Chapter 13b | 119

28 4 0
                                    

Siang itu, Nilam, Ana, Iyan, Roy, Giga, Yuna, Ghani, dan Nadia berkumpul di Black D Café. Ini adalah pertama kalinya Ana berkumpul dengan teman-teman Iyan –dimana mereka semua juga adalah teman masa SMA Nilam. Wajah mereka tampak menggelap, seakan merasa kehilangan seseorang yang sangat mereka sayangi. Orang yang sangat optimis untuk mewujudkan mimpinya, orang yang memegang semangat cahaya jingganya di bawah matahari yang akan terbenam.

Tidak ada yang akan bisa menolong gadis itu selain gadis itu sendiri—

gadis yang malang,

Sekarang layaknya pengorbanan yang tak ada nilainya lagi, gadis itu berakhir seperti sesuatu yang dikorbankannya. Berakhir, ditandai oleh daun-daun yang jatuh berguguran layaknya musim gugur. Mengukir sebuah kisah seorang gadis dengan kupu-kupu, yang diukir dengan ranting yang dipandu oleh angin.

Terkadang, aku berkaca di depan sebuah cermin yang memantulkan sebuah bayangan.

Bayangan yang tak pernah punya harapan, bayangan yang selalu jatuh tanpa pernah naik. Definisi dari sebuah kegagalan, kegagalan untuk diriku sendiri. Hanya bisa meraung dalam hati, tak punya ketenangan dalam malam yang seharusnya menjadi definisi kedamaian.

Lalu aku berpikir,

Apakah aku tidak punya suatu kebaikan kecil yang akan menolong diriku sendiri?

Layaknya teori efek kupu-kupu yang terbang di sebuah hutan, memberikan dampak besar.

Mungkinkah teori alam semesta itu ada?

Ataukah kupu-kupuku sudah jatuh, lalu hancur terinjak-injak? Ataukah dia ingin terbang, tetapi gagal?

Aku tidak tahu.

Namun saat aku pergi ke hutan untuk lari dari dunia realita yang berkali-kali menusuk, aku menemukan kupu-kupuku, kupu-kupu takdir.

Dia sudah hancur.

"Dia gagal terbang," kata seseorang yang menjaga hutan.

"Kalau begitu, bukankah kebaikanku tidak akan terbaca? Atau aku—"

"Sama sekali tidak pernah berbuat baik?" Penjaga hutan itu memotong ucapanku. "Benar. Kau tidak pernah berbuat baik. Takdir hanya menghitung dosa-dosamu. Kau tidak pernah diizinkan meraih apa yang harus kau capai. Karena kau tidak pernah berbuat baik—"

Aku pun memukul Sang Penjaga dengan ranting kayu.

Di lehernya terukir sebuah nama,

Reality.

Aku menatapnya dengan tatapan kosong, tanpa kehidupan, menatap kupu-kupuku yang hancur.

Tidak ada kebaikan yang terbalas.

Tidak,

Tidak ada.

Semesta selalu menjawab mimpi dengan jawaban yang sama,

"Realitamu tidak seperti itu."

"Teori efek kupu-kupu tidak berlaku untukmu."

"Manusia sampah."

Aku menghampiri kupu-kupuku, lalu mengulurkan tangan untuk membawanya kemana pun aku bisa membawanya. Menghalau angin menerjang kabur. Membawa kupu-kupuku. Kemana pun. Berlari entah kemana, menerjang batas. Walaupun mimpiku sudah hilang.

Butterfly effect,

Has died.

--**--**--

Suasana penjara terlihat mencekam, namun tidak terlalu terasa mencekamnya bagi seorang laki-laki berjaket merah yang hendak menjenguk salah satu narapidana di sana. Setelah berbicara kepada salah satu sipir yang berjaga di sekitar sel, laki-laki berjaket merah itu akhirnya dipertemukan dengan narapidana yang ingin dijumpainya. Mereka berdua –si laki-laki jaket merah dan narapidana itu duduk berhadapan di depan sebuah meja, dijaga oleh sipir.

"Apa kabar mantan calon kakak ipar?" sapa laki-laki jaket merah itu sembari tersenyum sumringah.

"Bedebah, kamu beda sekali dengan Jena," kata narapidana yang tubuhnya sangat kurus itu. "Jauh lebih menyebalkan. Jeno, saudara kembar Jena adalah sosok yang berjuta-juta kali lebih menyebalkan daripada saudari kembarnya itu. Memang hal yang paling kusukai di dunia ini cuman Nilam saja."

"Ya ampun, kenapa mantan calon kakak ipar ngomongnya begitu?" Jeno –si laki-laki jaket merah itu merengut lucu. "Tito Wijaya, seorang budak cinta Alnilam Orion Atmajaya. Ah, maksudku cinta platonis, bukan romantis. Jadi, untuk sekarang bagaimana perasaanmu ke dia?"

"Sekarang sudah mendingan," kata Tito. "Aku enggak akan berurusan lagi sama dia. Setelah keluar dari penjara, aku akan menjalani hidupku yang baru. Aku akan terlahir kembali, sebagai seseorang yang polos dan belum mengenal sisi gelapku juga orang itu. Alnilam Orion Atmajaya."

"Baguslah," kata Jeno. "Itu lebih baik. Tapi, kalau ternyata suatu hari nanti orang yang bernama Nilam itu muncul lagi di dalam kepalamu, kamu bisa menelpon 119."

"119?" Tito mengernyitkan dahi.

"Nomor telepon darurat di Korea Selatan," Jeno menyengir.

Tito menghela napas. "Oke, mentang-mentang baru pulang dari pertukaran pelajar di Korea, sombong sekali ya. Ngomong-ngomong, sepertinya di Korea sana ada berita menghebohkan, ya—"

"Bukan hanya di Korea saja, tapi di seluruh dunia," kata Jeno. Seketika, tatapannya berubah menjadi serius. "Seorang gadis yang sangat optimis untuk mewujudkan mimpinya, seorang gadis yang memegang semangat cahaya jingganya di bawah matahari yang akan terbenam saat penantian panjangnya untuk bisa debut, dan seorang gadis yang terpaksa melakukan perjanjian dengan arwah anak bertanduk. Perjanjian yang mengorbankan Eris, seorang anak entah-berantah yang katanya dari Indonesia –bukankah ini lucu, mengorbankan seorang anak random dari negara lain untuk kesuksesan dan ketenaran? Perjanjian yang akhirnya dilakukan setelah puluhan tahun yang lalu, arwah itu gagal untuk melakukan perjanjian dengan seorang calon idol yang kabur ke Indonesia, Kim Nam Seong."

"Ares dan Jovi adalah arwah-arwah random yang diberi tugas oleh 'The Witch' –bukan penyihir hitam busuk yang bersekutu dengan arwah anak bertanduk, tetapi dia adalah penyihir putih sekaligus roh tertinggi di antara para arwah, satu-satunya arwah yang berasal dari dunia antah-berantah," lanjut Jeno, seakan-akan dia mengetahui segalanya. "'The Witch' ini adalah pacarku, ngomong-ngomong. Dia memberi tugas pada Ares dan Jovi untuk membantu seorang anak bernama Eris itu agar hal yang dikehendaki oleh si arwah anak bertanduk itu tidak terjadi. Namun, mereka berdua gagal karena Ares berkhianat."

"Kamu cerita apa, sih?" Tito menatap Jeno dengan tatapan datar. "Untuk apa kesini kalau hanya untuk menyebarkan kehaluan? Memangnya juga siapa sih orang di dunia ini yang bisa pacaran sama arwah? 'The Witch-The Witch' apalah itu."

"Terserah kalau enggak mau percaya," kata Jeno. "Yang jelas, semenjak saat itu –sejak kematian Eris, 'Jipren' debut dengan lagunya yang berjudul It's Time for The Sunrise. Matahari terbit, menyimbolkan 'Apollo' sebagai 'Dewa Matahari'. Apollo Entertainment."

"Ini seperti teori konspirasi," Tito menghela napas. "Jadi, langsung saja ke pertanyaanku tadi. Gadis tadi yang kamu maksud itu siapa?"

"Ahn Ri Ya, maknae Jipren," jawab Jeno. "Dan kematiannya akibat bunuh diri membuat Jeremi, temannya temanmu yang bernama Nilam, ikut membunuh dirinya sendiri."

Tito terkesiap.

"Temannya Nilam—" Tubuhnya gemetaran dengan sendirinya. "Meninggal? Temannya Nilamku?"

Jeno mengangguk pelan.

"Enggak, Nilam pasti sedih," Tito termenung sejenak, namun sontak menggeleng-gelengkan kepalanya. "Enggak, enggak boleh. Aku enggak boleh lagi berurusan dengannya. Untuk kali ini dia sudah sedih dan merasa sengsara, aku enggak boleh membuatnya sengsara lagi."

--**--**--

119.

Help.

S.O.S

...

--**--**--

[A/N]

Tito dan Jena adalah tokoh-tokoh di OS 2.

Orange Spirit 3 : Dead Leaves ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang