--**--**--
"Aku suka warna matahari tenggelam—"
"Kenapa?"
"Karena warnanya sama seperti warna cahaya yang tersisa dari kobaran api."
"Tapi, kenapa harus matahari yang tenggelam? Itu kan melambangkan keputusasaan."
"Kalau menurutku, saat matahari itu tenggelam, dia enggak akan tenggelam selamanya, kok. Nanti dia juga bakal terbit lagi. Sama saja waktu kamu gagal, kamu bakal terpuruk kayak matahari yang tenggelam. Tapi, setelah itu, kamu bisa nyingkirin kegelapan yang ada di hatimu dan bersiap untuk terbit lagi."
--**--**--
I still wonder mengapa Jovi melakukan hal itu.
Mulutku agak terbuka, terpesona dengan ketampanan Eris. Aku serius, dia tampan sekali. Bahkan orang-orang di Daegu tidak ada yang setampan dia, even Kim Taehyung –dia artis dari Daegu juga. Aku tidak mengerti, mengapa orang sesempurna ini harus mengakhiri hidupnya sendiri. Dia pintar, dan katanya dia penulis berbakat. Tapi, depression can comes to anybody. Ah, maksudku arwah keparat itu bisa mengganggu siapa saja tanpa terkecuali.
"Eris!" Wajah Ana terlihat memerah, dia menahan tangisnya. "Kenapa kamu enggak pernah bilang kalau selama ini ada yang mengganggumu?"
"Karena itu bukan sesuatu yang pantas diceritakan, Ana," jawab Eris lembut. "Saat itu kamu masih kecil."
Ana terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa. Namun, aku menghampiri si arwah Eris itu, tiba-tiba menatapnya dengan dingin karena teringat akan Jovi-ku. Jovi mengorbankan energinya untuk arwah ini, dan Jovi pasti dibilang gagal lagi. "Jadi, kamu yang namanya Eris?" tanyaku sembari melipat tangan di depan dada. "Jovi kemana setelah ini? Aku masih ada urusan dengan dia."
Ana menegurku. "Nara!"
"Jovi pergi sebentar, dia enggak gagal," jawab Eris, layaknya dia bisa membaca pikiranku. "Dia pergi untuk mengambil reward-nya sebelum masuk ke neraka. Dia berhasil menemukan arwah itu, tapi dia butuh bantuanku sendiri karena selain mengambil reward, dia juga ada urusan di sana."
He?
Seketika, aku teringat akan kata-kata Jovi barusan.
"Eh teman, kalian harus tahu. Kalau aku gagal dalam misi kali ini, menurut kalian aku langsung dijebloskan ke neraka atau dapat misi baru lagi?"
Aku tertawa kecil dalam hati. Sialan, ternyata dia memang pintar mengerjai orang.
"Nara," Eris menatapku serius. "Jovi butuh bantuanmu. Karena, petunjuk yang sebenarnya adalah ingatanmu sendiri, bukan petunjuk-petunjuk dari penyihir hitam. Aku ingin bertanya padamu, Ana, dan Nilam, apa kalian benar-benar mempercayai penyihir hitam itu?"
"I really trust her, am I silly, then?"
"Kim Nara," Eris menyebut nama asliku. "Penyihir itu berkata benar. Tapi, selama petunjuk itu keluar, diam-diam dia mengunci ingatanmu. Dia dan arwah anak bertanduk itu bersekutu, membuat sebuah drama. Nara, apa akhir-akhir ini kamu merasa ingatanmu agak-agak sedikit kembali?"
"Ya," jawabku.
"Pengkhianat," Eris mengepalkan kedua tangannya. "Ada seorang pengkhianat di antara kita selain penyihir pembohong itu. Saat kalian tidur pada malam hari, Jovi berusaha sendiri untuk menemukannya di antara aku dan Ares. Jovi tahu bahwa salah satu pengkhianat itu ada di antara kami berdua, lewat kartu Kejahatan yang Berbaur dengan Kebaikan. Dia jadi tidak bisa mempercayai orang, dan tidak mau melibatkan kalian dalam bahaya. Jadi, dia pergi sendiri menyelidiki kami berdua."
"Jovi membolak-balikkan novelku, terus sampai beratus-ratus kali," lanjut Eris. "Kartu kedua, Seorang Anak Laki-Laki dan anak laki-laki itu adalah Nilam. Jovi mencurigaiku karena Nilam adalah adikku –orang yang kuanggap seperti adikku sendiri selain Ana. Tapi, ketika suara Turkish March terdengar dari sebuah ruangan gelap, Jovi mengikutinya dan dia menemukan Ares yang sedang bermain musik—piano dengan bantuan arwah anak bertanduk itu."
Aku kaget, namun Ana dan Nilam justru lebih kaget lagi.
"Setelah itu terjadi keributan di antara para arwah," kata Eris. "Bahkan, Jovi sampai melempar piano cokelat kesayangan Ares ke kepala Ares sendiri. Kami benar-benar tidak menyangka, Ares akan menjadi seorang pianis di neraka, dan seorang pianis di neraka itu artinya Ares akan menjadi pasukan setan di bawah pimpinan arwah anak bertanduk itu, di dalam kerajaan yang mereka sebut—"
"Apollo—"
"Apollo? Bukannya dia itu Dewa Matahari dalam mitologi Romawi?" tanya Ana. "Yang namanya juga menjadi nama proyek NASA?"
"Ya," jawab Eris. "Tapi, yang harus kalian ketahui, dia juga adalah Dewa Cahaya dan Dewa Musik. Ares percaya bahwa dia yang merupakan definisi dari gelap itu bisa mendapatkan cahayanya dari musik. Namun, musik yang ada di kerajaan Apollo adalah musik yang bisa membawa manusia pada pahitnya hidup, sehingga mereka akan merasa bahwa hidup mereka tidak berguna dan hanya musik itulah sumber cahaya mereka. Lalu, manusia tidak akan bisa bertahan hidup tanpa musik itu. Ketika musik itu hilang, manusia akan cenderung ingin mengakhiri hidup mereka sendiri."
"Ayahku awalnya akan masuk ke agensi Apollo Entertainment."
"Serius, Kim Nara? Itu kan—"
"Iya, agensi itu memang mengerikan banget, Jovi. Musik mereka dipenuhi dengan mantra dan sihir, dan keluarga nenekku mau menjual Ayah ke agensi itu demi sosok yang mereka sebut 'matahari'."
"Kalau aku jadi ayahmu, aku mana mau, sih?"
"Makanya itu, ayahku kabur ke Indonesia untuk menghindari arwah yang menempelinya. Sebelumnya dia diculik oleh agensi itu, tapi Ayah berhasil kabur walaupun arwah itu terus menempelinya."
Tunggu—
Arwah yang menempeli Ayah?
"Tapi, sekarang kami dan Nenek sudah berhubungan baik lagi. Namun, arwah yang seharusnya menempeli Ayah sekarang tidak tau lagi ada di mana—"
Aku tersadar dengan kata-kataku sendiri.
Namun, arwah yang seharusnya menempeli Ayah sekarang tidak tau lagi ada di mana—
Aku membulatkan mata.
"Jangan-jangan—"
--**--**--
KAMU SEDANG MEMBACA
Orange Spirit 3 : Dead Leaves ✔
Novela JuvenilBerawal dari sebuah kegagalan pertamanya, Nara Kim memutuskan untuk pergi keluar kota demi mencapai mimpinya ; menuntut ilmu di universitas impiannya. Tak disangka, Nara Kim harus terjebak dalam suatu lingkaran yang akan menuntunnya ke dalam sebuah...