Chapter 6b | Kerinduan

20 4 0
                                    

Kartu ketiga.

Filsuf, pianis, dan matahari penyebar semangat.

"Mimpi terbesarku adalah melihat semua orang mencintai diri mereka sendiri."

Aku, Jovi, dan Nilam kompak menoleh ke arah Ana yang sedari tadi duduk diam di atas sofa. Dahiku mengernyit. Sementara itu, mulut Nilam terbuka seakan mengatakan, "Ah—iya, aku tau, aku tau!". Setelah itu, keheningan menguasai kami sebelum akhirnya Ana kembali memecah keheningan.

"Tapi sebelum itu, aku minta maaf," kata Ana sembari menunduk. "Aku benar-benar dikuasai emosi negatifku sendiri. Aku awalnya enggak bermaksud begitu, tapi ada sesuatu yang seakan memaksaku untuk 'melakukannya'."

"Sesuatu itu—" Aku berpikir sejenak, mengingat arwah penyebab depresinya Eris yang saat ini sedang mengikutiku. Saat ini aku masih merasakannya. Dia ada di belakangku, menguping segala pembicaraan kami. Merasa senang menjadi buah bibir kami setiap harinya, walaupun kami selalu membicarakan hal buruknya. Namun, namanya juga iblis atau setan, pasti keburukan mereka adalah sebuah kebanggaan, bukan? "Apakah sesuatu itu adalah si arwah keparat?"

Ana terlihat bingung. Sorot matanya menghadap ke atas, tengah memikirkan sesuatu. "Kayaknya iya, sih," katanya. "Tapi, sebagai seseorang yang sudah beberapa kali melakukan hal ini, sebelumnya aku enggak pernah merasakan arwah itu. Tadi pun aku enggak merasakannya sama sekali, paling cuman emosi labilku sendiri. Jadi, kupikir ini pure dari diriku sendiri."

"Tapi tunggu," kataku. "Mimpi untuk setiap orang mencintai diri sendiri itu apa?"

"Jadi begini," Ana mulai menjawab. "Saat aku masih SMP, aku membayangkan Eris masih hidup, sebaya denganku dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk di dalam kepalaku sendiri. Itu semua gara-gara novel kumal yang sering kubawa, yang di dalamnya ada sketsa Eris, Ares, dan Jovi juga. Jadi, aku sempat kagum dengan imajinasiku sendiri. Mungkin itu semua memang efek dari membaca novel itu, dan mereka bertiga muncul di mimpiku, lalu dari situ dimulailah masa-masaku bersama Eris yang selalu memberiku pesan-pesan macam filsuf muda."

"So, he's the philosopher? Allright," kataku. "Berarti, kartu itu menggambarkan diri Eris, identitasnya—"

"Identitasnya sebagai Rho," potong Nilam. "Rho itu nama samarannya ketika sedang menulis. Ah, maksudku nama penanya."

"Biasanya tulisan-tulisannya tentang apa?" tanyaku. "Biar bisa jadi gambaran untuk memecahkan misteri kita. Toh, bisa jadi arwahnya ikut menghandle sisi 'Rho' dari Eris dan menyuruhnya untuk membuat cerita-cerita disturbing. Kita enggak tau kan? Ya siapa tau begitu."

"Tenang," kata Ana. "Justru tulisannya tentang mencintai diri sendiri, self love. Jadi, kupikir waktu dia menulis, dia secara enggak sadar memberontak terhadap arwah itu. Dan karena Eris menulisnya dengan semangat cahaya jingga, arwah itu enggak bisa melawan kekuatan cahaya jingganya."

Semangat cahaya jingga?

Rasanya pernah mendengar.

"Ya, aku yang waktu itu membisikkan kata-kata itu ke kamu," kata Jovi padaku. Aku mengangguk-angguk –aku jelas teringat akan hal itu, saat aku berada di dalam mobil bersama ibuku dan seperti ada yang membisikkan hal itu di telingaku. Namun, seketika ada hal yang mengganggu pikiranku. Aku jadi kembali ingin bertanya-tanya. Sebenarnya, apa ada kekuatan lain dalam cahaya jingga itu? Maksudku, jika semangat itu hanya nama, tidak mungkin semangat itu bisa 'menghancurkan' apapun yang mengganggunya.

"Semangat itu—" Aku tertegun. "Apa ada sihir di dalamnya."

Jovi tersenyum. "Enggak. Enggak ada sama sekali sihir di dalamnya," katanya. "Semangat itu murni dari dalam dirimu sendiri. Sebenarnya, kita sendiri bisa mengalahkan sihir hitam tanpa menggunakan sihir juga. Hanya saja, harus benar-benar ada kemauan. Setiap manusia punya defense system masing-masing. Kemampuan untuk bertahan, yang dalam ilmu psikologi bisa disebut—"

"Resilience. Resiliensi."

Aku, Ana, dan Nilam terdiam. Tak lama kemudian Ana dan Nilam saling bertatapan, seakan-akan mereka berdua sudah mengalami hal yang sama soal resiliensi tersebut. Seakan-akan mereka pernah mengalaminya. Lalu aku, Kim Nara yang hampir tidak pernah gagal sedari SD kecuali soal percintaan, tidak mengerti soal resiliensi itu. Ya, Kim Nara tidak pernah gagal.

Jadi, aku tidak mengerti defense system yang akan kugunakan jikalau aku gagal nanti. Tapi, tidak. Kim Nara tidak akan pernah gagal dalam meraih impiannya.

"Yah," Aku menghela napas. "Jadi, pianis dan matahari penebar semangat itu maksudnya apa?"

"Pianis, Ares," gumam Ana. "Ares itu seorang pianis sekaligus pemikir. Tapi, dia sisi gelap. Cuman, dia baik jadi yah –dia sama sekali bukan arwah yang kita maksud."

"Ya," timpal Jovi. "Walaupun anak itu menyebalkan, tapi sebenarnya dia baik."

"Lalu," Aku memerhatikan kembali kartu yang kupegang. "Matahari penebar semangat?"

Ana tersenyum ke arah Jovi. "Siapa lagi kalau bukan anak ini?" katanya. "Walaupun dia hiperaktif, tapi dia ini sisi semangat manusia. Jadi begini, Eris itu sisi manusia itu sendiri, Ares sisi gelap, dan Jovi adalah sisi yang bercahaya. Ini cuman teoriku, jadi bisa saja salah atau benar."

"Jadi, si Eris ini punya sisi Ares dan sisi Jovi?" tanyaku.

"Ya," kata Ana. Lalu, dia mengambil kartuku dan merabanya. Tiba-tiba, ada salah satu kartu yang terlepas dari kartu itu dan jatuh ke atas lantai. "Waktu aku terbangun, hal pertama yang dibisikkan oleh 'The Witch' adalah, kartu ini enggak sengaja dia kasih double. Jadi, di sini masih ada petunjuk, dan petunjuk itu adalah petunjuk terakhir karena sedikit energiku diambil sama arwah keparat itu saat aku menenggelamkan kepalaku—"

"Tunggu," kata Jovi, memotong kata-kata Ana. "Aku harus memberitahu kalian kalau semakin besar energi suatu arwah atau roh, dia akan semakin muncul di hadapan kita. Nara, apa sekarang kehadirannya sudah semakin kuat?"

Aku bergeming, merasakan angin yang berhembus di segala penjuru. Rupanya memang benar. Di sini kehadiran makhluk itu semakin terasa. Energinya semakin besar. Berarti, dia berhasil mengambil energi Ana dan ini semua sudah direncanakan oleh arwah itu agar dia bisa muncul di hadapan kami semua. Dia memanfaatkan kerinduan Ana terhadap sosok Eris di masa kecilnya.

"Walkman," gumam Ana sembari memerhatikan kartunya. "Ini sudah semakin jelas."

"Walkman?" Aku mengernyit. Seriously, semakin lama, semua hal ini semakin tidak dimengerti. Kartu-kartu tersebut, aku masih ingat urutannya apa saja. Kartu pertama, Kejahatan yang Berbaur dengan Kebaikan. Jadi, menurutku, kejahatan itu berbaur dengan kebaikan agar kejahatannya tidak terlihat. Namun, dapat pula diartikan dengan seorang pengkhianat yang muncul di antara orang-orang baik dan sedang mempersiapkan sesuatu untuk menghancurkan mereka kelak.

Kartu kedua, Seorang Anak Laki-Laki. Ditemukan saat Ana memeluk sosok yang dianggapnya Eris, padahal bukan. Namun, seorang anak yang dimaksud adalah anak laki-laki yang pernah bertemu roh Eris sebelumnya dan berinteraksi dengan Eris, sehingga dia terlibat dalam situasi ini dan berperan dalam membantu Ana dan aku sendiri. Anak itu adalah Alnilam Orion Atmajaya, seorang pemburu—ah tidak, tapi pemberontak dari namanya sendiri.

Kartu ketiga, Filsuf, Pianis, dan Matahari Penyebar Semangat. Eris adalah filsuf, Ares adalah sang pianis, dan matahari penyebar semangat adalah Jovi sendiri. Mengingat sketsa yang pernah kutemukan dalam binder Nilam, Eris, Ares, dan Jovi adalah orang-orang yang menjadi awal dari ini semua. Kartu terakhir, Walkman. Aku sendiri tidak mengerti maksud Walkman itu apa. Rekaman masa lalu? Lagu terakhir yang didengarkan Eris? Rekaman lantunan piano Ares?

"Tolong hubungi Iyan, Ra," pinta Ana tiba-tiba. "Sekarang."

--**--**--

[A/N]

Udah seminggu yak tak terasa hehe.

Orange Spirit 3 : Dead Leaves ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang