Chapter 3a | I Don't Live Alone

21 4 0
                                    

--**--**--

I don't want to live alone

Since I only have emptiness

Always

Always like this

Even if I have been surrounded by people, I still feel loneliness

--**--**--

Indekosku tidak begitu buruk.

Ya. Indekos ini berbentuk rumah –tentu saja. Namun, maksudku adalah aku menemukan indekos yang kamar-kamarnya di dalam. Persis seperti yang kuinginkan. Tak kusangka, di dalam indekos ini juga terdapat dapur di belakang, di mana aku bisa membayangkan akan memasak berbagai macam makanan di sini. Ibu kos pun sangat ramah, bahkan beliau membawakanku cireng yang memang baru saja dibelinya sebelum menyambutku.

"Di samping kamarmu ada anak yang datang dari kotamu juga, lho, Mbak," kata Ibu kos sembari menggigit cirengnya.

Aku memasang ekspresi tertarik dengan ucapannya. "Benar, Bu?" tanyaku. "Sudah kuliah?"

"Belum," jawab Ibu kos. "Dia katanya mau bimbel, Mbak. Bimbel di sini. Baru datang juga kemarin. Mbak mau bimbel di sini juga, kan? Bimbel Katai Cokelat yang ada di jalan kalijodo nomor 13?"

"Iya, Bu," Mataku agak membulat. "Dia bimbel di sana juga?"

Ibu kos mengangguk. Tak lama kemudian –panjang umur memang—seorang gadis berambut agak cokelat pendek dan berponi melewati kami yang sedang duduk di atas sofa sembari membawa sekantong kecil sampah. Dia menoleh ke arah kami, lalu tersenyum manis tetapi terlihat agak canggung. Aku balas tersenyum. "Nah, Mbak," kata Ibu kos padaku. "Dia anak yang Ibu ceritain tadi, tho'. Namanya Ana, dia dari kota yang sama denganmu. Dia juga mau bimbel di Katai Cokelat. Yah, semoga saja nanti kalian bakal jadi teman baik. Belajar bareng, berangkat les bareng, masak bareng—eh Mbak Ana bisa masak kan?"

Ana tertawa kecil sembari mengelus tengkuknya. "Eum, enggak, Bu, hehe—"

"Kalau gitu belajar masak saja nanti sama Mbak ini!" Ibu kos menepuk pundak kananku tiba-tiba. "Kenalin Mbak Ana, ini namanya Mbak Nara. Dia blasteran Korea-Indo, lho. Cantik banget kan Mbak Nara ini?"

Ana masih tersenyum, kemudian menatapku lama dan lama kelamaan senyumnya pun memudar. Wajahnya menjadi agak dingin, entah mengapa. "Ah, iya—" katanya lirih. "Permisi," lanjutnya sembari membuka pintu dan keluar dari indekos sembari menguatkan pegangannya pada kantong plastik sampah yang dibawanya. Aku masih berpikir. Mengapa gadis itu mendadak seperti itu padaku? I mean, dia seperti tidak menyukaiku. Iri? Tidak mungkin.

Seriously, anak itu –Ana—sangat cantik. Kulitnya memang tidak putih seperti standar cantik di Korea dan beberapa orang asal Daegu seperti nenekku, ayahku, Kim Aera –sepupuku, Bibi Oh, dan Min Yoongi –anggota boygroup dengan stage name aneh yang membuat Aera berlagak seperti orang kerasukan setan saat melihat atau mendengar namanya. Namun, kulitnya agak eksotis seperti layaknya kebanyakan gadis di Indonesia. Tingginya sekitar 150-an, dan agak sedikit berisi. Apalagi dia sedang pakai jaket. Aku jadi agak iri padanya.

"Bu," Aku bertanya dengan hati-hati. "Apa dia memang seperti itu orangnya?"

"Seperti itu maksudnya?"

"Ya itu, dingin seperti itu."

"Oh itu," Ibu kos terkekeh. "Dia memang agak pendiam sih anaknya. Tapi, dia baik kok. Cantik, lagi. Mungkin dia masih canggung karena kalian baru pertama kali bertemu—oh, Ana! Ayo sini, ngobrol sama Ibu dan Nara."

"Maaf, Bu," kata Ana yang sudah selesai membuang sampah. "Aku masih harus mengerjakan progress."

Ibu kos mengangguk-angguk. "Oh, ya sudah kalau begitu. Semangat mengerjakan progress-nya!"

Ana tersenyum, kemudian melengos pergi. Aku hanya menatap ekspresinya yang tadi mendadak menjadi datar begitu cepat. Dia seperti tiba-tiba menghindariku, entah mengapa. Padahal, kami jelas baru bertemu. Bertemu untuk pertama kalinya. Rasanya, aku ingin mengetuk pintu kamarnya lalu mengajaknya berkenalan lebih lanjut di dalam kamarnya atau mengajaknya keluar untuk dolan –jalan-jalan. Namun, aku ragu—tidak, bukannya ragu, hanya saja aku masih takut dengan konsekuensi negatif yang akan kudapat. Langsung diusir, misalnya.

Setelah aku berbincang-bincang dengan Ibu kos, Ibu kos pamit pergi ke rumahnya yang ada di sebelah indekos ini. Beliau berpesan agar aku betah di indekosnya dan harus ngekos di sini apabila aku diterima di Universitas Tribhuwana Tunggadewi. Tentu saja. Aku akan berusaha semampuku untuk mengejar mimpi yang pastinya akan kuraih. Lalu, aku akan membuktikan kepada orang-orang yang diam-diam meremehkanku bahwa aku sebenarnya mampu.

Tepat di depan pintu kamarku, Iyan menelpon. Cepat-cepat aku mengangkat telponnya. Sudah cukupkah dia dengan segala kerinduan ini? Aku tidak tahu. Please Iyan, aku ingin fokus.

"Halo, Iyan?"

Pintu kamar di sebelah kamarku terbuka dan terlihat Ana yang sedang memegang gelas kotor. Dia menatapku sejenak. Mau tak mau, aku membalas tatapannya.

"Halo, Nara? Aku rindu."

"Memangnya kamu Dilan, huh?"

Tak lama kemudian, terdengar suara tawa dari ujung telepon. "Dilan? Milea kali Ra. Kan Milea yang bilang rindu, terus Dilan balas, 'Jangan rindu. Rindu itu berat, biar aku saja'. Gitu, Nara Alicia Kim!"

Aku memutar bola mata. "Iya, iya. Bawel."

"Terus gima—"

"AAARGH!"

"Na—"

"Ana?!" Aku menghampiri Ana yang tiba-tiba terjatuh. Cara jatuh gadis ini benar-benar aneh. Dia seperti habis ditarik seseorang, lalu terjatuh dengan posisi terjengkang tetapi kepalanya hampir menyentuh tanah. Untung saja kepalanya tidak terbentur. Kalau terbentur, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. "Kamu enggak apa-apa?" Aku membantunya untuk berdiri.

Kamu enggak apa-apa?

Pertanyaan bodoh.

"Ah, aku enggak apa-apa, kok," Kali ini Ana tersenyum padaku. Tiba-tiba, terdengar suara Iyan dari ponsel yang kupegang. Aku benar-benar tidak sadar kalau sedari tadi fitur loudspeaker kuaktifkan.

"Ana? Putri Alfiana Ulfa?"

Mataku membulat, lalu cepat-cepat kutempelkan ponselku di telinga kanan. "Apa? Kamu tahu orang yang sekarang sama aku ini?"

"Ya iyalah. Toh dia teman dekatku di SMP. Ah, aku belum cerita, ya?"

Entah mengapa, tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang aneh. Cemburu? Iri? Entahlah. Namun, yang saat ini kulakukan adalah saling bertatapan dengan Ana, kemudian sesekali melihat ke arah layar ponsel yang masih bertuliskan nama Iyan.

"Halo? Halo?"

"Yubuseyo? Yubuseyo –eh apaan dah? Halo? Halo?"

--**--**--

Udah berapa bulan ini guys? awokwkwk

Orange Spirit 3 : Dead Leaves ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang