Sampai ingatanku pulih,
kehangatan itu masih menjalar di sekujur tubuhku. Aku menangis sesenggukan, di dalam pelukan si arwah anak laki-laki bertanduk. Namun, lama kelamaan, aku merasakan sesuatu yang aneh. Rasa tubuhnya menjadi berbeda –maksudku, aku malah merasa seperti memeluk gadis yang tingginya sama denganku. Elusannya di rambutku juga menjadi berbeda, terasa lebih hangat dan tidak dingin seperti sebelumnya.
"Teruslah bermimpi," katanya, suaranya terdengar seperti suara seorang gadis. "Kita akan menggapai harapan itu setelah melewati berbagai kesusahan. Teruslah bermimpi. Awalnya kita tidak terlihat berguna. Namun, di masa depan, kita akan bersinar."
Aku bergeming.
Namun, setelah itu aku berusaha untuk melepaskan diri dari pelukannya. Kini, yang ada di mataku adalah seorang gadis berkerudung cokelat yang kutemui saat aku hampir menabrakkan diriku sendiri ke mobil sport yang dikemudikan oleh pacarnya –laki-laki yang bernama Jeno itu. Mobil yang melaju layaknya dengan kecepatan 100 kilometer per jam, menyelamatkan hidupku sekaligus menghancurkan hidupku karena aku harus hidup untuk merasakan kegagalan terbesarku selama belasan tahun aku hidup. Kegagalan yang jauh lebih besar daripada kegagalan SNMPTN. Kegagalan yang mengubah suasana di dalam keluargaku menjadi lebih gelap.
Sudah kuduga,
Gadis ini orang-orangnya si penyihir hitam.
"Aku bukan seperti yang kamu pikirkan," kata gadis itu. "Perkenalkan, aku 'The Witch'."
Mataku menyipit. "Penyihir hitam?"
"No," Dia terkekeh. "Penyihir putih."
Sejak si penyihir hitam mengkhianati aku, Nilam, dan Ana, aku tidak pernah percaya lagi pada perkataan kaum-kaum penyihir. Mau itu penyihir hitam ataupun putih, aku tidak akan pernah percaya dengan kata-kata mereka. Lagipula, apakah selama ini dia menyamar sebagai arwah anak laki-laki bertanduk? Jika iya, di mana arwah anak laki-laki itu sekarang?
"Aku bukan tokoh jahat di sini, Kim Nara," katanya. "Aku adalah roh tertinggi di antara para arwah. Pemegang kunci dari semua misteri yang ada di sekitarmu. Seseorang yang sangat mengenali si filsuf, si pianis, dan si hiperaktif. Saat aku datang dengan wujud arwah anak laki-laki bertanduk di hadapanmu, Jovi dan Eris dikurung oleh penyihir hitam dan arwah anak laki-laki bertanduk yang asli ke dasar kegelapan. Sementara itu Ares—" Dia menghela napas sebelum melanjutkan bicaranya. "Dia menjadi pianis, namun diperlakukan seperti budak di sana dan disiksa jika dia tak menuruti keinginan para petinggi neraka. Mereka bertiga meminta pertolonganku, namun karena aku tahu bahwa kamu akan gagal seperti yang digariskan oleh takdir, prioritasku sekarang adalah menolongmu dulu."
Entah mengapa, tiba-tiba ada sesuatu yang mendorongku untuk memercayai gadis ini.
"Kamu masih ingat omonganku yang kusampaikan lewat Jeno waktu itu?" tanyanya serius, namun aku masih bisa melihat kedua pipinya yang memerah begitu menyebut nama Jeno.
Aku mengingat-ingat.
"Cari tahu apa itu resiliensi,"
"Kamu bisa cari Jovi untuk mengetahuinya."
"Di mana aku bisa mencari Jovi?" Aku meraih kedua bahu gadis itu dengan spontan, membuatnya hampir kehilangan keseimbangan di atas sepatu boots cokelat berhak sepuluh senti kalau saja aku tidak menahannya.
"Ah!" pekiknya.
"Ma-maaf!" seruku.
"It's okay."
"Carilah dengan memejamkan matamu, panggillah dia dengan semangat cahaya jinggamu yang tersisa—"
"Tapi semangatku sudah enggak ada!"
"Pasti ada, Kim Nara," Dia meyakinkanku. "Karena kamu bukan aku yang kehilangan hampir seluruh semangatku saat aku berhadapan dengan realita. Jangan memburu mimpimu, tapi ciptakan mimpimu. Kamu adalah pencipta mimpi, bukan pemburu mimpi. Orang yang menciptakan mimpinya enggak akan bisa kehilangan semangatnya karena ketika mimpi itu 'habis', dia akan menciptakan mimpinya yang baru lagi. Tapi, orang yang memburu mimpi ketika mimpi itu 'habis', dia akan merasa bahwa 'buruannya' habis dan lebih merasa kecewa daripada para pencipta mimpi."
Aku bergeming.
"Nara, coba saja pejamkan matamu," pintanya.
Aku berusaha memejamkan mata seperti yang dia pinta. Seketika, bayangan saat aku pertama kalinya bertemu dengan Nilam pun terlintas di dalam kepalaku.
"Alnilam Orion Atmajaya?"
Anak laki-laki –lebih tepatnya lagi si pemilik sketsa itu—mengangguk. Nama yang bagus, batinku. Orion adalah rasi bintang favoritku, rasi yang membentuk gambaran seorang pemburu. Sama sepertiku, pemburu mimpi. Seorang calon mahasiswi unggul yang akan menduduki kursi terhormat Universitas Tribhuwana Tunggadewi. "Ya, itu namaku," katanya. "Aku bukan pemburu macam Orion dalam kisah mitologi, tapi aku yang menciptakan buruanku sendiri. Kebahagiaan, mimpi –itu semua diciptakan dari dalam diriku sendiri. Yah, aku ini pemberontak. Pemberontak untuk namaku sendiri."
Bukan pemburu—
Tapi pencipta dari buruannya sendiri.
Seketika, aku membuka mata.
"Ah!" seruku. Lalu, aku tersenyum selebar-lebarnya, menunjukkan deretan gigiku. "Aku menemukannya! Jovi!"
"Yes, Babe?"
Jovi muncul di belakang gadis penyihir putih itu, lalu mendadak memeluk kami berdua. "Aku sayang kalian, deh!"
"Jovi—" desisku di dalam pelukannya. "Sekarang aku menemukan apa itu resilience."
--**--**--
KAMU SEDANG MEMBACA
Orange Spirit 3 : Dead Leaves ✔
Teen FictionBerawal dari sebuah kegagalan pertamanya, Nara Kim memutuskan untuk pergi keluar kota demi mencapai mimpinya ; menuntut ilmu di universitas impiannya. Tak disangka, Nara Kim harus terjebak dalam suatu lingkaran yang akan menuntunnya ke dalam sebuah...