mengerjakan soal-soal. "Aku rencananya mau mencari tau soal Jipren karena Eris memberitauku soal leader-nya yang berhubungan dengan si arwah bertanduk ini. Yah, Eris tau dari Nilam. Nilam tau dari internet," kata Jovi yang membuatku terkejut. Dari internet? Serius, hal beginian ternyata ada di internet?

"Selama ini mungkin kita saja yang bodoh," kata Jovi, seakan mampu membaca pikiranku. "Nilam menemukannya di situs yang enggak banyak dikunjungi orang, tetapi situs itu enggak menjelaskan soal okultisme di keluarga nenekmu jadi enggak lengkap."

"Iyalah," Aku menatap Jovi dengan tatapan datar. "Keluargaku enggak se-famous itu untuk masuk ke situs internet, lalu jadi cerita horor publik yang dikait-kaitkan sama idol macam Ahn Ri Ya."

"Sudah sudah, belajar sana!" Jovi mendorongku yang masih duduk di depan meja belajar. "Soal ini biar aku yang urus, yang penting kamu belajar dulu biar masuk Universitas Tribhuwana Tunggadewi. Semangat cahaya jingga, semangat yang berkobar dari seorang gadis tanpa suara! Pokoknya kamu harus fokus sama tujuanmu, Nara!"

"Apa itu? Semangat yang berkobar dari seorang gadis tanpa suara?"

"Belajar, hei!" Jovi mulai seperti ibuku. Akhirnya, aku pun belajar dan Jovi sendiri menyelesaikan urusannya –mencari tau soal Jipren dengan laptop-ku di atas kasurku. Namun, Jovi sendiri seperti tidak serius karena pada akhirnya dia malah terlena menonton MV-nya dan fanboying-an. Aku jadi berpikir, bagaimana perasaan artis-artis kalau tahu bahwa yang nge-fans sama mereka tidak hanya dari kalangan manusia, tetapi juga dari kalangan arwah yang suka mengganggu macam Jovi. Hidup mereka pasti tidak tenang.

Tapi, benar kata Jovi.

Aku harus fokus dulu pada tujuanku.

--**--**--

Orange Spirit 3 : Dead Leaves ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang