--**--**--
Perasaan ini,
Aku tidak bisa mengatakannya padamu
Karena aku tahu,
Kamu pasti akan menolakku
--**--**--
Siang itu, Iyan mengajakku untuk belajar di Black D Café. Sudah seharian aku belajar di rumah, dan itu cukup membuatku agak suntuk kalau menurut Iyan. Yah, padahal aku tidak masalah jika harus belajar di dalam kamarku yang nyaman setiap saat. Tapi, karena aku selalu menganggap ajakan Iyan adalah sebuah ajakan kencan, aku pun mengiyakan. Berdirilah aku di depan cermin kamarku, dengan rambut yang sengaja kubiarkan terurai. Aku mengenakan jepit rambut kesayanganku dan dress warna abu-abu, serta tas kecil warna hitam.
Karena aku menyukai high heels, jadi aku mengenakan high heels berwarna hitam setinggi 7 cm. Tinggiku 162 cm, dan sepatu ini membuatku jadi lebih tinggi satu senti daripada Iyan –dia hanya 168 cm, dasar pendek. Seharusnya aku berdandan lebih kasual, sih –soalnya setelah kuingat-ingat, aku hanya pergi belajar di sana. Akhirnya, aku pun menenteng buku catatan dan pulpen kutaruh di dalam tas kecil.
Iyan sudah menunggu di depan rumahku. Aku dan Iyan berpamitan dengan Eomma, dan kulihat Eomma senyum-senyum begitu melihat Iyan.
"Tante pesan, jagain Nara ya. Pastikan dia benar-benar belajar di sana," katanya pada Iyan, lalu menatapku penuh arti dari kaki sampai kepala. "Lho, kamu kok tinggi banget?" tanyanya. "Kamu dandan? Oh, sekalian kencan, kah?"
Kedua pipi Iyan memerah. "Ah, enggak, kok, Tante! Saya cuman mau mengajak dia belajar di café untuk mengubah suasana," Dia mengelak. Sementara itu, kedua pipiku jauh lebih merah lagi. Tak lama setelah itu, kami pun bersiap untuk pergi. Sebelum aku naik ke atas motornya, Iyan memberikan jaketnya padaku. "Biar enggak kedinginan," katanya.
"Terus, kamu bagaimana?" tanyaku.
"Asal kamu enggak kedinginan, aku juga enggak bakal kedinginan kok walaupun enggak pakai jaket sekalipun," katanya yang membuatku merengut. Ini bucin level dewa, batinku melihat kebucinannya yang benar-benar luar biasa, membuat siapapun tidak percaya bahwa dia adalah orang yang sama dengan orang yang pernah menolak pernyataan cintaku tempo lalu.
Aku duduk berboncengan dengan Iyan. Tanpa ragu, aku menyentuh pundaknya. Hal ini sudah biasa di Korea, walaupun dalam hati aku merasa deg-degan. Setelah beradu dengan debu jalanan, kami pun sampai di depan café. Iyan memarkirkan motornya, lalu dia inisiatif melepaskan helm-ku sebelum melepaskan helm-nya sendiri. Aku tidak habis pikir, ada apa dengan dia akhir-akhir ini? Namun, sepertinya aku ingat sesuatu. Chat Iyan kemarin seakan-akan memberitahuku bahwa dia tidak mau kehilangan diriku.
Yah, memangnya aku mau kemana sih?
Aku dan Iyan duduk di salah satu sofa. Iyan memesankan makanan kesukaanku, ramen dan jus alpukat. Yah, ingatannya memang hebat. Selain mengingat jalan, dia juga mampu mengingat makanan dan minuman kesukaan sahabatnya.
Mendadak, aku merasakan hawa yang tidak enak. Begitu menoleh ke kiri, aku melihat seorang anak tersenyum sambil melambaikan tangannya ke arahku. Dia duduk di atas sofa samping sofaku.
Anak itu lagi, batinku.
Ya.
Mau dia apa, sih?
Aku menghela napas, kemudian membuka buku catatanku. Tak lama kemudian, pintu café terbuka dan memunculkan dua orang gadis dan empat orang laki-laki. Setelah sibuk dengan ponselnya, Iyan yang duduk di hadapanku pun menoleh ke arah pintu di belakangnya dan melambai-lambaikan tangannya ke enam orang itu. "Hei, ayo sini!" serunya.
Pantas Iyan tidak membawaku untuk duduk di tempat yang benar-benar khusus untuk dua orang. Diam-diam aku merengut, merasa kecewa karena kupikir ini adalah kencanku. Kupikir, aku bisa 'menang' dari Ana. Tetapi, sepertinya tidak juga. Pelayan membawakan pesanan kami, tetapi aku hanya memandangnya dengan raut wajah tanpa semangat. Lalu, buat apa aku ke sini cantik-cantik begini? batinku kesal.
"Nara, kayaknya aku lupa bilang sesuatu, deh," kata Iyan padaku. "Kamu cantik hari ini—"
"HAYO!"
Aku dan Iyan terkejut, terlebih lagi Iyan yang pundaknya ditepuk oleh si oknum. Si oknum itu –laki-laki berjaket ala Dilan—tertawa, kemudian duduk di samping Iyan, diikuti oleh satu orang laki-laki yang terlihat pendiam dan satu orang laki-laki yang wajahnya terlihat dingin. Sementara itu, salah seorang laki-laki lainnya meminta izin untuk pergi. Katanya, dia mau tampil di live music café ini. Mata Iyan mendelik kaget begitu mendengarnya.
"Roy jadi penyanyi café?" tanya Iyan tidak percaya. "Serius kamu, Jer?"
"Yoi," jawab laki-laki berjaket ala Dilan itu.
Sementara itu, dua orang gadis meminta izin untuk duduk di sampingku. Seorang gadis bertubuh tinggi dan satunya lagi bertubuh mungil, tingginya bahkan lebih rendah dari Ana. Aku mengiyakan mereka berdua.
"Kenalin, Nar. Ini yang pakai jaket ala-ala Dilan namanya Jeremi. Yang duduk di samping Jeremi ini namanya Ghani, dia pendiam banget orangnya tapi kalau sudah dekat bakal beda. Kalau yang duduk di samping Ghani, namanya Giga. Dia lolos di UGM, anaknya memang berhati dingin dan suka ngomong seenaknya tapi dia pintar sampai pernah diundang buat masuk Akademi Intelijen Negara. Tapi ya—ditolak sama dia—"
"Pernah diundang buat masuk AIN?" aku sampai memotong ucapan Iyan saking terkejutnya. "Te—terus ditolak?" Kalau aku jadi Giga, tentu sudah kuterima dengan senang hati walaupun aku tidak akan berakhir di Universitas Tribhuwana Tunggadewi sekalipun.
"Iya, enggak tertarik," kata Giga dingin.
Entah mengapa, aku jadi kesal padanya. Tatapan dinginnya dan bicaranya yang menyebalkan mengingatkanku pada seseorang. Orang itu.
Ares.
"Eum," Iyan berdeham, melanjutkan bicaranya. "Yang cewek mungil ini namanya Yuna, dan cewek tinggi yang duduk tepat di sampingmu itu namanya Nadia."
Aku tersenyum pada Yuna dan Nadia sembari memperkenalkan diri. Lalu, mataku tidak lepas dari seseorang yang bernama Jeremi itu. Ketika aku kembali mengecek si arwah anak bertanduk, aku tidak menyangka bahwa dia akan tersenyum sembari mengedipkan sebelah matanya. Tak lama setelah itu, dia melirik Jeremi dan tersenyum semakin lebar. Membuatku melengos dan memilih untuk tidak mempedulikannya.
Tolong jangan main-main lagi, wahai tanduk jelek, batinku.
Tapi, tunggu—
Laki-laki yang duduk di samping Iyan itu benar-benar bernama Jeremi? Oh ya ampun—
Itu nama yang aku cari! Teman Nilam!
--**--**--
[A/N]
Halo teman!
Aku hiatus di lapak es krim sebelah soalnya mau nyelesain ini hehe.
Kangen Ana Nara 🧡
KAMU SEDANG MEMBACA
Orange Spirit 3 : Dead Leaves ✔
Ficção AdolescenteBerawal dari sebuah kegagalan pertamanya, Nara Kim memutuskan untuk pergi keluar kota demi mencapai mimpinya ; menuntut ilmu di universitas impiannya. Tak disangka, Nara Kim harus terjebak dalam suatu lingkaran yang akan menuntunnya ke dalam sebuah...