--**--**--
Saat dia datang,
Semua akan terkendali
Asal,
Dia tidak akan menghancurkan semuanya
--**--**--
Gelap.
Sakit.
Namun, seketika tubuhku terasa hangat.
Aku tak percaya, arwah anak laki-laki bertanduk itu 'menyembuhkanku' sebelum mendekap tubuhku. Seumur hidup, aku tidak pernah merasa sehangat ini. Entah mengapa, perlahan aura gelapnya meredup dan menjadi terasa samar. Bayangan masa lalu yang tak pernah kuingat mulai menguasaiku, terlihat seperti film yang sangat ingin kutonton sampai habis.
Saat itu, umurku masih tujuh tahun. Aku baru pindah dari Daegu, dan sedang menikmati rumah baru. Rumah baru ini cukup luas. Awalnya, kupikir aku tidak akan punya teman. Namun, saat aku sedang bermain dengan bonekaku di dalam kamar, ada seorang remaja berumur sekitar 17 tahun –beda sepuluh tahun denganku yang tiba-tiba menghampiriku. Aku takut. Bagaimana bisa ada laki-laki asing yang tinggal di dalam rumah baruku?
"Jangan takut padaku, aku Jovi. Arwah yang sudah menempati rumah ini selama beberapa tahun yang lalu sebelum akhirnya tinggal di dalam rumah sakit dan meninggal," Pandangan Ahjussi* yang bernama Jovi itu menerawang ke atas. Selanjutnya, dia banyak berbicara tentang dirinya dan aku hanya diam.
"Ah! Kenapa kamu diam melulu, sih?" Dia tertawa keras sambil menepuk lenganku yang kecil dan ringkih. Aku kaget, lalu mengusap lenganku yang terasa seperti dihantam dengan tenaga ekstra. "Coba aku mau tanya dulu padamu, apakah kamu punya mimpi?" tanyanya dengan kedua mata berbinar-binar.
"Mimpi?" Aku menatapnya.
"Iya, Sayang. Mimpi. Bukan mimpi yang kamu lihat saat tidur itu, bukan. Kalau yang seperti itu mah semua orang juga punya."
"Mimpi?" Aku berpikir sejenak. Tak lama kemudian, tiba-tiba aku menjentikkan jari. "Ah! Maksudnya cita-cita, kan?"
"Benar sekali!" Dia bertepuk tangan heboh. "Seratus untuk anak Ayah!"
Aku meringis. Anak Ayah? Pikirannya random sekali.
Itulah awal pertemuanku dengan Jovi, si arwah yang menjadi penghuni rumah baruku. Memang sebelumnya, rumah itu pernah ditempati oleh keluarga yang anaknya meninggal karena sakit kanker. Sejak kematian anak laki-laki mereka satu-satunya, keluarga itu memutuskan untuk menjual rumah yang menjadi kenangan mereka bersama sang anak dan pindah ke luar kota untuk menjalani hari-hari baru. Namun, ternyata di rumah itu aku malah bertemu dengan anaknya ini.
Aku dan Jovi banyak mengobrol saat senja, di mana biasanya aku akan menatap matahari terbenam di bukit belakang perumahan sambil merenung. Aku bilang pada Eomma bahwa ada teman yang akan menungguku di sana setiap hari. Ya, aku tidak berbohong. Jovi biasanya menunggu di sana. Jovi yang menolak mentah-mentah ketika aku dengan polosnya memanggilnya Ahjussi atau 'Oom'.
"Panggil nama saja, Jovi," katanya.
"Tapi itu bukannya enggak sopan?"
"Enggak sopan apanya? Aku kan bukan manusia lagi," katanya santai.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai tidak ragu untuk menceritakan apapun kepada Jovi. Kupikir karena dia arwah, dia adalah tempat curhat yang tepat. Walaupun ujung-ujungnya, dia yang lebih banyak curhat, melawak, dan tanpa sadar memukul lenganku saat tertawa. Padahal, saat itu aku belum masuk SMP. Sampai akhirnya saat aku berumur 12 tahun, aku menemukan nama semangat cahaya jingga untuk pertama kalinya. Saat itu, aku dikenal sebagai gadis manis dan pendiam yang tidak punya keahlian apa-apa. Saat itu, aku bercita-cita menjadi ahli matematika. Saat itu, kupikir hanya kemampuan matematika –yang juga tidak seberapa ini—yang kupunya.
"Aku suka warna matahari tenggelam—" kataku saat itu, setelah matahari terbenam dan beberapa menit sebelum aturan Eomma bahwa aku-harus-segera-pulang-ke-rumah mulai diberlakukan.
"Kenapa?" tanya Jovi.
"Karena warnanya sama seperti warna cahaya yang tersisa dari kobaran api."
"Tapi, kenapa harus matahari yang tenggelam?" Jovi mengernyit. "Itu kan melambangkan keputusasaan."
"Kalau menurutku, saat matahari itu tenggelam, dia enggak akan tenggelam selamanya, kok," Aku tersenyum ke arahnya. "Nanti dia juga bakal terbit lagi. Sama saja waktu kamu gagal, kamu bakal terpuruk kayak matahari yang tenggelam. Tapi, setelah itu, kamu bisa nyingkirin kegelapan yang ada di hatimu dan bersiap untuk terbit lagi."
Hari mulai malam. Namun, aturan Eomma belum berlaku.
"Jadi, itu yang kamu maksud dengan semangat cahaya jingga?" Jovi tertawa. "Semangat yang muncul dari gadis tanpa suara? Apakah nanti setiap ada gadis pendiam yang diremehkan kayak kamu, aku harus bilang begitu ke mereka? Mantap juga," lanjutnya sambil terus tertawa.
"Boleh," kataku.
"Ngomong-ngomong, kamu tiba-tiba dapat nama itu darimana, sih?" tanya Jovi penasaran. Akhirnya, aku menjelaskannya padanya. Cahaya jingga adalah cahaya yang dihasilkan tak hanya dari matahari terbenam, tetapi juga dari kobaran api yang juga melambangkan semangat itu sendiri. Cahaya yang meruntuhkan definisi gelap, tetapi tidak akan muncul tanpa kegelapan itu sendiri. Tanpa kegelapan, tidak akan ada cahaya pula.
Aku mengetahui rahasia Nenek dan Kim Nam Seong –ayahku saat umurku 12 tahun. Saat itu, ayahku mengetahui bahwa aku 'berbeda' dari anak kebanyakan dan menceritakan soal masa lalunya sebelum kabur ke Indonesia. Ayahku senang menceritakan Sejarah Korea—
--dan juga sejarahnya sendiri.
Lalu, aku menceritakannya pada Jovi.
Namun, beberapa hari setelah aku menceritakan hal itu pada Jovi di bukit belakang perumahan, aku melihat sosok lain di belakang Jovi, yang bahkan Jovi pun tidak bisa melihatnya.
Sosok itu bertanduk, wajahnya mengerikan seperti aura gelapnya. Sementara itu, di sampingnya ada seorang arwah biasa seperti Jovi. Jovi melihatku yang membelalakkan mata dengan panik, kemudian cepat-cepat menoleh ke belakang.
"Ares?" Setelah itu, dia menoleh ke arahku lagi. "Nara, jangan takut. Dia Ares, temanku—"
Namun, setelah dia mengatakan hal itu, pandanganku sudah menggelap. Bahkan, aku sudah melupakan segalanya. Segalanya, bahkan awal pertemuanku dengan Jovi sendiri.
Arwah itu merusak segalanya.
--**--**--
[A/N]
*Ahjussi : Paman dalam bahasa Korea
Ini kira-kira si Kim Nara waktu umurnya masih tujuh tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Orange Spirit 3 : Dead Leaves ✔
Novela JuvenilBerawal dari sebuah kegagalan pertamanya, Nara Kim memutuskan untuk pergi keluar kota demi mencapai mimpinya ; menuntut ilmu di universitas impiannya. Tak disangka, Nara Kim harus terjebak dalam suatu lingkaran yang akan menuntunnya ke dalam sebuah...