Malam itu, aku kembali merasakan aura-aura aneh. Rasanya seperti di sekelilingku adalah definisi dari gelap. Atau, aku sendiri adalah definisi gelap. Seorang Kim Nara memang tidak pernah merasakan kegagalan, tetapi dia memiliki ambisi yang terlalu besar untuk mencapai sesuatu. Ambisi yang lama-lama justru terbakar menjadi sebuah obsesi. Beberapa orang yang tidak tahu selalu mengatakan bahwa sebaiknya kau memiliki ambisi dalam hidup. Namun, seperti yang kubilang, orang-orang tersebut sebenarnya tidak mengetahui apa-apa. Mereka tidak mengetahui ketakutan dalam diri orang-orang yang terlalu ambisius dan obsesif sepertiku.
Mereka tidak tahu, sebuah ambisi bisa membuat seseorang menjadi seorang psikopat untuk diri mereka sendiri.
Dinding kamarku yang putih namun gelap –aku memang biasa mematikan lampu kamar ketika hendak tidur, namun saat ini aku tidak bisa tidur karena energi negatif yang begitu kuat di sekitarku—memunculkan sebuah bayangan. Mataku membelalak, tak percaya pada apa yang kulihat.
Bayangan itu—
Bayangan anak bertanduk?
Tubuhku terasa kaku. Malam ini benar-benar menyajikan eerie vibes. Aku ingin berteriak, namun tenggorokanku terasa tercekik. Tidak biasanya energi sekuat ini ada di dalam rumahku. Seharusnya, energi semacam ini ada di dalam rumah Nenek dan toko kelontongnya. Saat itu, hubungan keluarga kami sudah baik dan Nenek sudah menepati janjinya pada Ayah untuk tidak terlibat dalam okultisme. Namun, aku bisa merasakan kebohongannya. Aku bisa merasakan pula perasaan dendam dari arwah anak bertanduk itu. Serta energi besar yang muncul dari toko kelontong itu. Aku bisa merasakannya. Ini anugrah, tapi juga kutukan dari si arwah yang merasa diremehkan.
"Kenapa enggak tidur?"
Si arwah anak bertanduk datang, duduk di pinggir kasurku dan perlahan mengelus kepalaku. Aku masih terpaku di atas kasur, dengan selimut yang membungkus tubuhku. Anak itu terlihat jauh lebih baik daripada yang kulihat saat aku memergokinya bersama Ares secara tidak sengaja, pada saat itu –walau kamarku gelap, aku bisa melihatnya dengan jelas. Tetapi, tetap saja aku merinding. Dia adalah musuh kami, musuh yang membuat Eris meninggalkan Ana untuk selama-lamanya. Namun, aku tak menyangka bahwa aku akan hanyut dalam elusannya.
Nara bodoh, aku merutuki diriku sendiri.
Nara.
Seseorang memanggilku.
Nara!
Jangan, Nara! Dia meniruku!
"Siapa itu?" Arwah anak itu berhenti mengelus kepalaku sejenak. Lalu, matanya menatap ke sekeliling kamarku. Sama sepertiku, dia mencari-cari darimana suara itu berasal. Tak lama kemudian, dia terkekeh dan mengelus kepalaku lagi. "Nara Alicia Kim," Dia menyebut namaku dengan senyum yang menampilkan kedua lesung pipinya. Tapi –tidak, dia sama sekali bukan Eris. Dia tidak mengambil wujud Eris juga. Arwah anak itu tampan –sangat tampan, tetapi auranya gelap. "Eris biasa melakukan ini pada Nilam setiap malam. Jadi, biarkan aku juga melakukannya padamu. Biarkan saja dia bilang kalau aku ini menirunya."
Tubuhku terasa kaku, tetapi sepertinya tidak untuk mulutku. Hanya saja, kata-kata yang ingin kuucapkan tersangkut di tenggorokan. Sial, batinku. Arwah anak bertanduk ini adalah musuh, musuh yang mengambil kehidupan orang macam Eris. Aku harus ngomong sesuatu. Tapi –ini kenapa? Suaraku enggak mau keluar, batinku lagi sembari terus menatap arwah anak itu.
"Kenapa ngeliatin terus?" tanyanya. "Tidur saja, sambil dengarkan aku."
Bagaimana bisa tidur sambil mendengarkanmu? batinku.
"Perkenalkan, aku definisi dari gelap," katanya sambil terus mengelus kepalaku. "Biasanya, mungkin aku akan muncul dengan wujud paling mengerikan yang enggak pernah manusia bayangkan sebelumnya. Bahkan, wujud yang kamu lihat saat kita pertama kali bertemu pun adalah wujud yang terlalu biasa untuk manusia lihat. Tetapi, aku mengambil wujud ini karena enggak mau menyakiti bunga tidurmu. Nara, dengarkan aku. Aku bisa menjelma menjadi ambisimu. Jika kamu terlalu sering memanggilku, aku –ambisimu akan gugur layaknya daun yang berjatuhan. Lalu, aku akan semakin gelap dan membawamu berada dalam kegelapan. Itu adalah pilihanmu untuk meninggalkanku atau pergi bersamaku ke kegelapan –seperti anak itu."
Aku tidak mengerti kata-katanya. Namun, tiba-tiba aku menggumamkan sebuah nama.
"Eris—"
--**--**--
KAMU SEDANG MEMBACA
Orange Spirit 3 : Dead Leaves ✔
Fiksi RemajaBerawal dari sebuah kegagalan pertamanya, Nara Kim memutuskan untuk pergi keluar kota demi mencapai mimpinya ; menuntut ilmu di universitas impiannya. Tak disangka, Nara Kim harus terjebak dalam suatu lingkaran yang akan menuntunnya ke dalam sebuah...