Chapter 7a | Walkman

22 4 0
                                    

--**--**--

Eris yang selalu berpikir bahwa dirinya keren.

Sok-sok menjadi Rho yang memotivasi banyak orang padahal dirinya hancur, hancur sehancur-hancurnya. Monster itu, monster yang ada di dalam kepalaku. Dia menjeratku, membuatku ingin berteriak meminta pertolongan. Setiap malam, aku menangis. Memikirkan betapa enggak bergunanya aku, berapa banyak orang-orang yang menyukaiku di dunia ini.

Aku enggak tahu, aku enggak punya siapa-siapa lagi selain diriku sendiri.

Tapi, akhirnya aku menemukan sketsa imajinerku. Ada wajahku dan wajah-wajah random dari imajinasiku sendiri. Ini memang terdengar mengerikan, sih. Tapi, sedari dulu aku mengatasi kesepianku dengan melamun, membayangkan diriku berbincang-bincang dengan Ares dan Jovi –nama-nama teman khayalanku.

--**--**--

"Halo, Nara? Kenapa? Kamu rindu—"

"Iyan, jangan dulu," kataku. "Aku mau—"

"Jangan dulu kenapa?" Iyan malah memotong pembicaraanku. "Kamu udah hampir tiga mingguan enggak menghubungiku, Ra. Sekarang—"

"Iyan, I need your help," Aku memberikan ponselku pada Ana. "Let Ana talk to you."

"Okay," kata Iyan.

"Iyan," Ana berbicara dengan Iyan lewat ponselku. "Kamu masih ingat jalan ke rumah Kak Bejo?"

"Oh, masih," jawab Iyan. Aku bisa mendengarkan suaranya karena fitur loudspeaker sudah kuaktifkan. "Tiga tahun udah ke enggak ke sana pun aku masih ingat. Apalagi ini, Na."

Tiga tahun sudah tidak melewati suatu jalan dan kamu masih mengingat jalan itu. Luar biasa, aku tidak menyangka bahwa Iyan memiliki kekuatan mengingat yang luar biasa semacam itu. Pantas di saat-saat seperti ini, Ana meminta bantuan Iyan untuk pergi ke tempat orang yang dipanggil Kak Bejo itu. Eh, tunggu—

Kak Bejo itu siapa?

"Kak Bejo ini guru musikalisasi puisiku saat SMP," jawab Ana setelah menutup teleponnya, lalu mengembalikan ponselku padaku. "Aku, Iyan, dan beberapa anak lainnya itu muridnya. Kami biasa latihan di rumahnya, biasanya sampai sore. Tapi, aku enggak menyangka kalau Eris dan Kak Bejo kenal dekat, bahkan Eris sampai meninggalkan walkman-nya di dalam rumah Kak Bejo. Walkman itulah yang bakal kami cari, karena letaknya sendiri ada pada Kak Bejo."

"Yah, semoga saja Iyan bisa menemukan Walkman itu," kataku. "Bukannya Walkman ini petunjuk terakhir?"

Ya. Petunjuk terakhir dan kami sama sekali belum menemukan pencerahan dari petunjuk-petunjuk tersebut. Namun, yang kurasakan adalah energi arwah itu semakin membesar, dan sepertinya hendak untuk menunjukkan diri. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan kalau dia menunjukkan diri di hadapan Ana, aku, dan Jovi. Jovi memang arwah, tetapi dia sendiri bahkan tidak bisa merasakan dan melihat kehadiran arwah ini sendiri. Arwah itu seperti memiliki proteksi khusus, proteksi yang dibuat dari petinggi di kerajaan neraka.

"Jovi," Aku menatap Jovi, khawatir Jovi akan gagal lagi. Dia sudah berkali-kali gagal, dan sekarang dia harus menemukan arwah itu sebelum si arwah muncul sendiri. Sebab kalau si arwah itu sendiri yang muncul sebelum kami membuka identitasnya, aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada kami. Karena jika kami sudah mengetahui identitasnya, mungkin kami akan segera memanggil The Witch atau penyihir –mantan penyihir jahat. Lalu, Jovi bisa dikatakan telah berhasil menyelesaikan misinya sebelum dimurnikan di dalam neraka.

Benar, Jovi sudah gagal berkali-kali. Sebagai seseorang yang hampir tidak pernah gagal, aku ingin membantu Jovi. Membantu misinya kali ini. Seketika, aku teringat pada awal pertemuanku dengan Jovi.

"Aku harus menyelamatkan nyawa Ares yang berada di ujung tanduk setelah dia melarikan diri dari rumah dan menjarah toko. Tapi karena aku gagal, aku dapat misi lagi untuk menemani Eris sampai dia memiliki teman. Namun aku—"

"Gagal lagi?" tanyaku.

"Ya," jawab Jovi. Aku menatap anak itu dengan saksama. Dia gagal berkali-kali, namun dia tetap terlihat santai. Kalau aku jadi dia, mungkin aku akan frustrasi. "Aku gagal berkali-kali, tapi enggak masalah. Eris enggak mempermasalahkan kegagalanku. Malah dia menyalahkan dirinya sendiri karena sudah berbuat bodoh. Dia enggak mau hal ini terjadi padamu Ana, jadi dia berusaha untuk menghentikanmu waktu kamu mau membunuh dirimu sendiri—"

Ana yang hampir membunuh dirinya sendiri, dua kali. Eris yang pergi meninggalkan novel dan sketsa, Jovi yang berkali-kali gagal namun tetap bersinar layaknya mentari, dan Ares si musikus –ah, maksudku seorang pianis. Filsuf, pianis, dan mentari. Mentari yang tidak akan pernah tenggelam—

"Aku suka warna matahari tenggelam—"

"Kenapa?"

"Karena warnanya sama seperti warna cahaya yang tersisa dari kobaran api."

"Tapi, kenapa harus matahari yang tenggelam? Itu kan melambangkan keputusasaan."

"Kalau menurutku, saat matahari itu tenggelam, dia enggak akan tenggelam selamanya, kok. Nanti dia juga bakal terbit lagi. Sama saja waktu kamu gagal, kamu bakal terpuruk kayak matahari yang tenggelam. Tapi, setelah itu, kamu bisa nyingkirin kegelapan yang ada di hatimu dan bersiap untuk terbit lagi."

Aku mengernyit. Entah mengapa, suara-suara itu terngiang dengan cepat dan kepalaku tiba-tiba merasa pusing. Setelah itu, semuanya menggelap.

"NARA!"

"Jadi, itu yang kamu maksud dengan semangat cahaya jingga?"

--**--**--

Orange Spirit 3 : Dead Leaves ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang