Chapter 8b | Awakened Devil

25 4 0
                                    

Malam itu, tepat pada pukul dua belas malam, aku mengelilingi indekos untuk mencari Jovi. Bulan penuh saat ini berpendar, dan banyak energi negatif yang saat ini kurasakan. Namun, aku tidak peduli. Instingku mengatakan bahwa Jovi malam ini akan kembali setelah menyelesaikan urusannya. Bulu kudukku berdiri –kuelus kedua lenganku, dan itu karena aku merasa kedinginan pula. Suara-suara gemerisik terus membayangi kedua telinga. Namun, ada satu hal yang agak menggangguku pula.

Suara lantunan piano. Turkish March.

Suaranya berasal dari lantai atas yang di mana di sana terdapat banyak kamar kosong. Dengan berat, aku melangkahkan kaki menyusuri anak tangga. Semakin lama, suara itu terdengar semakin keras. Sampai akhirnya, aku berhenti di depan salah satu pintu. Aku bisa merasakan aura yang menyeruak dari celah pintu, aura yang sama dengan aura yang kurasakan saat hari pertamaku belajar di bimbingan belajar. Situasi di mana setelah itu Ana berkata bahwa ada Ares juga di sana.

Cih, sekutu.

Tanpa sadar, aku membuka pintu itu. Lalu, aku melihat ada arwah seorang anak bertanduk dan seorang anak laki-laki yang duduk memainkan sebuah piano cokelat. Mereka berdua membelakangiku. Aku merasa takut, tetapi kakiku terlalu kaku untuk pergi dari sana. Setelah itu, mataku membelalak.

Mereka berdua kompak menoleh ke arahku.

"Siapa bocah ini?" tanya seorang anak laki-laki dengan sorot mata paling dingin yang pernah kulihat. "Pergi sana, bocah."

"Diam pengkhianat," Aku memberanikan diri untuk bicara. "Kamu bersekutu dengan arwah ini, arwah yang hampir menghancurkan hidup ayahku," Aku menatap arwah anak bertanduk itu tanpa gentar. "Seorang anak biasa yang sok-sokan mengaku sebagai titisan Apollo, membohongi keluarga Nenek dan meminta Ayah untuk menjadi pion pelaksana misi bodohmu. Matahari, cahaya, musik, filsafat dalam syair, pengobatan, semuanya kamu salah gunakan. You're mocking the name of Apollo, then. Kartu ketiga, Filsuf, Pianis, dan Matahari bukanlah simbol dari Eris, Ares, dan Jovi, tapi simbol dari Ares sendiri yang merupakan pianis dan filsuf. Matahari, exactly Apollo."

"Seorang anak laki-laki," Aku melanjutnya. "Jelas semua kartu yang ada menunjukkan kamu. Dan kartu terakhir—"

"Walkman? Kamu benar-benar tidak tau apa-apa," Ares terkekeh menyebalkan, lalu raut wajahnya menjadi dingin kembali.

Lidahku mendadak kelu, pikiranku menjadi kosong. Sontak, aku merasakan berbagai energi di sekelilingku. Eris, Jovi, Ana, dan—

Nilam?

"Terima kasih tumpangannya, Bos," Nilam tersenyum ke arah Eris. "Aku enggak menyangka kalau aku ternyata bisa teleportasi dengan bantuan si Abang, haha."

"Wah, ternyata ini pengkhianatnya," kata Ana sarkastis.

"Kamu sendiri enggak tertarik untuk bergabung?" tanya Ares pada Ana. "Kita adalah orang yang sama, Ana. Kita punya jiwa yang sama. Aku pernah menghentikanmu untuk membunuh dirimu sendiri karena kamu masih belum cukup umur untuk bergabung bersama kami. Namun, karena sekarang umurmu sudah delapan belas tahun –setidaknya satu tahun di atas Eris saat dia meninggal, mungkin ini saatnya."

"Ternyata—brengsek!" umpat Jovi. "Anak ini benar-benar brengsek! Di luar bertingkah seakan kamu sahabat kami, tapi ternyata kamu adalah musuh yang sudah membunuh Eris. Membunuh Eris dengan membantu arwah anak bertanduk keparat ini, arwah yang selalu membisikkan ke dalam hati Eris kalau Eris tidak berguna, dan menyembunyikan Walkman berisi rekaman Eris di dalam rumah Kak Bejo."

"YA! MEMANG!" teriak Ares. Matanya berkaca-kaca, kemudian dia terisak. "Sampai aku mati, aku memang brengsek. Aku memang pembangkang. Musik adalah hidupku, Jovi. Sama seperti Ana dengan mimpinya untuk menjadi penulis, aku pun begitu. Aku terpaksa melakukannya, aku cuman ingin mimpiku terealisasikan walaupun aku sudah mati. Toh, aku mati dalam keadaan brengsek. Aku mati dalam keadaan bangsat—"

"Your language, Ares," tegurku. Namun, aku sadar bahwa ini bukan saatnya untuk menegur orang yang sedang dikuasai oleh emosinya sendiri.

"Kim Nara," Eris menyentuh pundakku lembut. "Biarkan dia merasakan emosinya dulu. Ares meninggal setelah dia menjarah sebuah toko. Padahal, sebenarnya yang dia lakukan adalah memainkan piano cokelat yang ada di dalam toko itu. Sebelumnya, dia juga bertengkar dengan ayahnya soal keinginannya untuk menjadi musisi. Let us have a dream, but don't be to obsessed. Kecintaan yang berlebihan terhadap mimpi akan merusak dirimu sendiri. Obsesi yang berlebihan, obsesi yang menghancurkanmu."

"Untuk terus bermain musik, tidak harus menjadi musisi," lanjut Jovi. "Untuk terus menulis, tidak harus menjadi penulis."

"Did you understand, Ares?" Aku masih menatap Ares tanpa gentar. Sorot matanya yang dingin kini menjadi semakin hampa. Dia jatuh terduduk, menatap tanah sembari terus terisak. Lalu mengerang sembari meremas kuat rambutnya. "Ares, I feel you," kataku. "Kita sama-sama punya mimpi, aku juga punya mimpi—"

"Semuanya sudah terlambat," gumam Ares. "Mimpiku hancur. Aku sudah mati—"

"Aku minta maaf, Ares," kata Jovi. "Aku gagal menyelamatkan nyawamu waktu itu."

"Enggak perlu minta maaf," Kedua tangan Ares terlihat mengepal. "Ini sudah takdirku."

Tak lama kemudian, sebuah sihir hitam menyelubungi tubuh Ares dan anak bertanduk itu. Lalu, mereka menghilang. Energi mereka berdua pun sudah tidak terasa lagi. Sontak, aku menoleh ke arah Eris dan Jovi. "Kemana mereka?" tanyaku.

"Langsung pergi ke neraka," jawab Eris. "Tapi, yang jelas mereka tidak akan mengganggu kita lagi. Itu perintah dari The Witch—penyihir pembohong itu."

--**--**--

Orange Spirit 3 : Dead Leaves ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang