Chapter 16b | Forgotten Memories (final)

24 4 0
                                    

Pasar Malam, Juni 2019.

Malam itu, Jeno dan Jena mengajakku, Tito, Nilam, Iyan, dan Ana untuk pergi ke pasar malam. Giga, Ghani, Roy, Yuna, dan Nadia menolak dengan berbagai macam alasan –tapi alasan itu logis. Kami naik dua mobil mewah Jeno, satu mobil dikemudikan oleh Jeno dan satunya lagi dikemudikan oleh supir. Aku, Nilam, Tito, dan Jena naik mobil sport Jeno, sementara itu Iyan dan Ana naik mobil mewah yang dikemudikan oleh supir.

"No, Jeno," Nilam memanggil Jeno. "Kamu serius saudaranya Jena? Kembar?"

"Berisik kamu, bedebah," kata Jena kasar, dan Nilam kaget dengan kasarnya Jena padanya.

Jeno terkekeh sambil fokus menyetir. "Kamu jangan kasar pada mantanmu, Jena—"

"Nilam mantan gebetan, bukan mantan pacar," Jena membuang muka ke arah jendela mobil. Gadis itu duduk di samping jok pengemudi. Diam-diam, aku terkekeh geli. Nilam yang duduk di sampingku pun melotot ke arahku, dan aku pura-pura bersenandung untuk mencairkan hati Nilam yang malah tambah memanas.

"Kamu ingat saat kamu luka-luka dan pingsan karena menghajar Giga?" tanya Jeno pada Nilam. "Waktu itu, Jena dan Tito kelihatan panik. Jena langsung menghubungiku dan aku langsung ke tempatmu dengan kecepatan seperti ini—" Dia menginjak gasnya lebih kuat dan mobil pun melaju lebih kencang. Spontan, aku berteriak sambil memeluk Nilam.

"Kamu ngapain, sih?" Tito terlihat tidak suka begitu melihatku refleks memeluk Nilam. Namun ketika pandangannya bertemu dengan Nilam, dia hanya membuang muka. Sebenarnya, di antara mereka ada apa, sih? Apakah mereka benar-benar hanya mantan teman?

Mobil Jeno pun melaju lebih lambat. Aku pun melepaskan pelukanku dari Nilam sambil mengatur detak jantungku. Saat aku pertama kali bertemu dengan Jeno, itu karena dia hampir menabrakku dengan kecepatan seperti ini. Lagipula, aku juga yang salah karena ingin menabrakkan tubuhku ke mobilnya karena putus asa dengan UTBK keduaku itu. Saat itu, Jeno menyetir sendirian. Dia malah meminta maaf padaku padahal aku juga yang salah.

Sejak kami sama-sama mengalami mimpi aneh tentang arwah dan penyihir, kami pun menjadi dekat. "Setelah itu," Jeno melanjutkan ceritanya. "Aku datang dan membopongmu ke mobilku. Sementara itu, Jena yang membawa motormu ke indekosnya. Setelah itu, aku langsung pergi begitu kamu aman di indekos Jena. Aku bilang ke Jena agar kamu enggak diapa-apain sama dia. Eh Jena, enggak ada pikiran untuk CLBK lagi sama Nilam?"

Jena mendesis. "Bedebah—"

"Jangan, dia enggak cocok untukmu," kata Tito pada Nilam.

"Maaf, aku sudah punya pacar," kata Nilam yang membuatku kaget.

"Nugu? Siapa?" tanyaku.

"Nanti kamu juga akan tau," jawab Nilam, sok rahasia.

Sesampainya di Pasar Malam, kami semua bermain di wahana rumah hantu. Entah mengapa, sama sekali aku tidak merasakan eerie vibes. Di sini semuanya baik-baik saja. Namun, aku bisa melihat Ana yang menggenggam erat jemari Nilam. Iyan menghampiriku, memberikan tangannya. Sambil tersenyum, aku menyambut tangannya dan mulai menggenggam erat jemari tangannya. Iyan berbisik di telingaku,

"Nanti kita pergi ke belakang bianglala, ya," katanya. "Ada sesuatu yang mau kukasihkan ke kamu."

Entah mengapa, senyumku semakin mengembang.

Akhirnya, begitu Iyan yang masih menggenggam tanganku mengajakku pergi ke belakang bianglala tanpa sepengetahuan Jeno, Tito, Nilam, Jena, dan Ana, kami berdua langsung berlari dan berdiri berhadapan. Angin malam menyapu wajah kami berdua, dan kami berdua sama-sama merapatkan jaket masing-masing. Iyan menghela napas, tampak gugup. Langit pun seakan mendukung suasana dengan menebarkan cahaya setengah rembulan yang dikelilingi bintang-bintang.

"Aku mau ngasih ini," Iyan mengambil sebuah kotak kecil dari saku jaketnya dan membukanya. Sebuah cincin kecil terlihat berkilauan, membuat mataku membulat. Tiba-tiba, dia meraih tanganku dan memasangkan cincin itu di jari manisku. Kedua tangannya terasa gemetaran.

"Ini anggap saja cincin 'pertunangan'," kata Iyan. "Sedari dulu, cuman kamu yang aku mau. Bukan sebagai pacar, tapi sebagai orang yang menemaniku selamanya. Tapi, kalau takdir enggak mau membuat kita hidup bersama, kamu bisa melepas cincin ini suatu waktu dan bilang padaku kalau kamu sudah menemukan orang lain. Baru setelah itu, aku juga bisa melepas kalung ini," Iyan menunjukkan liontin berbentuk cincin yang sama seperti cincin yang dia berikan padaku.

"Iyan," Aku menatapnya serius. "I don't want to let it happen. Kuharap, takdir juga setuju pada kita."

Dalam sekejap, aku langsung jatuh ke dalam pelukan Iyan. Segala hal yang terjadi –ambisiku, kegagalanku, akan menghasilkan matahari yang baru terbit. Matahari yang terbenam bukan berarti dia akan selamanya membiarkan kegelapan malam, namun kegelapan itu adalah persiapan untuk menciptakan matahari terbit, matahari terbit yang menciptakan hari-hari baru. Hari yang penuh semangat, di mana semua masa lalu akan hangus dan terbakar menjadi sebuah cahaya.

Cahaya jingga,

cahaya yang dihasilkan oleh kobaran api.

Orange spirit.

--**--**--

[Orange Spirit 3 : Dead Leaves]

EPILOGUE | TELL ME 'BOUT UR DREAMIN'

09. 03. 2020

21.00 WIB

Orange Spirit 3 : Dead Leaves ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang