Chapter 2a | Farewell Party

31 6 0
                                    

--**--**--

Hari itu,

Aku lepas

Aku lepas untuk mengejar mimpi

Jadi, kumohon

Aku sudah mengorbankan segalanya dan aku ingin semua harapan ini terkabul, tak menghilang seperti daun-daun jatuh yang kemudian berterbangan

--**--**--

Jikalau kalian bertanya apa yang kuinginkan, aku akan menjawabnya berkali-kali sampai kalian bosan. Sebuah jawaban yang sangat basic bagi setiap murid kelas tiga SMA sepertiku –ah, maksudku murid yang sebentar lagi akan lulus dan mengecap bangku kuliah. Aku ingin kuliah di Universitas Tribhuwana Tunggadewi. Memakai almamater abu-abu itu. Mencicipi kehidupan kuliahnya, mencicipi kehidupan berorganisasinya. Jadi pagi itu, aku yang diantar eomma pergi ke salon untuk berdandan pun bukannya merasa deg-degan karena acara perpisahan, tetapi karena sorenya aku akan langsung terbang ke Yogyakarta.

"Ah, jadi dia mau sekali, ya, masuk UTT—Universitas Tribhuwana Tunggadewi," kata MUA salon yang kini sedang membubuhkan alas bedak di wajahku. MUA ini orang korea asli yang lama tinggal di Indonesia.

"Benar, aku jadi enggak tau lagi harus bagaimana," balas Eomma dengan bahasa korea. "Di Seoul ada banyak universitas bagus. Dia juga tinggal jaga toko neneknya saja di Daegu kalau memang tidak mau kuliah di Seoul. Hanya saja kalau menurutku sih, dia bisa saja kuliah di tempat lain di pulau Jawa, atau mungkin di kota ini dia juga bisa. Tapi namanya juga anak muda, masih berorientasi sama ketenaran universitas yang akan menjadi tempatnya belajar."

"Aigoo, jadi harus di UTT, hm?" MUA terlihat menahan tawa. "Setidaknya kalau sudah betah di sini, ya kuliah di sini saja. Di Indonesia kuliahnya bukankah lebih santai?"

"Molla," jawab Ibuku itu sembari mengambil majalah yang ada di atas meja, kemudian membacanya. Setelah itu, suasana hening. Aku sendiri tak tahu mengapa aku terlalu terobsesi untuk mengejar sesuatu seperti mengejar UTT atau apapun itu. Yang jelas, aku merasa diremehkan oleh teman-teman sekelasku ketika aku bilang bahwa aku akan mengambil UTT sebagai pilihan pertama di SNMPTN, SBMPTN, bahkan ikut seleksi mandirinya bila aku tidak lulus SBMPTN. Ya, aku seambis itu.

Terkadang aku jadi tidak mengerti dengan diriku sendiri.

Setelah selesai berdandan, aku langsung diantar Eomma—ibuku ke tempat acara berlangsung, tepatnya di dalam ballroom hotel Katai Hitam. Gaun yang kukenakan berwarna abu-abu, senada dengan warna almamater Universitas Tribhuwana Tunggadewi. Ini adalah unsur kebetulan yang membuat semangatku semakin terasah. Semangat yang tersimpan dalam seorang gadis yang terlihat biasa-biasa saja dari luar, semangat—

--aku tidak tahu namanya.

Semangat Cahaya Jingga.

Eh,

Semangat—

--cahaya jingga?

"Ada apa dengan wajahmu? Kamu keliatan syok tiba-tiba," tegur ibuku. Mobil sudah berhenti dan tak terasa kami sudah sampai di tempat parkir hotel.

Aku tersentak. Entah aku hanya berhalusinasi atau apa, namun rasanya seperti ada yang membisikkan sesuatu di telingaku. Aku berharap ini memang hanya halusinasi, namun entah mengapa tadi itu terasa nyata. Terasa seperti memang ada yang membisikkan kata-kata itu dari jok belakang.

Semangat,

cahaya jingga.

Ibuku turun dari mobil, kemudian membukakan pintu untukku. "Hati-hati. Jangan sampai heels-mu menginjak rok," pesan Ibu dengan bahasa Indonesia.

"Arrasseo Eomma," Aku tersenyum sembari turun dari mobil, lalu menutup pintunya sendiri.

Suasana ballroom tampak cukup ramai dengan para murid kelas 12 yang akan menjadi alumni, guru, adik-adik kelas, para orang tua, dan panitia acara serta orang-orang yang terlibat dalam pertunjukan. Aku duduk di samping Kirana, sahabatku yang sudah diterima ITB lewat jalur SNMPTN. Sementara itu, ibuku bergabung bersama para orang tua lainnya.

"Ra, sekarang sudah keluar pengumumannya," kata Kirana. "Ayo buka!"

Aku melongo. "Hah? Serius?"

"Serius," Kirana menatapku lekat-lekat. "Kamu sesi paling pertama banget, kan? Rico saja sudah buka, lho, pengumumannya pagi ini."

Aku benar-benar kaget. Ngomong-ngomong, yang dimaksud Kirana adalah pengumuman UTBK, Ujian Tulis Berbasis Komputer. UTBK ini baru diselenggarakan pertama kalinya untuk angkatanku dan bisa dilakukan dua kali. Ujian ini dibagi menjadi dua sesi, yaitu sesi pagi dan siang dan dilaksanakan pada hari Sabtu dan Minggu. Kami pun bebas untuk memilih hari pelaksanaan UTBK kami sendiri. Misalnya, aku mengambil UTBK pertama pada tanggal 13 April dan UTBK kedua pada tanggal 26 Mei.

Sekarang sudah lewat UTBK pertama dan aku merasa agak canggung saat mengerjakannya waktu itu. Aku sudah benar-benar tidak mengerti lagi. Namun, aku bertekad akan memiliki nilai target sendiri pada UTBK keduaku, dan aku punya waktu jeda satu bulan lebih untuk mempersiapkan UTBK keduaku itu. Maka dari itu, aku terbang ke Jawa. Menuntut ilmu di sana untuk mencapai target nilai yang kuidam-idamkan.

"Nilaimu kalau ditotal 589, Ra," kata Kirana sembari berkutat dengan kalkulator di ponselnya. Tangan sebelah kirinya memegang ponselku yang menampilkan nilai-nilai UTBK-ku. "Bagus—"

"Yang lain banyak yang 700 sampai 800. Bahkan ada yang 900," kata Rico yang tiba-tiba berada di belakang kami.

Aku spontan menoleh.

"JINJJA?" ucapku spontan. Kirana yang kaget pun memukul pundakku sembari tertawa kecil.

"Kekagetanmu itu bikin kaget tahu!" serunya.

"Ya sudah enggak apa-apa," kata Rico. Aku tahu, dia mencoba untuk menghiburku. "Aku juga lima ratusan kok. Sama saja. Masih ada UTBK kedua, semangat!"

Setelah itu, Rico pergi meninggalkan aku dan Kirana yang kemudian ternganga. Aku pun menghela napas.

"Rico benar, Nara. Masih ada UTBK kedua, kok," kata Kirana, aku tahu dia berusaha untuk menyemangatiku.

Ya, mereka semua benar.

Masih ada UTBK kedua. Toh nanti juga aku akan belajar di Jogja, bukan?

Setitik kecil kesombongan akan menjatuhkanmu, Nona.

Mataku membulat—

--suara aneh ini lagi, apakah aku sudah gila?

--**--**--

Orange Spirit 3 : Dead Leaves ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang