Chapter 15a | Jeremi

21 4 0
                                    

--**--**--

Saat dia datang,

Semua akan terkendali

Asal,

Dia tidak akan menghancurkan semuanya

--

Ya.

Sang Penyihir Putih.

--**--**--

Resiliensi.

Suatu kekuatan untuk bertahan, yang dihasilkan dari dirimu sendiri.

Siang itu, Nilam mengajak kami –aku dan Ana ke Black D Café. Setelah mendengar kabar meninggalnya Jeremi yang sangat mendadak, Nilam dan Ana yang masih berada di Yogyakarta untuk dolan –jalan-jalan sebagai refreshing UTBK pun kembali ke kota asal. Jadi di sinilah kami bertiga duduk bersama di tempat yang pernah kutempati bersama Iyan dan teman-teman SMA-nya waktu itu. Kami bertiga sama-sama menundukkan kepala masing-masing.

"Jeremi orang yang berpikiran dewasa," Nilam mulai membuka keheningan di antara kami bertiga. "Aku menyesal karena enggak ada di sampingnya saat dia meninggal. Menyesal, benar-benar menyesal. Sedari dulu, aku ini teman macam apa? Aku jarang ada untuknya. Padahal, dia selalu ada buatku."

Nilam terisak, dan itu adalah untuk pertama kalinya aku melihatnya menangis. Satu misteri lagi. Satu misteri yang belum terpecahkan. Saat aku hampir membunuh diriku sendiri, si penyihir putih itu menyelamatkanku. Namun, sebagai gantinya, malah Jeremi yang membunuh dirinya sendiri. Apakah Jeremi sebenarnya tahu tentang hal ini dan dia mengorbankan dirinya agar penyihir putih itu menyelamatkanku?

Tidak—

Jeremi tidak mungkin tahu akan hal itu. Lagipula, aku baru berkenalan dengannya dan belum menghubunginya sama sekali. Dia bilang, aku harus menghubunginya saat aku sedang kenapa-napa. Tapi, kenapa dia tidak menghubungiku saat dia sendiri yang 'kenapa-napa'?

Pintu café terbuka. Iyan dan teman-temannya –aku masih hapal namanya, Giga, Ghani, Roy, Yuna, dan Nadia—masuk ke dalam café dan menghampiri kami. Iyan duduk di samping Nilam, kemudian merangkulnya dan memeluknya. Wajah mereka semua tampak sendu.

"Nilam," Iyan menghela napas sembari mengusap-usap punggung Nilam. "Jangan salahkan dirimu sendiri buat kematian Jeremi. Dia meninggal karena suatu hal, Lam."

"Jadi—" Nilam terperangah. "Bukan karena aku, dan bukan karena kematian Ahn Ri Ya?"

"Ceritanya panjang, Lam," kata Iyan. "Kemarin, aku menghadiri pemakamannya. Lalu, Tito yang ada di pemakaman itu juga—"

"Tito?" Mata Nilam mendelik kaget di balik kacamata bulat yang dikenakannya. Iyan mengangguk.

"Seseorang membebaskannya dari penjara, katanya namanya Jeno."

Kali ini, aku yang mendelik. Jeno si pacar penyihir putih itu? Apa hubungan dia dengan seseorang yang bernama Tito itu? Siapa sebenarnya Tito? "Tito dan teman-temannya itu bad boy pentolan SMA kami, Nara," Iyan menjawabku seakan dia bisa menebak apa yang ada di dalam kepalaku. "Nilam pernah khilaf berteman dengan mereka, dan sekarang mereka seharusnya ada di dalam penjara karena mengedarkan narkoba. Tapi, orang yang bernama Jeno itu malah membebaskannya. Dan adiknya bilang, si Jeno ini saudara kembar Jena –mantannya Tito—yang ikut pertukaran pelajar ke Korea dan akan melanjutkan kuliahnya di Korea juga karena keluarga Jeno dan Jena yang sangat kaya raya."

Orange Spirit 3 : Dead Leaves ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang