Warning : a little bit 'suicidal' content.
--**--**--
--
Help me
S.O.S
--**--**--
Malam itu adalah malam paling mencekam.
Aku terduduk di atas lantai kamar yang dingin, sembari menyandarkan punggungku pada kasur. Nilai UTBK keduaku yang baru saja kulihat terbayang-bayang di kepalaku, nilai yang tidak jauh berbeda dari nilai UTBK pertama. Bahkan—ya.
Nilai itu lebih kecil dari nilai yang pertama.
Dilanda kebingungan karena bayangan mimpiku yang menghilang, aku merasa hampa. Bayangan diriku yang memakai almamater abu-abu –almamater kebanggaan Universitas Tribhuwana Tunggadewi pun hangus. Mimpi-mimpi yang jatuh bagai daun-daun yang berguguran, dan semangat cahaya jingga yang menghilang, berganti menjadi kabut hitam yang membuatku tidak bisa melihat hidupku lagi.
Sebenarnya, aku pernah gagal. Gagal saat SNMPTN. Namun, perlahan-lahan aku tidak menganggapnya lagi sebagai kegagalan. Lalu setelah mendapat hasil UTBK kedua sialan ini—
Duniaku seakan runtuh.
"Kaupikir kaubisa masuk ke universitas itu dengan nilai yang segitu?"
Orang tuaku yang awalnya memberikan support mereka, kini berubah menjadi seakan-akan meremehkanku. Lalu, mendesakku untuk berjualan di toko kelontong Nenek saja. Masuk UTT saja tidak bisa, apalagi kalau kau kami bawa untuk kuliah ke Korea? Jangan harap, begitu kata mereka dengan bahasa korea. Aura rumah semakin menggelap, aku menangis setiap malam, aku kehilangan Jovi, aku kehilangan segalanya. Aku ingin lari, lalu menghilang dari dunia. Tidak, aku bukan Jovi. Aku bukan Jovi yang berulang kali gagal namun masih menyimpan kekuatan cahaya jingganya.
Siang itu, suasana makan bersama di rumah menjadi berbeda. Biasanya, aku, Eomma, dan Appa akan berbincang-bincang –mungkin kalian belum mengetahui hal itu, tetapi keluarga kami awalnya benar-benar seharmonis dan sebahagia itu sebelum kegagalanku ini datang menghancurkan semuanya. Situasi ini benar-benar membuat dadaku sesak. Setiap malam, elusan arwah anak bertanduk itu semakin dingin, dan tulang-tulangku juga semakin terasa dingin jadinya.
"Duduklah," Tidak biasanya arwah anak itu mengatakan hal seperti itu.
"Tidak," kataku lirih. "Badanku tidak kuat untuk duduk."
"Kamu mau kubisikkan sesuatu yang bisa membuatmu membunuh dirimu sendiri juga, tidak? Seperti Eris?"
Pertanyaannya membuatku terkesiap. Tangannya semakin terasa dingin di keningku. "Kenapa kamu menawarkan hal itu?" tanyaku. "Tugasmu kan memang begitu. Aku sadar. Selain membawa orang-orang putus asa sepertiku dan Eris pergi ke kegelapan, kamu juga membisikkan sesuatu agar orang-orang membunuh diri mereka sendiri. Seperti membisikkan sesuatu kalau mereka adalah orang-orang yang tidak berguna, orang-orang yang tidak pantas hidup. Mereka menjadi monster yang ada di kepala orang-orang, monster yang menjadi mimpi buruk Eris juga," Aku menatap sinis arwah itu.
"Eris meninggal karena keinginannya sendiri."
"Yah, apa kamu mengerti maksudku, Nara? Sebagai arwah 'jahat', sudah menjadi tugas kami untuk membawa manusia ke dalam kegelapan. Sebenarnya kami enggak memaksa, tetapi justru malah mereka yang menginginkannya. Kalau mereka menolak kami sih ya enggak masalah juga. Pilihan tetap ada pada mereka, tugas kami hanya mengantarkan mereka ke dalam kegelapan kalau mereka menginginkannya. Eris punya mental yang tetap lemah walaupun dia berkali-kali menghibur dirinya sendiri dengan tulisan-tulisannya. Sebelum aku 'membunuhnya', dia sudah ingin dibunuh. Jadi, ya sudah."
Lalu, wajah Ana dan Eris terbayang di benakku.
"Eris!"
"Kenapa kamu enggak pernah bilang kalau selama ini ada yang mengganggumu?"
"Karena itu bukan sesuatu yang pantas diceritakan, Ana. Saat itu kamu masih kecil."
Lalu, Jovi.
"Nara Alicia Kim, kamu diikuti suatu roh yang pernah membuat Eris depresi. So, be careful. Aku bakal jadi roh yang jagain kamu. Tapi, aku juga mau minta tolong."
"Minta tolong apa?"
"Tolong temukan roh yang membuat Eris depresi,"
"Aku sekarang sudah siap untuk diantar ke kegelapan," kataku sambil tersenyum pahit. "Aku sudah menemukan roh yang membuat Eris depresi, hanya itu keberhasilanku. Oh iya, selain itu aku juga sudah menemukan kegagalan. Jadi, sudah ada beberapa hal yang kutemukan sebelum aku pergi bersamamu."
Hening menguasai ruangan.
Kenapa?
Kenapa arwah itu seperti tidak mau membawaku ke kegelapan?
Ada apa sebenarnya?
"Hei," Aku memanggilnya yang sedari tadi berhenti mengelus kepalaku dan menatapku dengan tatapan kebingungan. "Kenapa enggak bereaksi? Kenapa kamu enggak senang? Bukannya seharusnya kamu senang karena energimu akan bertambah?" tanyaku. Perlahan, air mata mulai menetes membasahi pipiku. Sudahlah, wahai arwah sialan. Cepat bawa aku pergi dari neraka dunia ini. Aku sudah tidak kuat untuk melihat mimpi-mimpiku yang jatuh layaknya daun-daun yang berguguran.
"Kim Nara," Dia menyebut namaku. "Ada satu hal yang belum kamu temukan. Hal itu sangat penting."
"Memangnya apa yang belum kutemukan?" Seperti mendapat kekuatan, aku menepis tangan arwah itu dari keningku dan beranjak dari kasur. Aku mengambil benda tajam yang sudah kusiapkan di atas meja belajar. Tak kusangka, arwah itu malah berusaha untuk merebut benda tajam itu dari tanganku. "Ada apa, sih, denganmu?" Tanpa sadar aku menyentaknya sembari terisak. "Bukannya ini yang kamu inginkan? Kamu menghilangkan Jovi di saat mimpiku jatuh. Bukankah begitu?"
"HEI—" Arwah itu membelalakkan matanya begitu melihat wajahku yang pucat seperti kehilangan darah.
"Selamat tinggal!"
"KIM NARA!"
--**--**--
[A/N]
Maraton gais kayak RAT.
KAMU SEDANG MEMBACA
Orange Spirit 3 : Dead Leaves ✔
Teen FictionBerawal dari sebuah kegagalan pertamanya, Nara Kim memutuskan untuk pergi keluar kota demi mencapai mimpinya ; menuntut ilmu di universitas impiannya. Tak disangka, Nara Kim harus terjebak dalam suatu lingkaran yang akan menuntunnya ke dalam sebuah...