--**--**--
Selamat tinggal
Segala masa lalu yang ada,
terbakar habis,
menjadi abu.
I wish I could love myself.
--**--**--
"Bagaimana?"
Aku, Ana, dan Nilam membuka mata. Gadis berkerudung hitam -si penyihir putih-itu menatap kami sembari tersenyum. Aura gelap mulai menipis, kemudian menghilang. Entah mengapa, seperti ada beban yang mendadak lepas dari dadaku. Semangat cahaya jinggaku kembali lahir, apinya berkobar di atas telapak tangan penyihir putih alias 'The Witch' itu.
"Api itu-" Aku bergumam.
"Semangat cahaya jingga," Aku, Ana, Nilam, bahkan Eris, Ares, dan Jovi mengucapkannya secara bersamaan. Perlahan, kutatap sorot kedua mata Ares yang dingin itu. Entah mengapa, semenjak aku melihat memori Ana, aku benar-benar tidak sebenci dulu pada Ares. Walaupun dia adalah pengkhianat, aku bisa merasakan bahwa Ana punya semacam soft spot untuk arwah yang satu itu. Ana adalah teman masa kecil Eris yang 'diperkenalkan' kepada Ares dan Jovi, dan Ana pun menemukan kesamaan antara dirinya dengan Ares.
Sama-sama terlalu introvert, dan sama-sama definisi dari gelap.
Setelah melihat memori Nilam, aku juga memiliki semacam soft spot untuk anak laki-laki bertubuh kurus yang datang bersama Jeno, Jena, dan 'The Witch'-Tito. Namun, aku juga merasakan sedikit rasa benci dan takut yang berbaur menjadi satu. Entahlah, aku paling sulit untuk mengerti Nilam.
"Ya, cahaya jingga," kata 'The Witch'. Lalu, dia berdeham sejenak sebelum melanjutkan. "Untuk kemaslahatan kita semua dan diriku sendiri, aku mau membuat kalian semua lupa dengan kejadian ini," Dia menatap ke arah Roy yang hanya menggeleng-gelengkan kepalanya tanda syok, Giga dan Ghani yang hanya melongo takjub, serta Yuna dan Nadia yang hanya bisa menutup mulut mereka dengan kedua telapak tangan. Sementara itu, Iyan malah menyengir sambil melihat api yang ada di tangan 'The Witch'.
"Mimpiku malam ini keren banget gila," Aku bisa mendengarkan gumamannya.
"Sebelum kalian bertiga juga bisa melupakan masa lalu dan menghilangkan Eris, Ares, dan Jovi dari pikiran kalian, satu hal yang bisa kalian lakukan adalah-"
"Main jujur-jujuran?" potong Nilam.
"Lho? Kok tahu?" tanya 'The Witch'.
"Saat aku berpisah dengan Jeremi, Iyan, dan Ghani karena kami bakal beda kelas, kami main jujur-jujuran dulu biar enggak ada lagi yang kami pendam-pendam," Nilam menatap ke sekelilingnya. "Tapi, kita butuh musik pengiring-"
Roy mengangkat tangannya. "Biar aku yang main gitar sambil nyanyi-"
"Kelamaan," kata 'The Witch' yang membuat Roy mendadak berekspresi datar. "Dimulai dari-"
"Dimulai dariku," kataku, memberanikan diri untuk membuka apa yang kurasakan. "Aku sebenarnya indigo."
Roy, Jena, Ghani, Giga, Yuna, Nadia, bahkan Iyan pun terkejut. Sementara itu, Tito terlihat bodo amat dan Jeno hanya bergumam, "Wow daebbak," Aku mengulum bibir. Sebenarnya, itu hanya pembuka. Ada begitu banyak perasaan yang kupendam dan itu kupendam untuk menjaga perasaan orang lain, yaitu Ana. "Maaf sebelumnya," Aku menghela napas. "Sebenarnya, ada sesuatu yang lebih besar daripada hanya sekadar bilang kalau aku indigo," kataku. Lalu, aku menghela napas lagi sebelum melanjutkan ucapanku.
"Jovi," Aku menatap Jovi. "Aku ingat semuanya, aku ingat kenangan masa kecil kita. Dan pembicaraan kita soal semangat cahaya jingga itu."
"Tapi, suatu hari aku melihat wujud arwah anak laki-laki bertanduk yang sangat mengerikan-," lanjutku. "-dan itu membuatku lupa semuanya. Aku lupa kenangan kita. Lalu, seseorang datang ke kehidupanku. Orang teramah yang enggak pernah kutemukan selama aku tinggal di Daegu. Orang itu-" Aku menatap Iyan sekilas sebelum menatap Jovi lagi. "Orang itu mengingatkanku padamu, Jovi. Orang itu sangat mirip denganmu, dan aku menyukainya setengah mati sampai sekarang. Mungkin aku enggak akan terus bersama Jovi, tapi aku bisa terus bersama orang itu. Tapi-" Aku memejamkan mata, air mataku mulai menetes. Tidak, tidak, batinku. Kalau seperti itu, aku tidak akan ada artinya di hadapan Iyan.
"Aku paham, Nara."
Iyan dan Ana sama-sama terkejut karena mengucapkan kata-kata itu secara bersamaan, lalu saling bertatapan. Aku lebih terkejut lagi. "Huh?"
"It's okay, Nara. Aku enggak masalah," Ana tersenyum tulus, menampakkan deretan giginya. "Aku sekarang sudah ada yang punya, kok. Kami bertekad untuk saling mencintai dan mencintai diri masing-masing," lanjutnya yang membuat Eris tersenyum bangga like a proud father.
"Seriously?" Mataku membulat. Siapa?
"Sepertinya sebentar lagi mau selesai, ya," Si penyihir putih melipat kedua lengannya di depan dada. "Sebentar lagi juga, I have to back. Ke duniaku. Thank you karena sudah memercayaiku di sini-yah, walaupun aku kedengaran aneh dan enggak masuk akal. Mungkin kalian menganggap ini sebagai mimpi, it's up to you karena setelah ini kalian memang akan menganggap hal ini sebagai mimpi semalam saja. Dan Jeno-"
Jeno yang sedari tadi serius menatap apa yang terjadi di antara aku, Ana, dan Iyan pun melirik 'The Witch', kemudian tiba-tiba tersenyum manis ke arah penyihir putih itu. Sontak, penyihir putih itu salah tingkah sampai tidak sengaja mendorongku yang duduk di atas sofa.
"Aduh, ambyar hatiku!" serunya, membuat suara kekehan yang berasal dari Jeno.
"Ternyata bucin juga," gumamku sepelan mungkin.
"Jeno," 'The Witch' mengatur napasnya sejenak sebelum melanjutkan. "Terima kasih dan maaf sudah memanfaatkanmu dalam hal ini. Jujur, aku cuman ingin menolong Eris, Ares, Nilam, Nara, Ana, dan Jovi-dan, oh, anak-anak di seluruh dunia dengan berbagai masalah internal mereka. Aku cuman mau mereka tetap punya semangat, Jen. Terakhir, aku minta maaf karena selalu berhalusinasi jadi pacarmu."
"Heh?" Jeno mengeluarkan reaksi kaget yang lucu. "Bukannya aku yang selalu berhalusinasi jadi pacarmu?"
"Enggak, aku yang halu-"
"Ayo, Babe. Jangan gombal. Kamu bukan Dilan."
"Aku enggak gombal, Jeno. Serius. Aku mengincarmu karena selain kamu adalah saudara kembar orang yang pernah berhubungan dengan Nilam -Jena, juga karena aku sering berhalusinasi kalau kamu adalah pacarku. And, now I have to stop. I have a life, too. But not in this world-"
Jeno terdiam sejenak.
"Actually, who are you?" tanyanya. "Kenapa pikiranku selalu enggak lepas darimu? Kenapa aku jadi seperti bucin kalau berhadapan denganmu?"
"Seperti yang sudah kubilang," 'The Witch' menghela napas sejenak sebelum melanjutkan bicaranya. "Aku adalah roh tertinggi di dunia arwah. Aku bisa mengendalikan kalian di dunia ini, sekaligus menghancurkannya. Singkatnya, aku seperti Stan Lee dalam Marvel Universe. Jika dia datang, dia bisa menghancurkan semuanya."
Setelah 'The Witch' mengatakan hal itu, pandanganku pun memburam. Lalu, perlahan menggelap. Sampai gelap total dan aku beranjak bangun dari tidur panjangku malam ini. Kepalaku pusing, membuatku tidak tahan untuk mengacak-ngacak rambut singaku.
Ini-jam berapa? batinku.
--**--**--
KAMU SEDANG MEMBACA
Orange Spirit 3 : Dead Leaves ✔
Ficção AdolescenteBerawal dari sebuah kegagalan pertamanya, Nara Kim memutuskan untuk pergi keluar kota demi mencapai mimpinya ; menuntut ilmu di universitas impiannya. Tak disangka, Nara Kim harus terjebak dalam suatu lingkaran yang akan menuntunnya ke dalam sebuah...