Chapter 7b | Walkman

26 4 0
                                    

Iyan sudah pergi ke rumah Kak Bejo dan mendapatkan Walkman yang dimaksud. Jadi, saat ini aku, Ana, Jovi, dan Nilam duduk di atas sofa ruang tamu dengan sepiring cireng dari Ibu Kos sembari menunggu paket datang. Tak terasa, waktu bimbelku sebentar lagi akan habis. Jadi, aku sekalian menghabiskan materi bersama Ana. Sementara itu, Nilam berkutat dengan buku materi untuk kelas STAN-nya.

"Menurut kalian," Jovi mulai membuka pembicaraan. "Kenapa manusia gampang banget sedih ketika ditimpa kegagalan?"

Benar-benar random pertanyaannya.

"Of course karena kegagalan memang hal yang menyedihkan," jawab Nilam. "Siapa sih manusia yang enggak sedih kalau ditimpa kegagalan? Asal sedihnya jangan berlarut-larut, begitu. We have to moving on quickly, mantap."

"Sip mantap mantap," Jovi mengacungkan jempol. "Eh teman, kalian harus tahu. Kalau aku gagal dalam misi kali ini, menurut kalian aku langsung dijebloskan ke neraka atau dapat misi baru lagi?"

"Kamu enggak akan gagal, Jovi," kataku.

"Maksudku bukan begitu," Jovi mulai gemas. "Karena sampai sekarang pun kita belum bisa memecahkan petunjuk-petunjuk dari The Witch. Bahkan sampai petunjuk terakhir. Kamu pun sampai sekarang belum mengingat aku, Nara. Jadi, bagaimana kita bisa berhasil? Aku benar-benar pesimis, lho."

Seorang Jovi pesimis? Lucu sekali.

"I will remember you by a process. Be patient, Babe," kataku pada Jovi. Kalau boleh jujur, sebenarnya aku merasa bersalah. Sampai kilas balik terakhir yang membuatku pingsan di ruang tamu kemarin. Tentang matahari yang terbenam, dan semangat cahaya jingga. Warna jingga yang menjadi nama sebuah semangat, mengapa harus jingga? Kenapa bukan merah ataupun kuning? Karena, jingga adalah warna sisa dari kobaran api. Warna yang disisakan dari tenggelamnya matahari sebelum dia bangkit kembali setelah mempertimbangkan kembali dalam kegelapan.

"Paket!" seru seseorang dari luar. Aku, Jovi, Nilam, dan Ana kompak berdiri. Akhirnya, Ana yang membuka pintunya dan mendapatkan paketnya.

Setelah itu, Ana membuka paket yang berisi Walkman tersebut. Sembari menarik napas panjang dan dengan tangan yang gemetaran, dia memencet salah satu tombol yang ada di Walkman tersebut.

"Selamat siang, siapapun yang mendengarkan rekaman ini. Mungkin ketika kalian mendengarkan hal-hal bodoh ini, aku sudah tidak ada di dunia. Kalian merindukanku? Ah, aku hanya asal bicara. Aku Eris, umurku hm, sekitar tujuh belas tahun saat aku merekam ini. Apakah kalian tahu 'Rho' yang penulis terkenal itu? Jujur saja, itu adalah aku. Ketenaran itu –walaupun bukan dengan nama asliku sendiri, aku merasakannya."

"Hanya saja, aku merasa seperti menjadi dua orang yang berbeda. Seorang pengecut bernama Eris dan manusia hebat bernama Rho. Di balik Rho yang keren, dia menyembunyikan si pengecut Eris di belakang punggungnya. Eris yang selalu kesepian, Eris yang mengharapkan teman tapi terlalu pengecut untuk membuat sebuah ikatan pertemanan..."

"Eris yang selalu berpikir bahwa dirinya keren. Sok-sok menjadi Rho yang memotivasi banyak orang padahal dirinya hancur, hancur sehancur-hancurnya. Monster itu, monster yang ada di dalam kepalaku. Dia menjeratku, membuatku ingin berteriak meminta pertolongan. Setiap malam, aku menangis. Memikirkan betapa enggak bergunanya aku, berapa banyak orang-orang yang menyukaiku di dunia ini. Aku enggak tahu, aku enggak punya siapa-siapa lagi selain diriku sendiri. Tapi, akhirnya aku menemukan sketsa imajinerku. Ada wajahku dan wajah-wajah random dari imajinasiku sendiri. Ini memang terdengar mengerikan, sih. Tapi, sedari dulu aku mengatasi kesepianku dengan melamun, membayangkan diriku berbincang-bincang dengan Ares dan Jovi –nama-nama teman khayalanku."

"Maaf Ana, aku egois. Aku seorang kakak yang egois. Tapi kelak kamu akan mengerti, enggak semua orang bisa bertahan dengan hidup mereka. Aku sakit, Ana. Ini bukan sakit fisik semacam sakit perut atau sakit kanker yang susah untuk sembuhnya, tapi aku benar-benar ngerasa sakit. Entah itu karena kesepian, aku enggak tahu jelas. Aku enggak pandai bersosialisasi seperti teman-temanku yang lain, aku seperti anak ansos. Fobia sosialku ini benar-benar menyiksa. Aku punya ketakutan untuk berhadapan dengan orang-orang. Aku cuman bisa bilang satu hal, aku menyayangimu, Ana."

"Aku benci melihat tatapan-tatapan orang padaku, dan mulai membenci diriku sendiri. Aku hipokrit, benar-benar hipokrit. Aku mulai berpikir ulang tentang kesuksesan, dan ternyata kesuksesan bagi mereka adalah masuk ke universitas yang bagus, lalu mendapatkan pekerjaan yang bagus. Bahkan ada temanku yang meremehkan pilihan universitas yang akan diambil oleh orang lain, atau meremehkan kemampuan orang itu sendiri. Aku termasuk yang diremehkan, karena akademikku yang pas-pasan. Bahkan orang tuaku sendiri meremehkanku untuk sekadar masuk universitas A atau universitas B. Aku mulai berkata pada diriku sendiri, cecunguk kayak aku yang bodoh dan penakut ini enggak bakal bisa kuliah. Aku mulai terombang-ambing, kehilangan minat untuk melakukan sesuatu, dan monster yang kumiliki di dalam kepalaku berulah lagi. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan."

"Jadi, itulah pikiran yang menggangguku. Masalah pertemanan, dan masalah-masalah internalku yang lainnya. Aku mohon, jangan sepertiku. Karena aku merasa enggak berguna dan merasa belum sukses sebagai seorang Eris. Yang menganggap kesuksesan adalah segala-galanya, yang selalu merasa kehilangan jalan, terombang-ambing, ragu dengan apa yang kurasakan, dan memikirkan tentang kesuksesan menurut definisi orang-orang."

"Sekian dariku. Sebentar lagi aku akan beristirahat, mungkin beberapa jam lagi dari sekarang. Sayonara~"

"Energiku habis," kata Jovi. Dia perlahan menghilang, lalu berganti dengan seorang anak laki-laki bertubuh tinggi –tingginya sekitar 177 cm, Ana sebahunya. Entah kenapa, walaupun Ana bahagia, namun aku tidak bisa menghentikan air mata kesedihanku sendiri.

Jovi mengorbankan dirinya sendiri untuk arwah yang satu ini.

--**--**--

Orange Spirit 3 : Dead Leaves ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang